Dosen Muda

1462 Words
Bunyi tabuhan gendang, bersautan dengan bunyi berisik nan merdu dari alat musik tradisional lainnya. Salah satu hal yang disukai para mahasiswa jika belajar dengan Areta adalah ini. Dosen muda nan cantik itu tidak muluk-muluk dengan berbagai materi yang disampaikan. Teknik belajarnya adalah, praktek sekaligus materi. Bagus bukan? Untuk apa mempelajari materi kalau nyatanya mereka tidak bisa mempraktekkannya. Seni bukannya sama dengan pelajaran lain, seni berbicara soal skill. Skill tidak ada tapi teori dan materi hapal di luar kepala, itu percuma. "Oke, stop." Areta angkat tangannya ke atas dengan telapak tangannya yang bergerak menutup, memberi kode untuk berhenti. Dosen muda itu berdiri dari duduknya dan berjalan menuju dua orang vokalist yang baru saja membawakan lagu yang dia pinta. "Lagu wajibnya emang ini aja ya? Atau ini belum fix?" tanyanya pada mereka berdua. "Kemarin panitianya bilang ini udah fix, Miss," jawab salah satunya yang diangguki yang lainnya. Areta mengangguk-angguk kecil. Ada empat buah lagu bergenre pop di sana dan ke empat-empatnya kurang cocok dengan warna vokal mereka berdua. "Gimana ya? Saya rasa lagu ini kurang cocok kalau kalian bawain. Bukan nggak bagus, bagus kok. Cuma ya itu tadi, feel-nya nggak dapat-dapat," ucapnya memberi komentar. Tentu saja, komentar itu membuat kedua vokalist itu menurunkan bahu lemas. Lomba akan dimulai besok malam, di universitas tetangga. Dan sialnya mereka baru mendapat kabar dua hari yang lalu. Mau tak mau, mencalonkan diri daripada kehabisan waktu untuk menyeleksi. Dan sekarang, bermasalah pada lagunya, kapan lagi mereka akan berlatih? "Trus, gimana dong, Miss? Kita nggak mungkin cari pengganti, 'kan?" si gitaris memberi komentar. Areta lantas menggeleng. "Saya 'kan emang nggak nyuruh ganti vokalist. Sekarang kita pikirin, gimana lagu ini bisa dibawain dengan maksimal," ucap Areta membuat mereka semua kini memutar otak untuk nanti mengemukakan ide. Areta berbalik badan. Matanya memidai semua muridnya yang tengah asik dengan kegiatan masing-masing. Tak jauh-jauh dari hal berbau seni tentunya. "Attention please!" ucap Areta dengan suara yang agak lantang, seraya bertepuk tangan untuk memberi intruksi lebih. Dan kapan mereka tidak patuh pada si dosen kesayangan ini? Tak perlu ada aba-aba yang berlebihan, mereka kini berjalan mendekat, membuat barisan penuh di depan Areta dan permainan band lainnya. "Saya mau minta usulan kalian. Lagunya nggak cocok sama warna vokal mereka. Gimana caranya kita bikin lagunya jadi cocok?" tanyanya pada mereka semua. "Miss." Satu orang mengangkat tangan dan Areta mempersilakan. "Kenapa nggak ganti lagu aja?" tanyanya membuat Areta menggeleng. "Nggak bisa, ini udah ketentuan dari sana. Ada yang lain?" tanyanya lagi. "Ubah aransemen aja, Miss," usul yang lainnya. "Udah di coba, tetep aja belum cocok," jawab Areta lagi. Berdiskusi dan bertukar pendapat dengan sang mahasiswa, hanya Areta yang bisa melakukannya. Itu adalah pengakuan dari mahasiswanya sendiri. Bukan karena hilang rasa segan pada si dosen, tapi karena hanya dosen muda ini yang mereka rasa memang cocok dengan mereka semua. Coba saja dosen lain yang meminta pendapat seperti ini, pendapat mereka seakan tidak mau keluar dari pikiran. "Gimana kalau, aransemen yang ikutin warna vokalnya, Miss. Lagu yang dibawain nanti nggak harus sesuai dengan originalnya kan?" Faiz, si ketua bertanya. Areta berpikir sejenak. Itu bisa dicoba, hanya saja, para pemainnya yang dia tidak tau bisa atau tidak. "Nggak harus kok. Asal jangan ubah lirik aja, ntar kena hak cipta," jawab salah satu vokalist. Mereka semua mengangguk mengerti. Berarti sudah tepat bukan? Areta kembali berbalik pada si pemain band yang belum bersuara sedari tadi. "Gimana? Bisa nggak?" tanyanya. Satu mengangkat tangan. Si drummer. "Saya masih tahap belajar, Miss, jadi yang saya bisa ya originalnya," ucapnya membuat Areta mengernyit. "Loh, tadi pas ubah aransemen, kok bisa?" tanyanya, disambut cengiran halus daei laki-laki itu. "Saya nggak yakin bakal maksimal, Miss. Saya orangnya parnoan," jawabnya mendapat sorakan heboh dari yang lainnya. Mental belum kuat ternyata. Sudah dibilang dari awal, mental di kesenian itu setidaknya sudah kokoh. Bersikap berani mencoba saja, itu sudah awal yang bagus. Tapi tak apa, Areta tidak memaksa. Mungkin laki-laki ini belum pernah merasakan serunya bisa ikut serta dalam ajang lomba seperti ini. Menang kalah, dan melakukan kesalahan itu sebuah hal yang normal bukan? "Ada yang bisa?" tanya Areta pada mahasiswanya yang lain. "Emangnya boleh, Miss? Kita 'kan beda fakultas. Bukan apa-apa, Miss. Takutnya nanti perwakilan kita malah ngomong yang enggak-enggak," ucap salah satu dari mereka yang diangguki yang lainnya. "Loh, katanya slogannya?" "Seni itu satu! Satu itu seni! Kesenian itu kesatuan! Dan kesatuan itu kesenian!" ucap mereka serentak. Menggelegar. Jadi tak heran mahasiswa lain yang berlalu lalang di sekitar sanggar itu berhenti untuk sekedar mengintip di jendela maupun pintu. Areta tersenyum cerah mendengarnya. Slogan yang mahasiswanya buat untuk membangkitkan semangat katanya. Areta iya-iya saja, toh, itu bagus untuk mereka. "Nah, itu masih ingat. Emangnya sejak kapan mahasiswa saya jadi peduli omongan negatif orang lain? Kita, 'kan?" "Santai yang berkualitas!" teriak mereka di ikuti dengan gerakan berbagai pose, lengkap dengan wajah pongah di sana. Setelahnya mereka bertepuk tangan sambil tertawa, sebuah kebahagiaan sendiri ketika mereka mengikuti kelas dengan Areta. Percayalah, tak ada satupun dari mereka yang absen dari kelas, pengecualian untuk yang memang benar-benar tidak bisa hadir. "Oke, jadi, siapa yang mau?" "Saya aja, Miss." "Saya sih udah profesional, Miss." "Kalau saya serba bisa, Miss. Ibarat kata, All in one saya mah." "Kayaknya saya yang cocok deh, Miss." Dan banyak lagi seruan-seruan heboh dari mereka, membuat Areta mau tak mau mengulas senyum senang. Mahasiswanya memang tak pernah mengecewakan. Lain hal dengan Areta, anggota band yang tadinya meminta di ajari langsung oleh si dosen muda ini, tercengang. Kalau mereka, di tunggu ditunjuk dulu baru mau. Itupun dengan segenap alasan yang dilontarkan. Sungguh, kapan-kapan, anak-anak fakultas mereka juga harus merasakan bagaimana serunya belajar dengan Areta. "Kalian pilih saja, siapa yang mau kalian ajak bergabung. Mereka bisa kok," ucap Areta pada anggota band yang kini terlihat terkejut melihat antusias mahasiswanya. Caranya mengajar memang berbeda. Sempat mendapat kecaman dari para dosen yang menganggapnya hanya menjual tampang pada mahasiswanya, bermodalkan lembut supaya mendapat simpatik dari mahasiswa. Pernah juga mendapat teguran dari dekan karena cara mengajarnya yang kadang melenceng dari aturan kampus. Namun semuanya terbungkam. Benar-benar hanya bisa menonton dalam diam kala para mahasiswa yang dia didik menyumbang penuh prestasi yang di dapat untuk universitas ini. Kata orang, musuh adalah penonton paling setia kala kita sukses. Mungkin begitu yang Areta alami sekarang. *** Kelas berakhir, adalah hal yang ditunggu-tunggu oleh para mahasiswa berandal seperti Anze dan dua sahabatnya. Keluar sedetik setelah si dosen mengucapkan salam. Bahkan belum sempat membereskan buku dan peralatan yang dibawanya. Si pak dosen? Hanya bisa menghela nafas dan geleng-geleng kepala, terlampau maklum dengan sifat tiga orang mahasiswa semester 4 itu. "Mau makan di mana? Jangan kantin deh, bosen gue. Apalagi liat degem nya si Anje noh," ucap Xian membuat Anze melempar laser tajam padanya. "Eh, sipit! Nama gue tu Z ya, bukan J. Bisa paham ga?" sarkasnya yang kini giliran Xian yang kesal. Sahabatnya yang satu ini menciptakan gelar sipit padanya hanya karena namanya yang mirip orang cina. Yaa, walaupun matanya memang agak sipit, tapi tidak se-sipit itu untuk dijuluki sipit olehnya. Dia orang Indonesia asli, kedua orang tuanya tak ada yang berdarah Chinese. Hanya saja, dia lahir memang di negara bambu itu, dan beberapa tahun menetap di sana semenjak dia lahir. Tapi, apa itu berpengaruh pada perawakannya? Oke, kembali ke topik. "Ke Cafe depan aja yuk? Katanya ada karyawan baru. Bening euy." Ini Bagas. Menaik turunkan alisnya pada Anze yang terlihat tidak menampilkan ekspresi dan reaksi berarti. Tidak seperti biasanya. Biasanya mendengar kata bening dan cewek, antena Anze akan dengan cepat mengarah pada tujuan. Akan dengan cepat bergerak tanpa tau di mana si gadis berada. Tapi, apa ini? Apa playboy satu ini sudah insaf? Ah tidak mungkin. Buktinya, tak ada badai yang datang. "Woi!" Tepuk sekali pada bahu Anze yang mendapat tatapan protes dari sang empunya. Keduanya saling lirik lalu terkekeh pelan. "Jiaaa, tumben banget tu sinyal nggak konek. Biasanya langsung tancap gas. Kenapa? Udah hijrah?" tanya Xian padanya. Meletakkan tangannya di pundak Anze. Baza tersenyum mengejek pada pemuda itu. "Jangan bilang, lo punya pacar? Beneran? Ga main-main lagi? Udah setia nih sekarang?" tanyanya beruntun yang hanya mendapat respon decakan malas dari Anze. Menyingkirkan dengan kasar tangan Bagas yang ada di pundaknya lalu pergi dari sana. "Lah, lah, mau ke mana woi!" teriaknya mendapat pukulan ringan dari Xian. "Malu-maluin. Udah, ikutin aja. Moodnya lagi nggak bagus kayaknya," ucapnya lalu melangkah mengikuti Anze dari belakang. Bagas berdecak sambil berkacak pinggang di sana. Masih memperhatikan kedua sahabatnya yang kini tengah berjalan menuju gerbang. "Beneran di tinggal nggak tuh gue. Biadab emang," gumamnya kesal seraya berlari. "Tungguin gue, Anto!" teriaknya. "Nama gue Xian, k*****t!" "Iya iya, Xian k*****t!" "Mati ae lo!" Dan Bagas hanya bisa tertawa di samping Xian yang sekarang sedang mencak-mencak karena kesal. Sedangkan Anze? Pemuda itu masih tak memberi respon. Biasanya akan ikut mengejek pria yang dia beri julukan sipit ini dengan semangat. Xianto Nuagra, itu namanya. Kira-kira, Bagas salahnya di mana? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD