Kesedihan akan berubah menjadi kebahagiaan jika bisa menerima semua kesakitan sebagai rasa syukur. Meskipun, Kiren merasakan betapa sakitnya dikhianati, tapi ia juga bersyukur ada Fabian yang selalu memberikan apa yang dibutuhkannya.
Dalam seminggu ini Fabian setiap malam selalu tertidur pulas berada di ranjangnya dalam keadaan telanjang dengan memeluknya. Fabian sangat liar dan menggairahkan tanpa lelah selalu bisa membuatnya menjadi lebih bahagia.
Malam ini, Fabian datang terlambat tidak seperti malam-malam sebelumnya. Kiren sangat mengetahui alasan apa yang membuat pria itu datang lebih larut. Sekarang, ia berada di samping Fabian yang baru saja habis menikmati tubuhnya.
"Besok jadi ke Surabaya?" tanya Kiren.
"Iya jadi," jawab Fabian.
"Pesawat jam berapa?"
"Jam 7 pagi."
Kiren menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang telanjang. Tubuh Fabian yang telanjang sama sekali tak tertutupi, otot-otot perut yang membentuk atletis membuat pemandangan di depannya begitu sempurna, lekukan wajah Fabian yang tegas dengan alis hitam membentuk barisan lengkungan indah. Bibirnya memerah dan hidungnya yang bangir semakin menegaskan ketampanan pria itu.
Kiren tak bosan-bosannya memandangi Fabian. Selalu saja tergoda untuk naik di atas kejantanan Fabian dan menggoyangnya. Laki-laki itu tak hanya tampan, tapi juga perkasa memuaskannya di ranjang.
"Jam 7 pagi? Kamu harus pergi pagi-pagi sekali Bi. Kenapa malah ke sini?"
"Karena aku merindukanmu. Nanti kita akan berpisah selama 2 hari dan aku sudah membawa barang-barangku di dalam mobil jadi besok pagi aku berangkat dari sini."
Pipi Kiren merona. Perkataan Fabian yang seakan tak rela berpisah dengannya mampu membuatnya tersanjung. Fabian melihat Kiren dan memainkan tangannya bermain nakal menelusuri punggung dan pinggang Kiren menimbulkan sensasi geli yang menjadi candu.
"Ahh, geli Bi" Kiren terawa geli dengan kelakuan Fabian yang menggelitiknya. Dengan tubuh telanjang mereka saling bercanda dan memuji satu dengan lainnya. Sampai ia memegang tangan Fabian yang besar dan mengecup telapak tangannya.
"Apa sudah pamitan sama Aurel? Seharusnya kamu menghabiskan malammu di sana bukannya malah bersamaku."
Raut wajah Fabian berubah. Yang tadinya tertawa bahagia bersama Kiren sekarang memperlihatkan wajah tak suka saat Kiren menyebut nama kekasihnya. Baginya saat bersama Kiren, dirinya hanya untuk Kiren, begitu juga saat bersama Aurel. Ia tidak bisa memikirkan yang satu saat bersama yang lain.
"Aku sudah bersamanya seharian, jadi malam ini aku harus bersamamu. Kamu kan tau aku harus mendapatkan kenikmatan dan memberikanmu kenikmatan sebelum aku pergi." Fabian melirik Aurel nakal.
"Ooh…"
"Kamu selalu bisa memberikan apa yang aku inginkan, Ren. Junior ku selalu merindukan ini." Fabian menyentuh inti Kiren yang tidak tertutupi apapun. Jari tengahnya masuk dan berputar.
Kiren menggigit bibir bawahnya menahan suara desahan yang akan keluar dari bibirnya. Ada rasa kesal sekaligus nikmat di saat bersamaan. Ia menyesal sudah menyebut nama sahabat baiknya diantara mereka, seharusnya sadar kalau nama Aurel lah yang selama menjadi pembatas hubungan dan statusnya dengan Fabian.
Kiren tak ingin lagi menjadi seperti ini, ia menampik tangan Fabian dan akan beranjak pergi dari ranjang, tapi posisi Fabian yang ada di sampingnya malah memudahkan laki-laki itu menarik pinggangnya dan dengan cepat mengangkat salah satu paha Kiren lalu memasukan kejantananya ke inti Kiren.
"Bi… sakiiit." Kiren mengerang kesakitan saat Fabian memasukan kejantanannya secara paksa ke intinya. Namun, ia tak bisa juga menolak Fabian malah semakin bergerak liar dan brutal menghujam intinya.
"Jangan menyebut nama wanita lain saat kita bersama Ren," ucap Fabian sambil terus mendorong pinggulnya keluar masuk ke lembah-lembah surgawi Kiren.
Fabian terus menghentakan kejantanannya secara emosi dan menjadikan tubuh Kiren amburadul di bawah kendalinya. Bergerak semakin liar di atas Kiren yang telah menjadi candu untuk semua gairahnya dan harus segera dituntaskan.
Kiren mendesah sambil menahan rasa sakit di hatinya. Tubuhnya bergetar menahan hentakan kasar pinggul Fabian, dadanya begitu sesak, segalanya terasa kosong. Air mata turun di pipinya, ia menangis menyakitkan dengan kenikmatan yang diberikan Fabian.
Tangan Kiren mencengkram sprei untuk menahan marah dan kesakitannya. Hingga pada puncaknya akan meledak, mendesah nikmat di saat bersama gerakan pinggul Fabian juga semakin tak karuan, mengeram dan mendapatkan pelepasannya yang kedua bermain kasar demi kepuasannya sendiri. Laki-laki telah mencapai ledakan kenikmatan hangat masuk ke dalam inti Kiren.
"Jangan lagi kamu menyebut nama Aurel kalau kamu ga suka aku berbicara tentangnya. Kamu dan Aurel itu berbeda!" Fabian bangkit dari ranjang.
Kiren tidak terima Fabian membandingkan dirinya dan Aurel. Ia juga bangkit dari ranjang dan menarik lengan Fabian.
"Lalu kenapa kamu malah ke sini, hah? Sana pergi ke Aurel." Kiren berteriak marah dan Fabian menatapnya marah.
"Apa! Kenapa kamu melihat aku begitu?" Kiren semakin menantang Fabian. "Kamu itu punya Aurel, kenapa kamu ga bercinta saja sama Aurel dan tuntaskan gairah liar sialmu itu ke kekasihmu? Jangan ke aku!"
Kiren sangat cemburu Fabian lebih memuja Aurel. Ia selalu ingin lebih baik jika dibandingkan Aurel. Ia tak bisa menerima tentang dirinya yang hanya jadi alat pelampiasan seksual laki-laki itu. Ia terlalu bodoh dan selalu tak berdaya dengan pesona Fabian, padahal sudah jelas kalau statusnya hanya selingkuhan Fabian.
"Tenanglah Kiren!" Fabian memegang pundak wanita itu. "Kamu sudah tahu kan kalau aku akan menjaga milikku dan tak akan pernah menyentuh Aurel sebelum kami menikah."
"Lalu kenapa harus aku, Fabian?"
"Kiren, apa kamu lupa kalau kesepakatan kita dari awal ini hanya senang-senang? Kita berbagi kenikmatan tidak memakai hati."
Kiren tak mampu lagi berkata-kata. Ia hanya terdiam saat Fabian pergi ke kamar mandi membersihkan sisa-sisa percintaan mereka. Kiren terduduk lemas dengan air mata yang mengalir di pipinya di tepi ranjang, ia tak bisa terus menerus jadi seperti ini. Fabian keluar dari kamar mandi dengan berpakaian rapi. Kiren tahu laki-laki itu pasti akan pergi dari apartemennya untuk menghindari pertengkaran mereka.
"Aku ingin hubungan kita berakhir, Fabian." Suara Kiren terdengar lirih.
Fabian membelalakan matanya. Ia tak pernah menyangka kalau Kiren akan mengakhiri hubungan mereka. Ia menggelengkan kepalanya. "Jangan mengambil keputusan saat kamu emosi. Pikirkan semuanya dengan tenang. Aku ga mau hubungan kita berakhir, Kiren."
"Maaf Fabian. Aku yang sudah ga mau melanjutkan perselingkuhan kita ini. Aku juga ingin menjaga kehormatanku sendiri demi harga diriku yang matamu rendah."
"Kiren bukan seperti itu maksudku. Aku tidak pernah memandangmu rendah."
"Sudah cukup Fabian."
"Tolong kamu jangan salah paham Kiren. Aku benar-benar tidak pernah–"
"Pergilah Fabian, kamu harus segera keluar dari apartemenku dan jangan pernah lagi kamu menyentuhku sampai kapanpun."
"Baiklah jika memang itu keputusanmu. Hubungan kita berakhir di malam ini dan jangan sampai Aurel mengetahui tentang hubungan kita sampai kapanpun."
"Tenang saja aku bukan wanita yang membiarkan diriku sendiri dihina orang lain karena jadi selingkuhan kekasih sahabatku sendiri."
Fabian menghembuskan napas berat. Ia tak melanjutkan perkataannya lagi dan beranjak pergi. Jika diteruskan mereka akan berakhir dalam pertengkaran. Walaupun, ia tak rela melepaskan Kiren yang sudah menjadi candunya, tapi tak lagi memiliki alasan lain untuk mempertahankan hubungan mereka.
Kiren menangis sendirian di ranjang. Bahkan, di saat terakhir hubungan mereka pun, Fabian masih mengkhawatirkan Aurel. Sama sekali tidak memikirkan perasaannya yang lagi-lagi telah hancur berkeping-keping.