Halo, Fellas.
Kembali lagi dengan cerita bertema remaja dan misteri dariku.
Berharap kalian menyukainya.
Akan sangat menyenangkan jika kalian dapat menyukai dan memberikan komentar membangun pada ceritaku yang berjudul "Ten Reasons Why She's Gone." ini.
Atas kekurangan yang akan kalian temukan dalam cerita ini, penulis memohon maaf.
Terima kasih.
***
• Selamat Membaca •
Tiga Hari Sebelum Menghilangnya Valerie.
“Jadi … kamu masih suka berhubungan sama si Aruni?”
“Win, kita udah pernah bahas ini ‘kan sebelumnya?”
Namun wanita bertubuh kurus itu hanya mendesah dengan kasar. Ia membuang wajah kea rah jendela dan menghela napas berat. Ia sejatinya sudah muak dengan rumah tangganya sendiri, Edwin telah berubah.
Janji suci di altar pernikahan mereka telah berubah menjadi mimpi buruk.
Edwin diam-diam menjalin hubungan dengan seorang janda bernama Aruni yang tidak lain dan tidak bukan adalah kepala sekolah putrinya sendiri.
Dari sekian banyak wanita di dunia ini, Wina menyesalkan keputusan Edwin yang justru menjatuhkan pilihan pada seseorang yang begitu dekat. Wina dan Aruni bahkan sempat akrab karena beberapa kegiatan sekolah. Namun siapa sangka, semua kedekatan itu hanyalah kedok agar Wina tak mencurigai perselingkuhan yang sedang mereka coba untuk sembunyikan.
“Artinya rumah tangga kita memang udah nggak bisa diperbaiki, ‘kan?” Wina meninggikan suaranya. Tak peduli dengan perasaan tak nyaman yang mendadak menyelimuti atmosfer ruangan tersebut. “Kalau mau begitu, mending kamu urus secepatnya.”
Edwin menghela napas, sama jengahnya dengan sang istri. Atau setidaknya, mereka masih berstatus suami-istri sampai surat perceraian itu sampai ke tangan keduanya. Ia menatap Wina, wanita itu masih sama. Tak berubah sedikitpun. Manjanya, marahnya, bahkan wajah yang cemberut itu, Wina sama sekali tak berubah.
Edwin merasa jahat. Namun ia terlanjur tak ingin menyakiti hati Aruni. Wanita lain sudah mencintainya dengan dalam. Hatinya telah terbagi dan rasa menyesal pun tak akan ada artinya saat ini.
Pria itu sempat berharap, seandainya saja ada kesempatan kedua.
“Aku mau kamu percepat aja sidang cerainya.” Wina bangkit dari kursinya. Ia kini memandangi suami yang telah menemaninya selama belasan tahun tersebut dan mulai merasa sesak.
Tak ada lagi cinta di sana, hangat dan intim itu telah sirna. Edwin dan Wina telah menjadi sepasang kekasih yang berbeda. Jalan mereka berbeda, tujuan mereka tak lagi sama.
“Walaupun kita mau cerai, nggak seharusnya kamu perlakukan aku begini, Wina!”
Wina mengernyitkan keningnya. Merasa heran sekaligus tak terima. “Perlakukan kamu kaya gimana? Aku ‘kan cuma melakukan apa yang kamu lakukan sama aku lebih dahulu. Bukannya ini udah cukup adil?”
“Kamu ngapain jalan sama pria itu?”
Namun wanita yang di tahun ini menginjak usia 40an itu hanya mendengus geli. Ocehan sang suami terdengar seperti lelucon di telinganya. Drama itu terlalu tidak masuk akal bagi Wina.
“Sekarang kamu coba untuk cari-cari kesalahan aku. Gitu?”
“Loh, iya dong. Kamu juga salah. Kita belum bercerai dan kamu udah jalan sama pria lain. Kamu harusnya sadar bahwa apa yang kamu lakuin itu salah dong, Win.”
“Edwin, kamu becanda ‘kan?” Wina kembali meninggikan suaranya kali ini. “Kamu selingkuh di belakang aku, tidur sama kepala sekolahnya Valerie, diam-diam pacaran dan sekarang cob acari kesalahan aku cuma buat nutupin kebusukan kamu?”
“Hey.”
“Kamu bodoh atau nggak waras, sih, Win?”
“Wina, jaga ya bicara kamu. Gini-gini aku menikahi kamu dengan cara yang baik.”
“Apanya yang baik, hm?”
“Win, udah. Aku capek. Sekarang udah malam, aku juga baru pulang kerja dan kamu bikin kepala aku sakit,” kata Edwin lelah.
Ia sungguh ingin mengakhiri percakapan yang sama sekali tak akan berujung baik. Namun, Wina justru merasa semakin tak dihargai. Ia membanting beberapa piring ke lantai, membuat Edwin terkejut sembari berteriak.
“Aku benci kamu, Edwin! Kamu keparatt! b******k! Laki nggak tahu diuntung! Jalang sialan!”
“Win.” Edwin mendekati WIna, berusaha menghentikan aksi gilanya tersebut. Bersusah payah ia mencoba menahan lengan sang istri yang pernah dicintainya itu, mencoba membuatnya berhenti. “Hentikan, Wina!”
“Minggir kamu, b*****t!”
“Wina, cukup!”
NAmun bukan suara Edwin yang menghentikkan aksi banting piring tersebut. Melainkan kehadiran Valerie yang tiba-tiba. Ia berjalan menghampiri kedua orang tuanya dengan bertelanjang kaki, membuat Edwin dan Wina terpaku di tempat mereka.
Bahkan ketika darah segar mulai mengaliri kaki-kaki mulus milik putri sematawayang mereka, Edwin dan WIna tak bisa mencegahnya. Hingga akhirnya Valerie berhenti tepat di depan mereka berdua. Wajahnya sedingin es. Pertikaian kedua orang tuanya telah membekukan perasaan gadis itu. Ia telah kehilangan cinta dari dua orang yang dianggapnya sangat berarti di dunia ini.
“Valerie,” bisik WIna dengan sangat hati-hati. “Sayang … kakimu.”
Dan gadis itu menundukkan kepalanya. Ia berpura-pura baru menyadari bahwa kakinya terluka. Atau mungkin, rasa sakit di dadanya lebih besar dibandingkan sakit yang tercipta oleh pecahan beling di bawah kakinya. Mata cokelat Valerie masih memandangi sepasang kaki indah yang digenangi oleh darah, sampai beberapa waktu.
Gadis itu tak benar-benar yakin harus bereaksi untuk rasa sakit yang mana.
“Sayang, biar Papa obati lukamu dulu, ya,” bujuk Edwin.
Namun dengan cepat Valerie mendongak, menatap tak suka ke arah sang ayah. Membuat Edwin kembali terpaku dan ragu untuk melanjutkan langkahnya sendiri.
“Papa nggak akan bisa obati luka ini,” kata Valerie dengan datar. Ia kemudian melihat Wina, lalu kembali ke Edwin. “Kalian berdua nggak akan pernah bisa mengobati luka ini.”
Wina buru-buru bergerak dan mendekati Valerie. Ia melihat kaki gadis itu sekali lagi dan mencoba memeluknya. “Kamu nggak seharusnya mendengar apa-apa. Sekarang, kita kembali ke kamar dan obati semua darah ini. Kamu bisa lemas karena kehabisan darah, Valerie.”
Valerie menoleh. Ia menatap nanar ke arah sang ibu. “Mulai sekarang, kalian nggak perlu peduliin aku lagi.”
Dan tubuhnya pun berlalu meninggalkan dapur dengan darah yang terus mengalir di bawah kakinya.
“Valerie. Valerie!”
Suara Wina yang begitu cemas sama sekali tak menghalangi langkahnya. Valerie tetap berjalan meski darah terus mengalir dari permukaan kakinya.
Ia berlari ke kamar dan jatuh terduduk di balik pintu. Matanya yang sudah basah karena air matapun mencoba memperhatikan kedua kakinya yang sobek.
Ada beberapa beling yang tertancap di sana dan yang dilakukan oleh Valerie adalah menariknya keluar dengan tangannya sendiri.
Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan teriakan karena rasa sakit yang tak tertahankan. Dan tangis itu kembali pecah di sana.
Bahkan meski dirinya terluka, Edwin dan Wina tak benar-benar ada untuknya. Perpisahan itu akan terjadi dan Valerie merasa semua rasa sakit yang memenuhi kakinya tak akan lebih parah daripada situasi ini.
“Aku benci sama kehidupan ini.”
***
INFO TIME.
Setiap keluarga tentu berharap bersama hingga maut memisahkan. Namun, tidak selamanya harapan menjadi kenyataan. Terkadang, di tengah perjalanan menjadi sebuah keluarga, badai datang dan menyebabkan perceraian.
Memang, perceraian adalah jalan terakhir yang bisa diambil jika segala upaya perdamaian dan perbaikan tidak bisa lagi dilakukan.
Tidak hanya orangtua yang tersakiti, perceraian juga menyisakan luka dan trauma pada anak yang mungkin akan terus dibawanya hingga dewasa.
Dampak perceraian yang mungkin terjadi pada anak mungkin bisa berbeda-beda, tergantung dari usia anak pada saat perceraian terjadi serta kepribadian anak itu sendiri. Pada anak usia balita, efek perceraian orangtua mungkin tidak terlalu berpengaruh terhadap perkembangan mentalnya.
Namun, lain halnya jika perceraian terjadi saat anak sudah memasuki usia sekolah, dimana ia sudah bisa mengamati situasi di sekitarnya dan menyadari bahwa orangtuanya tidak lagi bersama.
Sebelum memutuskan, pikirkan baik-baik efek perceraian yang mungkin terjadi pada anak berikut ini.
Berikut adalah beberapa efek yang terjadi pada anak karena perceraian kedua orang tua :
1. Menimbulkan stres, cemas, dan trauma
Perceraian dipastikan menimbulkan trauma yang mendalam bagi anak, terutama jika usianya sudah cukup matang untuk mengamati situasi yang terjadi pada orangtuanya.
Anak akan mengalami stres, merasa terabaikan, merasa tidak dicintai, kecemasan yang berlebih, dan efek psikologis lain yang mungkin akan terjadi dalam waktu yang lama.
2. Menurunnya prestasi belajarSejumlah penelitian membuktikan bahwa anak-anak korban perceraian cenderung bermasalah dalam perilaku yang berpengaruh pada menurunnya fokus belajar dan nilai-nilai akademik di sekolah.
Jika sebelumnya seorang anak bisa meraih prestasi di sekolah, bisa saja ketika orangtuanya berpisah, situasi berubah dan ia menjadi kehilangan motivasi belajar dan membuat prestasinya menurun.
3. Mudah terpengaruh hal negatifPerceraian juga menyebabkan anak yang beranjak remaja mudah terpengaruh oleh hal-hal buruk yang ditemuinya dalam pergaulan. Seperti merokok, minum alkohol, dan n*****a.
Hal ini disebabkan anak merasa tidak lagi diperhatikan oleh orangtuanya yang sibuk dengan masalah rumah tangga mereka. Apalagi, jika perceraian melalui proses yang tidak mudah sehingga masing-masing orangtua membutuhkan waktu untuk memulihkan dirinya sendiri sehingga mereka mengabaikan anak-anaknya.
4. Merasa rendah diriTidak dapat dihindari, efek perceraian membuat anak sulit bersosialisasi. Anak akan merasa malu, rendah diri dan iri pada teman-temannya yang masih memiliki keluarga yang utuh.
5. Apatis dalam berhubunganDalam jangka panjang, perceraian dapat menyebabkan anak menjadi apatis saat memulai hubungan dengan lawan jenisnya. Anak cenderung merasa takut untuk berkomitmen dan menganggap bahwa hubungan dengan lawan jenis itu tidak penting dan hanya berujung pada perpisahan.
6. Melakukan seks bebasHilangnya kasih sayang yang utuh dari kedua orangtua membuat anak berpotensi melakukan seks bebas saat ia mulai berpacaran dengan lawan jenisnya.
Karena merasa tidak ada yang memperhatikan sekaligus sebagai bentuk protes dan kekecewaan terhadap perceraian orangtuanya, mungkin saja anak melakukan hubungan seks terlalu dini yang tentu saja membawa efek mengerikan di kemudian hari.
Dalam perjalanan berumahtangga, terkadang kita akan menemui ‘badai’ yang siap memporakporandakan kehidupan rumah tangga. Namun, saat sebuah pernikahan sudah dikaruniai buah hati, maka hendaknya Mama dan Papa lebih bijak lagi mempertimbangkan segala keputusan yang akan diambil.
Tidak hanya menyangkut diri Mama atau Papa saja, tetapi juga demi perkembangan mental dan masa depan si Anak tersayang.
7. Sering menyalahkan diri sendiriAnak-anak kerap merasa perpisahan orangtuanya adalah bagian dari kesalahan mereka sehingga mereka mulai menyalahkan diri mereka sendiri. Jika dibiarkan, mereka akan berkutat dengan pikiran bahwa mereka buruk, nakal, tidak bisa membuat bangga, membuat pertengkaran orangtua, membuat kekecewaan, dan menyebabkan orangtua berpisah.
Orangtua yang tidak menjelaskan penyebab perceraian kepada anak yang beranjak dewasa, menyebabkan anak bertanya-tanya dan terus berpikir bahwa merekalah penyebab orangtuanya tidak bahagia.
Jadi, jika perceraian harus diambil, pikirkan baik-baik dan persiapkan seluruh keluarga untuk menghadapi perubahan itu ya.