Niat hati ingin tenangkan diri dengan mangkir dari sesaknya suasana kantin yang penuh dengan jeritan heboh si dede gemes-nya dari berbagai fakultas dan jurusan.
Dan malah berakhir dengan bertemunya dia dengan si rival. Ah, tidak-tidak, itu bukan sebuah nama, maksudnya, dengan musuhnya.
Iya musuh. Memangnya pria playboy seperti Anze tidak memiliki musuh? Tentu saja. Mustahil kalau tidak. Akan menjadi berita heboh jika si berandal playboy ini tak memiliki musuh. Ayolah, semua laki-laki di kampus ini, rata-rata memiliki dendam tersendiri pada Anze.
Masalah apa memangnya? Tentu saja wanita, apa lagi. Para kekasih mereka akan dengan mudah mengatakan putus kala kedip mata Anze sudah terlayang pada mereka. Siapa yang tidak marah? Sedangkan Anze? Pria itu hanya mengedikkan bahu acuh dengan membela diri. "Salah sendiri kenapa nggak bisa se-ganteng gue. Mata cewek itu lebih jujur nilai mana yang ganteng mana yang nggak," ucapnya yang semakin menyulut api di dalam diri para pria itu.
"Lah, ketemu playboy kaleng," ucap pria itu mengambil tempat duduk di samping Anze.
Dua sahabat Anze yang lain tadinya sudah akan menarik pria itu menjauh, namun tatapan Anze menghentikannya. Anze masih sanggup menghadapi lele sawah yang satu ini.
"Eh, playboy plastik, kenapa?" balas Anze, yang total membuat senyum mengejek dari pria itu luntur seketika.
Salah satu dari sekian banyak hal yang membuat dirinya membenci Anze adalah, pria ini dengan seenaknya membuat gelar plastik untuknya, membuat orang-orang nerasumsi bahwa dia melakukan serangkaian operasi untuk memperbaiki bagian wajahnya. Yang mana, itu membuat para gadis ilfeel padanya dan berakhir pada pacarnya yang meminta putus darinya.
Memilih mendengus, Yoan, si musuh Anze, kini menatap Anze yang sibuk dengan ponselnya.
"Pantengin aja tu hape sampai meledak. Sedih banget, degem-nya nggak ada yang chat ya?" Lagi, ejekan itu terdengar yang membuat Anze total menutup layar ponselnya dan memutar tubuh menghadap sepenuhnya pada Yoan.
"Lo nggak punya masalah hidup ya? Sampai ngurusin hidup orang lain? Ck. Mumpung gue masih berbaik hati, mending lo pergi deh dari sini," ucapnya mengusir, mengibas-ngibaskan tangannya membuat gestur mengusir.
Sedangkan Bagas dan Xian? Mereka tak banyak ikut campur. Dua pria ini tidak sepatutnya untuk di tolong dan dipisahkan jika bertengkar. Hanya akan menambah keributan yang ada dengan bonus wajah Bagas dan Xian yang nantinya akan lebam-lebam.
Belum sempat Yoan memberi sanggahan yang tak kalah memancing emosi dari yang Anze lontarkan. Ponsel Anze yang terletak di meja, bergetar, menandakan ada telepon dari seseorang.
Dia lihat ponselnya, dan nama sang kakak tertera di layar dengan foto alay mereka berdua sebagai wallpaper.
Tanpa peduli dengan atensi Yoan dan kedua sahabatnya di meja itu, Anze langsung mengangkat sambungan telepon itu.
"Halo, Assalamualaikum, Ay," ucapnya, menempelkan layar persegi itu pada daun telinga.
"Waalaikumsalam, di mana sekarang?" tanya Areta dari seberang sna
"Gue di kampus, kenapa?" jawab Anze sekaligus memberi pertanyaan.
"Ck. Nongkrong sambil godain cewek di cafe, malam bilangnya di kampus," celetuk Yoan tiba-tiba dengan suara yang agak keras sehingga Areta dapat mendengarnya.
"Siapa, Je?" tanya Areta penasaran.
Anze segera meraih kerah kemeja Yoan untuk dia cengkram dengan kuat. "Diem, atau lo tau akibatnya," ucapnya tanpa suara.
Setelahnya melepaskan cengkraman itu membaut Yoan sedikit terhuyung ke belakang.
Anze tidak pernah mau sang kakak tau bahwa dirinya memiliki musuh. Tak ingin membuat gadis yang sering mendapatkan kejahilan dari dirinya itu merasa cemas kala dia berangkat ke kempus dengan banyak kata-kata khawatir mengikuti.
"Nggak. Emang kenapa? Lo udah pulang?" tanya Anze kemudian, dengan mata yang masih mengawasi Yoan.
"Iya udah, jemput dong. Sekalian temenin gue ke toko buku bentar, ya?" ucapnya.
Toko buku adalah salah satu musuh Anze juga. Tempat yang penuh dengan rangkaian kata yang tertuang pada berlembar-lembar kertas itu, membuat kepalanya pusing dan perutnya terasa di aduk-aduk, mual.
"Iya, tunggu di ruangan lo aja, gue yang jemput ke sana," perintahnya yang langsung disambut pekikan setuju dari Areta.
Tentu saja gadis itu senang, dirinya tak perlu berpanas-panasan berjalan ke gerbang kampus dan menunggu dengan keringat di halte bus.
Memutuskan sambungan telepon setelah menjawab salam yang tadi diucapkan sang kakak. Menyimpan ponselnya lebih dulu di saku celana lalu beranjak dari sana setelah menyandang tasnya di sebelah kanan, menambah kesan cool pada dirinya di mata para gadis yang ada di sana.
"Gue cabut dulu. Kalian lanjut aja, agak sorean, gue baru balik kampus lagi," ucapnya pada Bagas dan Xian yang hanya mengangguk cepat tanda mengerti. Tak ingin perpanjang kata yang nantinya akan membuat perubahan mood Anze semakin buruk.
"Cih, cewek mana lagi yang lo jebak?" tanya Yoan membuat langkah Anze terhenti.
"Mending lo pergi aja deh, nggak usah ngajak ribut!" bentak Bagas setelah mukul meja cafe yang total membuat suasana menjadi hening seketika.
Tak ada yang bereaksi, baik Anze maupun Yoan yang malah menatap mengejek padanya. Maka beranjak dari tempat duduknya yang sebelumnya sempat di tahan Xian, menarik kuat lengan Yoan untuk pergi dari sana. "Lo makin dibiarin makin ngelunjak tau nggak. Jadi, sekarah lebih baik lo pergi dan jangan muncul-muncul lagi di hadapan kita," ucapnya lagi dengan masih saja menyeret Yoan.
Kesal dengan perlakuan itu, Yoan menyentak kuat tangan Bagas hingga terlepas dari pergelangan tangannya.
"Santai dong elah. Lagian gue 'kan ngomong sama Anze, kenapa lo yang sibuk?" ucapnya menghapus kasar jejak telapak tangan Bagas dari pergelangan tangannya.
"Lagian gue 'kan nggak salah," ucapnya lalu menoleh pada Anze yang masih saya bergeming di tempat. "Cewek murahan mana lagi yang berhasil dia jebak?" tanyanya sekali lagi dengan suara yang semakin dekat di telinga Anze.
"b*****t!"
Bugh!
Yoan tersungkur di antara meja-meja cafe. Tak berhenti sampai di situ, Anze yang sudah hilang rasa sabar sejak awal, kini total tak peduli lagi akan rasa itu. Di lempar sembarang tas yang dia sandang, menerjang lagi Yoan yang akan berdiri hingga kembali tersungkur semakin jauh.
"Dia kakak gue, b******k! Berani banget lo hina dia hah!"
Seiring dengan teriakan menggelegar penuh amarah dari Anze, begitulah kuat kepalan tangan Anze memukul wajah tampan Yoan. Pria itu memerah padam. Dan seumur-umur, ini adalah perdana bagi mereka melihat seorang Anze mengamuk bak kesetanan.
Bagas dan Xian? Mereka hanya diam. Telampau tau bagaimana seorang Anze sedang melampiarkan amarah. Dan telampau tau bagaimana jadinya si korban. Daripada memperparah, lebih baik menunggu pemuda itu berhenti sendiri.
Sampai kapan?
Tidak ada yang tau kapan Anze akan berhenti.
Jahat?
Ayolah, kejahatan sudah melekat pada mereka dari lama.
***