12. Banyak Berbohong

1494 Words
Emma tak tahu ia harus percaya pada mertuanya atau pada ucapan Raven. Namun, ia memilih tersenyum saja lalu mengangguk. Ia menjulurkan tangannya ke arah nakas untuk meletakkan gelasnya. "Kamu bisa minta tolong," kata Raven. "Ya." Emma pun membiarkan Raven yang meletakkan gelas itu. "Kalian pulang aja. Emma pasti ngantuk karena udah sarapan, dia juga harus minum obat setelah ini." Raven menatap ayah dan ibunya bergantian. "Kalian juga harus sarapan. Orang tua Emma mungkin juga akan ke sini nanti." Emma menelan keras. Berbohong pada mereka saja sudah menyiksa apalagi jika ia harus berbohong pada ibunya yang cerewet. Ah, Tuhan! Emma sangat ingin kabur dari situasi ini, tetapi ia bahkan tak boleh meninggalkan tempat tidur. "Ya, benar juga. Nanti kami kabari orang tua kamu, Emma," ujar Asri ketika berdiri dari duduknya. Ia mendekati Emma lalu menggenggam tangan menantunya itu. "Istirahat yang banyak. Kamu boleh merepotkan Raven sesuka hati kamu." Emma tersenyum getir. Andai saja mereka tahu niat asli Raven, batin Emma. Andai saja mereka tahu ia tak sedang mengandung cucu mereka. Ah, ia hanya berharap semuanya tak akan berantakan suatu hari nanti. "Kami pulang dulu, Emma," ujar Sadewo. "Kami benar-benar minta tolong jaga cucu kami dengan baik. Kamu juga, Raven. Jaga Emma baik-baik!" "Papa nggak usah khawatir. Aku tahu apa yang harus aku lakukan," ujar Raven. Raven mengantarkan orang tuanya ke depan pintu kamar Emma lalu kembali masuk. Ia bertemu tatap dengan Emma selama beberapa detik hingga ia memutuskan untuk duduk saja. "Mau jeruk lagi?" tanya Raven. Emma menggeleng, jika aksi menyuapi tadi hanyalah pertunjukan, maka lebih baik berhenti saja. Emma mencoba memalingkan wajahnya ke arah lain. "Raven, haruskah kita berbohong seperti ini?" tanya Emma sembari memainkan ujung selimutnya. Raven memperhatikan bagaimana Emma menarik-narik ujung selimut itu, ia tahu Emma sedang resah. "Ya. Kalau suatu hari mereka tahu, kita hanya perlu bilang kita tak sadar bahwa itu bukan bayi aku. Kamu tidur dengan seorang sebelum menikah dan kamu tidur denganku setelah menikah. Jadi, kita tak tahu benih siapa yang tumbuh di perut kamu." Emma menatap Raven kali ini. Ia merasa begitu malu karena ucapan Raven yang begitu santai. Ia memang tidur dengan pria lain, tetapi ia hampir tak sadar. Itu juga karena ia stres menghadapi pernikahan paksa mereka. "Apa kamu juga pernah tidur sama Kalisa?" tanya Emma. Ia tak ingin dirinya saja yang dianggap sebagai w************n. Raven membulatkan matanya. Ia langsung berpaling dari Emma. "Itu bukan urusan kamu, Emma. Terserah apa yang aku lakukan dengan pacarku. Tapi ... jika kamu cemburu dan ingin aku berhenti menemui Kalisa, aku akan berhenti." Emma tersenyum sini. "Aku nggak peduli. Aku harap orang tua kamu tahu, kamu pembohong." Emma tak ingin bicara lagi dengan Raven. Ia sudah cukup gentar karena harus membuat kebohongan di depan mertuanya. Barangkali sekarang mertuanya sudah membagikan kabar dirinya sedang hamil pada orang tuanya lalu mereka akan muncul ke sini dan sekali lagi ia harus berbohong. Raven menarik selimut Emma ke atas hingga gadis itu terkesiap. Usai merapikan selimut Emma, Raven pun berkata, "Tidur aja. Kalau ada apa-apa panggil aku. Aku ... ingin tidur sejenak." Emma mengangguk. Ia yakin Raven memang mengantuk karena semalaman tidak tidur. Ia melirik Raven yang membaringkan dirinya di sofa. Sekilas, Raven akan terlihat seperti seorang suami yang siaga menjaga istrinya ketika hamil muda. Sayangnya, semua itu hanya pura-pura, batin Emma. *** Menjelang sora, bener tebakan Emma. Saskia dan Jordi datang ke kamar Emma dengan begitu riang. Sama seperti Asri dan Sadewo, mereka merasa senang karena tahu putri mereka sedang hamil. "Mama tahu, kamu menolak perjodohan kamu dengan Raven, tapi kamu nggak bisa menolak pesona Raven. Cepat sekali, Emma. Sepertinya kamu dalam masa subur ketika bulan madu," kata Saskia seraya mencubit gemas lengan putrinya. Emma langsung memerah. Itu adalah bulan madu terburuk baginya, kecuali ketika Raven bermain dengan jarinya. Hanya itu, yah, ia ingat hanya itu yang terjadi dan seseorang tak akan hamil hanya karena permainan jari! Raven bahkan belum menciumnya. Raven sibuk dengan Kalisa! "Tapi, sepanas apapun hubungan ranjang kalian, seharusnya kalian berhati-hati," kata Saskia. Ia juga menoleh pada Raven kini. "Pasti dokter melarang kalian saat ini." "Ehm, Mama tenang aja. Kami akan menuruti kata-kata dokter," ujar Raven datar. Saskia tersenyum. "Terima kasih, Raven. Kami ingin cucu kami baik-baik saja." Saskia kembali menoleh pada putrinya. Ia memberikan tatapan mencela pada Emma. "Kamu lihat," ucapnya dengan berbisik. "Raven adalah pria baik. Kamu nggak akan menyesal menikah dengan pria pilihan Papa dan Mama." "Mama kamu benar, Emma, Raven," tukas Jordi. "Kami sangat kaget karena Emma sudah hamil, tetapi kami juga khawatir kalau sesuatu yang buruk terjadi pada kamu, Emma. Kamu harus hati-hati mulai sekarang. Jangan terlalu lelah. Kamu nggak perlu bekerja dulu." "Benar, kamu sudah menikah, Emma. Kamu nggak perlu bekerja lagi," kata Saskia. "Bagaimana menurutmu, Raven? Akan lebih baik jika Emma berhenti bekerja, bukan?" Emma menggeleng keras. Walaupun ia hanya penyiar di stasiun radio kecil, ia menyukai pekerjaannya. Ia tak ingin berhenti bekerja! "Aku masih bisa bekerja, Ma. Aku nggak mau resign," kata Emma cepat. Entah apa yang akan dikatakan oleh Raven. Raven pernah mencela pekerjaannya yang terlihat sepele itu dibandingkan dirinya yang jadi CEO agensi besar. Jika ia menjadi pengangguran, maka habislah sudah harga dirinya. "Tapi kamu bisa kecapekan, Emma," protes Saskia. "Aku suka bekerja. Aku suka pekerjaanku! Aku nggak mau berhenti," sungut Emma keras. Raven mengulum bibirnya ketika melihat Emma yang mencebik lalu melipat kedua lengannya dan berpaling dari sang ibu. Sungguh lucu. "Mama tenang aja, Emma akan cuti selama yang ia butuhkan. Jika Emma sudah sembuh, ia bisa bekerja lagi," kata Raven. Emma membelalak kaget karena ucapan lembut Raven. Sementara Saskia dan Jordi tampak ingin protes. Bukankah menjadi istri CEO kaya raya sudah cukup, kenapa putrinya harus bekerja? "Emma menyukai pekerjaannya dan aku nggak mau mengurung Emma di rumah selagi ia bisa melakukan hal-hal yang ia sukai," lanjut Raven. "Aku akan mengantar jemput Emma setiap hari, atau aku akan sewa sopir pribadi untuk Emma. Jangan khawatir." Emma yang tadinya cemberut, kini dibuat cemas. Jika ia diantar jemput Raven, itu artinya mereka akan satu mobil setiap pagi dan sore. Haruskah seperti itu? Obrolan tentang pekerjaan Emma tidak diperpanjang lagi karena Saskia takjub dengan Raven yang mengizinkan Emma melakukan hal-hal yang ia sukai. Ia merasa bahwa Raven adalah menantu yang sangat sempurna. Dan setelah hari hampir malam, keduanya pun memutuskan untuk pulang. Raven dan Emma kembali berdua saja. Dan itu sangat mendebarkan bagi Emma. Beruntung, tak lama perawat dan dokter datang untuk melakukan pemeriksaan sekilas. Menu makan malam juga sudah disajikan, tetapi Emma terlihat tak menyukainya. "Kamu nggak suka makanan ini?" tanya Raven. Emma menggeleng. "Aku agak mual. Aku ingin ...." Emma menghentikan kata-katanya karena ia tak mau merepotkan Raven. "Katakan saja, Erik dalam perjalanan ke sini. Akan kuminta dia membeli makanan yang kamu mau." "Boleh aku makan sup iga?" tanya Emma. Ia sudah membayangkan daging lembut itu meluncur ke kerongkongannya. Ditambah kuah segar dan potongan wortel yang menggoda. "Ya. Apa lagi?" "Itu aja. Bisa datang secepatnya? Aku lapar," kata Emma. "Dasar manja," ledek Raven sembari mengirim pesan pada Erik. Ia menuliskan kata cepat datang di sana dengan huruf kapital agar Erik cepat-cepat datang. "Aku mau mandi dulu. Kamu bisa menunggu Erik sambil membaca buku atau ponsel." *** Sekitar setengah jam, Erik benar-benar datang dengan dua porsi sup iga sapi yang diinginkan oleh Emma. Ia hampir tiba di rumah sakit ketika Raven memintanya untuk membeli makan malam dan ia harus buru-buru mencari tempat yang jualan. Sungguh merepotkan. "Silakan dimakan, Nona. Saya di luar jika tuan Raven mencari saya." Emma mengangguk. Ia mencoba duduk sendiri karena Raven masih di kamar mandi dan ia juga tak sabar untuk menikmati sup iga itu. Mungkin tak masalah jika ia bergerak lebih banyak, ia sudah stabil dan tubuhnya sudah pegal karena berbaring saja sejak semalam. Dengan hati-hati, Emma menurunkan kakinya. Ia tidak perlu berdiri untuk membuka kemasan sup iga itu. Namun, ketika ia hampir membuka plastiknya, ia sadar ia butuh mangkuk. Dengan cepat, Emma mencoba meraih mangkuk kosong yang ada di ujung nakas. Kali ini ia harus berdiri atau mengulurkan lebih jauh tangannya. Ia memilih opsi kedua. Emma menjulurkan tangannya lalu menarik mangkuk. Sayangnya pegangan Emma tidak sempurna hingga mangkuk itu justru jatuh dan pecah dengan suara keras. Emma menunduk dan refleks berdiri karena ingin merapikan kekacauan yang ia buat. "Emma, apa yang terjadi?" tanya Raven yang keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk melilit pinggangnya. Baru saja ia mendengar suara benda pecah dan ia sangat cemas. Ia mengira Emma terjatuh, tetapi kini di depannya Emma baru berdiri di tepi ranjang. "Kamu nggak boleh bergerak." Raven menatap pecahan mangkuk di lantai. Ia mendesis lalu mendekati Emma yang bertelanjang kaki itu. Dengan hati-hati, ia mengangkat tubuh Emma lalu kembali membaringkan dirinya di tempat tidur. Wajah Emma memanas karena ia baru saja menempel di d**a terbuka nan basah milik Raven. d**a yang sungguh lebar dan bidang itu membuat Emma merasa kacau. "Maaf, Raven. Aku nggak sengaja. Aku mau makan," kata Emma menjelaskan. "Apa salahnya menunggu sebentar? Bagaimana jika kamu pendarahan lagi? Bagaimana jika kaki kamu terkena beling? Diam di situ, aku suapin kamu makan!" hardik Raven.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD