11. Raven & Kalisa Hanya Teman

1540 Words
Raven mengangguk ketika ia mendengar ucapan Kalisa. Karena Kalisa adalah sahabat dekatnya, Raven selalu menceritakan banyak hal. Termasuk rencananya balas dendam pada Emma. "Ini rahasia. Aku mau kamu jaga ini baik-baik," kata Raven. "Tapi ... itu artinya dia hamil dengan pria lain. Kenapa kamu harus terima? Apa kamu ... kamu nggak marah?" tanya Kalisa. "Seharusnya kamu menceraikan Emma, Raven. Dia bukan wanita yang setia. Dia nggak pantas untuk kamu!" Raven memijat pelipisnya. "Semua udah terjadi. Aku nggak bisa gitu aja ceraikan Emma. Orang tua aku udah tahu dan mereka mengira itu bayi aku. Mereka sangat bahagia, Lis. Aku juga marah. Aku kecewa. Tapi ... itu terjadi sebelum Emma nikah sama aku." "Dan kamu tetap mau bersama Emma? Jangan gila, Raven!" hardik Kalisa. "Kamu lupa, bagaimana Emma menyakiti hati kamu dan mempermalukan kamu. Seharusnya, sekarang saatnya kamu menghancurkan hati Emma. Tapi kenapa kamu lemah begini?" Raven membuang napas panjang. "Aku mau kasih tahu kamu dua rahasia hari ini. Yang pertama, kamu udah dengar." "Apa lagi, Raven?" desak Kalisa tak tahan. "Sebenarnya ... aku nggak mau menghancurkan hati Emma. Aku udah coba. Aku bohong kalau aku punya pacar. Dan aku mengaku sama Emma kalau kamu adalah pacar aku. Maafin aku, Lis. Tapi, aku cuma mau bikin Emma cemburu," kata Raven. Kalisa tercengang. Ia memang hanya mendengar secuil dari rencana Raven untuk balas dendam pada Emma. Ia mengira Raven bersungguh-sungguh ingin mematahkan hati wanita yang menurutnya tidak baik untuk Raven itu. "Kenapa kamu bego banget? Kamu secinta itu sama Emma?" tanya Kalisa. Raven hanya mengangkat bahunya sementara Kalisa semakin kecewa. "Emma bukan gadis baik. Dia bahkan hamil dengan pria lain, Raven. Seharusnya kamu buka mata kamu. Kamu sudah berubah, kamu bukan lagi pria cupu yang dihina mati-matian oleh Emma. Jangan mau dipermainkan oleh wanita itu." "Aku tahu Emma bukan gadis seperti itu lagi," kata Raven. "Itu karena kondisi keluarganya berubah, Raven. Selama ini, aku membantu kamu berubah, aku ngajarin kamu gimana berdandan dan merias diri, tapi aku kecewa sama kamu karena ujung-ujungnya, kamu berubah hanya untuk kembali pada Emma," kata Kalisa jujur. "Lis, jangan ngomong gitu dong. Aku merubah penampilan aku bukan hanya untuk Emma. Kamu tahu, aku nggak mudah berteman dulu. Dan hanya kamu yang mau temenan sama aku hingga aku ... jadi begini. Aku berutang banyak sama kamu," kata Raven. Kalisa mencebik. "Makanya, kamu jangan bodoh lagi, Raven. Buka mata kamu. Cerai aja sama Emma. Masih ada wanita lain yang tulus sama kamu. Emma itu jahat." Raven mengacak rambut Kalisa dengan gemas. "Kalau dia jahat, aku bakal ubah dia jadi wanita baik. Dan juga ... aku nggak pernah nemuin wanita yang tulus sama aku selama ini. Mereka yang mendekati aku hanya karena aku kaya atau tampan. Aku nggak pernah percaya sama mereka." "Dasar buta!" Kalisa mengumpat dalam hatinya. "Seharusnya kamu lihat aku, Raven!" "Aku beli jeruk. Kamu mau?" tanya Raven seraya mengulurkan dua buah jeruk pada Kalisa. "Oke. Thanks." Kalisa mengambil satu jeruk lalu mengupasnya dan mulai makan. "Aku harap kamu mempertimbangkan ucapan aku, Raven. Emma ... bukan wanita yang pantas untuk kamu. Kamu berhak mendapatkan wanita yang lebih baik daripada Emma." Raven yang ikut makan jeruk hanya terdiam selama beberapa saat. "Aku masih butuh bantuan kamu. Aku mau kamu pura-pura jadi pacar aku di depan Emma. Hanya di depan Emma. Oke? Aku masih ingin membuat Emma cemburu." "Ah, ayolah, Raven. Dia nggak suka sama kamu, dia nggak mungkin cemburu," kata Kalisa dengan nada jengkel. "Coba aja. Dia suka uring-uringan kalau itu menyangkut kamu," kata Raven yang ingat bagaimana Emma berteriak ia membenci seseorang yang selingkuh. "Terserah kamu aja," ujar Kalisa. Raven tertawa kecil. Ia merangkul bahu Kalisa dan menariknya erat hingga wanita itu terbatuk. "Kamu memang sahabat terbaik aku?" "Lepasin! Awas kamu!" *** Merasa sudah puas bicara dengan Kalisa, Raven pun memutuskan untuk kembali ke kamar Emma. Ia baru pertama kali mendengar Emma meminta sesuatu darinya. Dan itu adalah buah jeruk! Sungguh aneh, apakah wanita itu sedang mengidam? Pikirnya tadi. Raven membuka pintu kamar Emma dan membuat semua orang menoleh kepadanya. Ia melempar senyum tipis pada ayah dan ibunya yang masih menemani Emma. "Raven, kenapa kamu lama sekali?" tanya Asri dengan nada tak suka. "Kamu nggak tahu Emma nungguin kamu." Emma membelalak karena ucapan mertuanya. Sontak, ia pun menggeleng pada Raven yang menatapnya sinis. "Kamu nggak boleh lama-lama ninggalin Emma, gimana kalau Emma butuh sesuatu waktu kamu pergi? Untung saja kami udah di sini. Kamu tahu 'kan Emma nggak boleh banyak bergerak?" Sadewo ikut-ikutan mengomel pada Raven yang baru saja meletakkan plastik berisi buah jeruk ke atas nakas. "Aku membeli jeruk untuk Emma," ujar Raven. Ia mengambil sebuah jeruk lalu mengulurkannya pada Emma. Dengan keras Asri memukul bahu Raven hingga putranya itu mengaduh pelan dan meringis. "Kamu bodoh atau gimana sih? Udah dibilang Emma nggak boleh banyak gerak. Kamu harus kupasin dan suapin Emma jeruknya." "Nggak perlu, Ma. Aku bisa sendiri," kata Emma tak enak. Meminta jeruk pada Raven saja sudah membuatnya menahan malu, apalagi jika ia harus disuapi oleh Raven di depan mereka. Raven membuang napas panjang. Ia akhirnya duduk di tepi ranjang Emma lalu mulai mengupas buah berkulit oranye itu. "Bagus, Raven. Istri kamu sedang ngidam. Kamu harus bersabar dan melayani istri kamu karena dia sedang mengandung anak kamu," kata Asri seraya mengusap lengan Raven sekilas. Raven menghentikan aktivitasnya mengupas jeruk, sementara Emma berdebar lebih keras. Emma menatap wajah Raven yang tak bisa ia baca itu. Namun, Emma yakin Raven sedang menahan amarah dan kekecewaan di hatinya. "Benar, Emma yang bersusah-payah mengandung," lanjut Sadewo. "Perlakukan Emma dengan baik. Jangan sampai ada kejadian seperti ini lagi. Dia mungkin terlalu lelah makanya bisa pendarahan." "Papa kamu benar. Kami tahu kalian pengantin baru, tapi kalian harus berhati-hati ketika berhubungan seks. Jangan terlalu menuntut Emma ketika ia sedang hamil muda, Raven," kata Asri tak tanggung-tanggung. Emma meremas sepreinya karena mendengar ucapan mertuanya yang berlebihan. Ia merasa sedih karena ia harus berbohong seperti ini. Sementara Raven hanya bisa menelan keras. Ia baru bermain-main dengan tubuh Emma. Ia belum menikmati semuanya. Ia tidak pernah memaksa Emma melakukannya karena ia ingin Emma yang memintanya. Ia ingin Emma menginginkannya. "Nah, makan," kata Raven membuyarkan benak Emma. Pria itu menyodorkan buah jeruk ke depan bibir Emma. Aroma jeruk yang segar membuat Emma sedikit bersemangat. Ia langsung membuka mulutnya dan Raven memasukkan jeruk itu ke sana. Ketika Raven menarik jarinya, ia bersumpah bisa merasakan ujung jari Raven di bibirnya. Itu membuat Emma berdebar semakin liar. Asri dan Sadewo tersenyum melihat interaksi Emma dan Raven. Apalagi ketika Emma terlihat tersenyum tipis ketika bisa menikmati jeruk yang pasti ia idam-idamkan itu. "Mama sama Papa bisa pulang. Ini udah lewat waktu sarapan. Apa kalian udah makan?" tanya Raven. Ia baru selesai menyuapi satu buah jeruk ke mulut Emma. Tentu saja ia berdebar-debar ketika melihat katupan bibir pucat Emma bergerak-gerak. Emma bahkan sesekali mengulum bibirnya sendiri seolah ingin menikmati semua cairan buah jeruk itu. Jadi, ia segera mengambil sebuah lagi dan mulai mengupas. "Kami masih mau di sini. Kami senang menemani Emma," kata Asri. Dengan tatapan haru, ia mengusap lengan Raven lagi. "Dengar, Raven, kami berdua sangat senang Emma bisa hamil secepat ini. Kami sama sekali tidak menyangka. Kamu tahu sendiri, berapa tahun kami menunggu kamu hadir di tengah pernikahan kami? Mama cukup khawatir ketika kamu menikah. Barangkali kamu ...." "Ma, aku nggak papa," potong Raven. "Ya, Mama hanya bersyukur, Raven," kata Asri cepat. Raven tersenyum tipis karena tak ingin membuat orang tuanya curiga. Ia merasa berdosa karena harus berbohong seperti ini. Jika mereka tahu bahwa Emma mengandung bayi pria lain, ia yakin mereka akan membenci Emma. Dan Raven tak ingin itu terjadi. "Raven, buruan kamu suapi Emma lagi," kata Sadewo yang melihat menantunya tampak ingin makan. "Oh, ya." Raven kembali menyodorkan buah jeruk itu ke bibir Emma. Ia tersenyum tipis, sangat tipis hingga Emma tak sadar. Atau mungkin, Emma hanya fokus pada buah jeruk di mulutnya. Namun, Raven tak bisa menahan dirinya. Ia senang melihat Emma begitu senang makan jeruk tidak seperti tadi ketika makan bubur. "Kamu lihat itu, istri kamu seneng banget makan jeruk. Makanya kalau istri kamu minta sesuatu kamu jangan lama-lama di luar," kata Asri mengingatkan. "Aku udah sampai rumah sakit dari tadi, Ma. Tapi, aku sempat ketemu sama Kalisa," tukas Raven. Emma menghentikan kunyahannya ketika mendengar Raven mengucapkan nama Kalisa dengan sangat santai di depan orang tuanya. Apakah mereka tahu bahwa Raven dan Kalisa berpacaran? Pikir Emma dalam hati. "Ehm, bagaimana kabar Kalisa setelah kecelakaan?" tanya Sadewo. "Dia sedang terapi, makanya ketemu," jawab Raven. Emma menelan dengan keras hingga ia terbatuk. Raven segera berdiri lalu mengambilkan air untuk Emma. "Kunyah dengan baik," ujarnya. "Emma mungkin kaget mendengar kamu bertemu dengan seorang wanita," kata Asri sambil tertawa. "Jangan khawatir, Emma. Kalisa hanya teman Raven. Mereka memang sangat dekat, sudah seperti saudara yang tak terpisahkan. Mereka mulai dekat sejak Raven lulus SMA." Emma menoleh pada Raven yang tak menyangkal ucapan ibunya, bahkan tidak merespon. Barangkali, Raven tak ingin orang tuanya tahu bahwa ia dan Kalisa berpacaran. Mungkin, mereka diam-diam pacaran, pikir Emma lagi. "Benar, Raven dan Kalisa sangat dekat hingga tadinya kami mengira Raven akan menikah dengan Kalisa," tukas Sadewo. Perut Emma kini rasanya seperti diaduk-aduk. Mereka hampir menikah, pikirnya dalam hati. Namun, pada akhirnya Raven menikahinya. "Kamu jangan khawatir apalagi cemburu. Raven meminta kami untuk cepat-cepat melamar kamu. Raven benar-benar ingin menikahi kamu, Emma," kata Asri menegaskan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD