Tiga Sahabat

1152 Words
Hampir setengah jam, Areta bahkan sudah hampir tertidur di sofa ruangannya dan batang hidung Anze, jangankan batang hidung, harum parfum pemuda yang berstatus adiknya itu tidak tercium di penciumannya. Ke mana dia? Tidak biasanya se-lama ini. Oh, apa pemuda itu sedang mengerjainya? Mengingat betapa jahilnya si adik padanya, tidak menutup kemungkinan kalau dugaannya benar bukan? Lihat saja, kalau sampai pemuda itu mengerjainya, akan dia hajar habis-habisan. Batin Areta, lengkap dengan anggukan kepala dan kepalan tangannya, mendukung semua yang batinnya katakan. Beranjak dari sofa, mengambil tasnya lalu berjalan menuju pintu. Dan tepat saat itu pintu ruangannya diketuk. Siapa? Tanyanya dalam hati. Adiknya yang sangat minim sopan santun itu tidak akan pernah mau menghabiskan waktu dengan menunggu di luar dan mengetuk pintu. Perlahan, dengan hati yang bertanya-tanya serta menerka-nerka siapa yang ada di balik pintu, Areta berjalan menuju pintu untuk membukakan si tamu. "Eh, Xian," ucapnya pertama kali menemukan wajah sahabat sang adik di depan pintu. "Assalamualaikum, Kak," ucapnya menebar senyum lebar di sana. "Waalaikumsalam, kok lo di sini? Anze mana?" tanyanya seraya menoleh ke belakang, mencari keberadaan adiknya. Xian menggaruk kepala belakangnya, terlihat gugup saat ingin menjawab. Bingung tentu saja. Dirinya sangat tidak pandai merangkai kata-kata, dan Bagas dengan tidak berperikeXian-an menyuruhnya untuk menjemput Areta. Apa yang akan dia katakan mengenai Anze? "Anu, Kak ...." Hanya sebatas itu. Hanya sebatas kata gugup yang dilontarkan membuat kening Areta lantas mengerut. "Apa?" tanyanya lagi, heran dengan reaksi Xian yang hanya menggaruk kepala belakang tanpa berkata yang jelas. Jengah melihat itu, Areta menghembuskan nafas lelah. "Anze kenapa lagi? Buat ulah lagi?" tanyanya selanjutnya. Melihat respon Xian yang langsung menegakkan kepala saat dirinya berkata begitu, Areta sudah tentu paham apa jawaban yang akan dilontarkan. Dirinya memang tidak tau bagaimana pergaulan sang adik di kampusnya. Yang dia tau hanya sang adik yang terkenal sebagai casanova di kampusnya, dan hanya dua sahabat dekat dari adiknya ini, selebihnya Areta tidak tau. Tapi yang jelas, insting seorang kakak sudah pasti mengerti bagaimana adiknya meski sang adik tak turut bicara. "Mending lo liat sendiri deh, Kak," ucap Xian akhirnya. Bingung dengan kata yang akan dia pilih, dan tak ada pilihan lain untuk mengatakan itu. Terlihat si kakak dari sahabatnya itu mendecak pelan. Mungkin kesal. Entah karena dirinya atau karena ulah Anze, yang penting dirinya sudah yakin bahwa Areta tau apa yang terjadi pada Anze. "Ya udah, ayo," ucapnya kemudian. Bergerak ke luar lalu menutup dan mengunci ruangannya. Langkahnya kemudian dihentikan oleh dua orang mahasiswanya yang datang ke ruangannya. "Ada apa Key?" tanyanya pada gadis yang dia panggil Key itu. "Ini Miss, rekaman yang tadi Miss minta," ucapnya menyerahkan sebuah flashdisk pada Areta. Areta menerimanya dan mengangguk pelan. Ingin menanggapi sebelum gadis yang satunya berbicara. "Oiya Miss, tadi kami juga record yang kreasi juga. Miss liat ya? Kasih tau nanti kurangnya di mana, ya Miss?" pintanya pada si dosen. "Loh? Jam saya nggak se-lama itu sampai kalian bisa kreasiin satu lagu. Kalian nggak bolos, 'kan?" tanyanya dengan mata memicing curiga. Keduanya langsung geleng kepala dengan kuat. Mentah-mentah membantah tuduhan yang kini Areta lancarkan pada mereka. "Nggak, Miss. Itu tadi emang jam kosong, dosennya ada dinas ke luar kota. Beneran Misa. Kalau Miss nggak percaya, tanya aja sama dosennya," ucap Key menjelaskan. Barulah senyum Areta terbit di sana. Tidak tidak, Areta percaya dengan para mahasiswanya bahwa mereka tidak akan mengecewakannya. Hanya mengerjai yang ternyata ditanggapi serius oleh dua gadis ini. "Iya iya saya percaya. Ya udah, ada lagi?" tanyanya dan keduanya serentak menggeleng. "Nggak Miss, kami mau ngasih itu aja," jawab Key. Areta mengangguk pelan lalu menyimpan flashdisk berwarna hitam itu di saku celananya. "Ya udah, saya mau pergi dulu ya, ada urusan soalnya," ucap Areta dan keduanya mengangguk lalu memberi jalan untuk Areta. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam, hati-hati, Miss," jawab mereka dan Areta hanya mengangguk sambil memberi senyuman, pun dengan Xian yang ikut memberi senyum. "Siapa, Kak?" tanya Xian saat mereka sudah berada di lift. Areta menoleh, sedikit mengeryit dengan pertanyaan itu. Namun setelahnya menggumam 'Oo' kala mengerti dengan maksud Xian. "Murid gue, kenapa?" tanya Areta. Xian menyengir lebar di sana. "Cantik. Namanya siapa, Kak? Oh, nomor teleponnya deh, minta gue," ucapnya seraya mengulurkan ponsel padanya. Areta mendengus, memutar bola matanya malas. "Lo playboynya di kampus lo aja, mahasiswi gue jangan dimainin juga," jawab Areta sinis membuat Xian terkekeh kecil. Anze dan dua sahabatnya sudah bersahabat sejak kecil. Ibarat kandungan, dari embrio mereka sudah berkenalan. Tabiat mereka bertiga itu sama, seberapa playboy seorang Anze, begitu pula dua sahabatnya ini. "Pengen kenalan aja, Kak. Menjalin silaturahmi itu 'kan dianjurkan," ucapnya sok bijak. Pintu lift terbuka, diiringi dengan decakan malas dari Areta. "Silaturahmi tapi nggak bikin kampung mantan juga. Orang tuanya mati-matian ngasih kasih sayang, lo bertiga yang orang asing langsung main nyakitin aja. Nggak ada hati emang," tutur Areta ketus membuat Xian meringis mendengarnya. Dirinya dan kedua sahabatnya tau, gadis-gadis yang mereka kencani dan tinggalkan begitu saja pasti merasakan sakit yang sangat, tapi, entahlah. Hati mereka sepertinya belum sepenuhnya terbuka untuk menerapkan ketahuan mereka itu. Untuk menerapkan apa yang Areta katakan barusan. *** Beberapa menit perjalanan, mobil Xian membawanya pada sebuah klinik kesehatan di dekat kampus tempat adik-adiknya ini berkuliah. Pikiran negatif mulai mengerayangi otaknya. Berbagai pikiran negatif tentang apa yang terjadi pada sang adik sudah mulai mengganggunya. Dan Xian tidak bisa untuk tidak melihat raut cemas di wajah Areta. "Tenang aja, Kak. Bukan Anze kok. Dia mah masih sehat walafiat," ucapnya seraya membuka pintu mobil. Mengikuti langkah Xian dengan rasa takut yang masih menghantuinya. Belum sepenuhnya tenang dengan kata-kata Xian barusan. Siapa tau itu hanya penenang sementara. Klinik ini tidak terlalu besar, bebera langkah dari lorong depan, bahu Areta total merosot, dirinya lemas kala melihat sosok sang adik yang tengah duduk di kursi tunggu dengan ponsel di tangannya. Dari pandangannya, memang benar, Anze baik-baik saja. Tak ada luka, lembam maupun bercak darah di tubuh adiknya. Berarti adiknya memang baik-baik saja. "Je," panggilnya membuat Anze yang sedari tadi menunduk memandangi ponselnya kini menegakkan kepala. Keningnya mengerut, kentara sekali pria itu terkejut melihat kedatangan Areta di sini. Meletakkan ponselnya di kursi lalu berdiri, berjalan mendekat pada Areta yang ada di samping Xian. "Ay? Kok di sini? Ngapain?" tanyanya. "Harusnya gue yang nanya, lo ngapain ada di sini? Lo sakit? Kenapa nggak jadi jemput gue?" tanya Areta beruntun. Anze yang mendengar rentetan pertanyaan itu segera menoleh pada Xian. Bagas bilang, Xian pergi membeli makanan untuk mereka. Dan apa ini? Kenapa kakaknya bisa ada di sini? "Gue nggak apa-apa. Duduk dulu," ucapnya menarik tangan Areta untuk duduk di kursi tunggu. "Gue tadi mukulin orang. Nggak sampai mati kok. Kata dokter cuma patah tulang aja," jelasnya sebelum Areta kembali lontarkan pertanyaan padanya. Areta yang mendengar pengakuan santai dari Anze, mau tak mau melongo. Bagaimana bisa si adiknya yang gila ini bisa berbicara begitu ringan mengenai keselamatan seseorang? "Aduh duh! Ay! Sakit! Aduh! Punggung gue woi! Aduh!" Anze terpekik karena Areta terus saja memukuli punggung adiknya itu dengan tas yang dia bawa, sambil menyumpah serapahi sang adik dengan berbagai kata. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD