Bagi Emma, disuapi jeruk manis oleh Raven saja sudah membuat hatinya kalang kabut tak keruan. Dan kini, ia sedang disuapi Raven yang masih hanya mengenakan handuk. Beberapa menit yang lalu, Raven menyingkirkan beling di lantai dengan sapu dan serok lalu segera menyiapkan makan malam Emma.
"Raven, kamu bisa pakai baju lebih dulu," kata Emma yang tak tahan ketika menatap d**a kotak-kotak Raven.
"Kamu udah kelaparan. Aku nggak mau kamu nekat berdiri dan ambil makanan sendiri. Bagaimana jika tangan kamu terkena kuah panasnya? Nggak usah protes dan makan aja!" perintah Raven.
Emma mencebik, tetapi ia menurut dengan membuka mulut setiap kali Raven menyodorkan sendok ke depan bibirnya. Sesekali, Raven mengusap bibirnya dengan tisu karena kuahnya menetes.
"Raven, sebenarnya aku bisa makan sendiri," kata Emma.
"Apa tubuhku membuat kamu panas dingin, Emma?" tanya Raven sambil menyeringai. Ia baru sadar sejak tadi Emma melirik-lirik tubuhnya yang masih setengah terbuka. Hanya tertutup handuk putih tipis.
"Nggak usah m***m! Aku baru sakit!" Emma mencebik maksimal.
"Kamu boleh pegang kalau kamu mau," goda Raven lagi.
Emma melotot. "Nggak usah mimpi. Aku nggak mau. Kamu cuma main-main sama aku."
"Ah, kamu masih kecewa karena malam pertama kita yang kacau?" tanya Raven dengan nada menebak-nebak. Adegan permainan jari itu tak hanya terngiang di benak Emma, ia pun demikian. Karena ia sudah melihat dan menyentuh tubuh Emma hingga ke bagian paling sensitif, tetapi ia belum menikmati semuanya.
"Raven, stop!" Emma menarik sendok yang ada di tangan Raven. "Aku makan sendiri saja. Aku nggak mau berpikir mesum."
"Kamu hanya perlu bilang, Emma. Aku bisa bikin kamu puas dan senang. Bilang aja kamu menginginkan aku," kata Raven seraya berdiri.
"Aku nggak bisa, Raven! Aku hamil!"
Raven mengepalkan tangannya. Ia tahu maksud Emma. Istrinya itu hamil dengan pria lain. Barangkali itu membiarkan Emma merasa malu. Namun, ia segera merundukkan tubuhnya agar wajahnya bisa sejajar dengan wajah merah Emma.
"Aku nggak peduli. Sejak kamu menikah sama aku, kamu adalah milik aku. Tubuh kamu juga," ujarnya. Raven menyentuh puncak kepala Emma. "Kamu habiskan makanannya, aku harus bicara dengan Erik. Ah, tapi aku mau pakai baju dulu. Aku nggak mau kamu panas dingin di saat kamu nggak bisa melakukannya."
Dengan seringaian mengerikan, Raven pun menarik wajah dan dirinya dari hadapan Emma yang sudah berdebar gila. Emma mengaduk-aduk makanannya kini. Apakah itu artinya Raven benar-benar menerima dirinya dan kehamilannya? Ah, tidak! Pikir Emma. Raven hanya ingin tubuhnya. Dasar m***m! Pikir Emma lagi.
***
Emma menghabiskan waktu di rumah sakit selama dua hari tiga malam. Dan sore ini, ia sudah diperbolehkan untuk pulang. Raven sudah memberitahunya bahwa di luar sana akan ada beberapa wartawan yang menyambut mereka nantinya. Berita kehamilan Emma memang sudah menyebar di publik. Emma membaca itu di internet dan ia langsung mematikan ponselnya sejak kemarin karena ia terus dibombardir oleh Ria dan teman-temannya yang lain.
Tak hanya itu, Emma juga membaca komentar para netizen yang mengatakan bahwa kehamilannya terlalu cepat padahal ia baru menikah satu setengah bulan dengan Raven. Namun, ada banyak pula yang mendoakan agar kehamilannya lancar. Yang paling mengganggu Emma adalah komentar yang mengatakan bahwa ia sangat beruntung. Sebagai mantan model dan artis yang meredup karirnya, ia bisa menikah dengan Raven bahkan langsung mengandung.
Emma mengambil kacamata hitam dari dalam tasnya. Ia segera memakai kacamata itu ketika kursi roda yang didorong Raven mencapai lobi.
"Jangan lupa tersenyum, Emma," ujar Raven.
"Kamu bahkan bukan aktor, Raven. Kenapa para wartawan penasaran sekali dengan kamu?" tanya Emma yang membelalak melihat banyaknya wartawan di luar.
"Aku memegang banyak kontrak dengan para aktor dan aktris ternama, itulah kenapa aku juga memiliki pamor. Aku yang menguasai mereka," kata Raven dengan nada bangga. "Ayo keluar dan kita bisa pulang. Kamu hanya harus tersenyum."
Emma menuruti kata-kata Raven. Begitu mereka keluar dari lobi, para wartawan pun bersiap melemparkan pertanyaan pada Raven dan Emma. Namun, Raven sudah menyiapkan penjaga. Ia tak perlu menjawab apapun dan hanya melambaikan tangan pada mereka. Emma cukup gugup, tetapi ia mencoba tersenyum dan melambai saja.
Setibanya di mobil, Raven membantu Emma masuk, lalu meminta Erik untuk menyimpan kursi roda Emma di bagasi. Tak lama, mobil mereka pun meninggalkan halaman rumah sakit.
"Bukankah kamu suka disorot banyak media, Emma?" tanya Raven.
"Itu dulu. Aku bukan lagi artis tanah air," kata Emma. Ia mendengkus keras. "Aku sudah membaca komentar netizen. Tak jarang dari mereka yang mengataiku bahwa aku menikah karena ingin tampil lagi di depan kamera. Mereka mengira, aku memanfaatkan popularitas kamu."
"Kamu hanya perlu mengabaikan mereka, Emma," kata Raven. Ia melirik jemari Emma yang kecil dan lentik. Ia selalu ingin menggenggam tangan itu, tetapi ia yakin Emma tak akan suka. Emma akan mengira ia punya niat lain yang jelek, jadi ia memutuskan untuk melihat jalanan saja.
Emma pun melakukan hal yang sama. Ia menatap ke luar mobil sejak tadi. Hingga tiba-tiba kedua matanya terpaku pada kedai es krim dan minuman yang sedang viral. Emma sudah pernah mencicipinya bersama dengan Ria dan Meri, teman penyiarnya. Seketika, Emma merasakan desakan keinginan di dalam dirinya.
Emma menoleh pada Raven. "Raven, boleh aku membeli es krim itu?"
Raven menoleh ke arah kedai yang sudah agak jauh tertinggal. "Kamu mau?"
Emma mengangguk keras. Ia menoleh ke jalanan karena mobil Raven semakin meluncur jauh. "Aku mau itu. Rasa stroberi. Raven, biarkan aku membeli."
Raven menepuk bahu Erik. "Putar balik. Kita beli es krim dulu."
Senyum Emma merekah seketika. Namun, ia harus bersabar karena Erik harus mencari lokasi untuk putar balik lalu kembali meluncur ke arah kedai es krim. Emma terlihat tak sabar untuk keluar dari mobil begitu mereka tiba di depan kedai itu. Raven yang memperhatikan Emma baru sadar, betapa lucunya tingkah ibu hamil yang menginginkan makanan.
"Kamu di sini saja." Raven menarik pintu mobil yang sudah dibuka oleh Emma itu. "Kamu masih nggak boleh banyak bergerak. Erik, kamu aja yang keluar belikan es krim stroberi untuk Emma."
"Bukannya Tuan melarang siapapun makan di mobil agar tidak kotor?"
Raven mengerjap kaget. Ia akan melanggar aturannya sendiri hanya demi Emma. "Beli saja. Jangan lupa beli khusus kemasan yang bisa dibawa pulang. Siapa tahu Emma masih ingin makan di rumah."
"Ehm ... oke, Tuan."
Emma yang mendengar ucapan Raven dan Erik pun menjadi tak enak. Namun, ia juga sudah terlanjur mengidam-idamkan es krim itu.
"Aku makan di rumah saja kalau nggak boleh makan di mobil," kata Emma.
"Bukan masalah. Kamu bisa makan. Lagipula es krim bukan makanan. Hanya s**u yang dipadatkan," kata Raven.
Emma tertawa seketika. Ia baru mendengar ada satu orang yang menganggap es krim sebagai minuman. "Tapi itu bisa membuat kotor mobil kamu, Raven."
"Kamu ingin makan, aku nggak bisa melarang. Diam aja," kata Raven cepat. Ia menatap ke pintu kedai es krim yang masih tertutup. Kenapa lama sekali, pikir Raven dalam hati. "Apa kamu begitu menginginkan makanan secara khusus? Tiba-tiba pengen?"
Emma mengangguk. "Rasanya aneh, seperti tiba-tiba terbayang makanan itu bakalan enak banget."
Raven mengangguk pelan. "Bilang aja kalau kamu mau makan sesuatu. Di rumah juga ada asisten rumah tangga, kalau kamu mau dimasakkan sesuatu bilang aja sama mbok Tum."
Emma mengangguk dengan senyuman manis di wajahnya. Ia tak tahu Raven tulus padanya atau tidak, tetapi untuk kali ini ia memutuskan untuk menghargai kebaikan Raven.
Tak lama Erik pun kembali. Ia mengulurkan es krim cone besar dengan rasa stroberi pada Emma yang sudah tak sabar itu lalu ia juga membawa satu kotak besar es krim yang dikemas secara khusus agar bisa dibawa pulang.
"Apakah itu enak?" tanya Raven.
Emma mengangguk. Ada sedikit noda pink di bibir Emma, itu membuat Raven tersenyum. "Ini enak, aku pernah makan sekali dengan teman-temanku. Aku belum sempat ke sana lagi karena di sana selalu ramai sejak viral."
Raven tersenyum tipis ketika Emma kembali makan. Sesekali Emma menjilati es krim yang hampir meleleh ke sisi cone. Emma juga akan terkesiap ketika Erik mengehentikan mobilnya di lampu merah atau ketika merasa melewati polisi tidur.
"Erik, pelan-pelan aja nyetirnya," gerutu Raven.
"Ya, Tuan. Maaf," ujar Erik seraya menggeleng. Ia bisa melihat dari kaca mobil bahwa Raven tak memalingkan wajahnya dari Emma. Sungguh bucin, batinnya.
"Kamu jangan lupa, istri aku sedang hamil. Dan dia sedang makan es krim!"
"Ya, ya, Tuan. Saya minta maaf," kata Erik lagi. Ia membuang napas panjang. Dalma hati ia kembali membatin seharusnya bosnya itu tak perlu pura-pura balas dendam karena jelas sekali terlihat bahwa ia masih menyukai Emma. Sayangnya Emma juga begitu bodoh tidak menyadari perasaan Raven dan mengira Raven benar-benar ingin balas dendam. Sungguh pasangan yang smaasmaa bodoh, umpat Erik dalam hati.
"Emma, ada es krim di sini," kata Raven seraya menunjuk ujung bibirnya sendiri.
"Di sini?" tanya Emma seraya mengusap sisi kiri bibirnya dengan punggung tangan.
Raven menggeleng. "Bukan di sana. Sebelahnya."
Emma mencoba mengusap lagi, tetapi tetap saja bibirnya masih belepotan, padahal es krimnya baru saja habis. "Apa udah hilang?"
Raven membuang napas panjang. Ia menarik tisu lalu mengulurkan ke bibir Emma. Karena baru saja menghabiskan satu porsi es krim yang dingin, bibir Emma terlihat semakin memerah saja. Itu membuat Raven ingin menggigitnya sekarang juga. Namun, ia menahan diri.
Dengan lembut, Raven mengusap ujung bibir Emma dengan tisu. Dari ujung kiri ke kanan lalu kembali lagi ke ujung kiri. "Selesai, kamu mirip bocah lima tahun makannya."
Emma membasahi bibirnya karena sensasi aneh baru saja menjalar di tubuhnya ketika Raven mengusap tadi. Ia menoleh pada Raven yang kini menekuni ponselnya. Ia menelan keras karena di sana, ia melihat nama Kalisa.