"Sampe kapan?"
"Hari ini doang. Besok gue harus balik ke Singapura terus lanjutin perjalanan gue ke Turki," tuturnya ditelepon. Ia baru saja keluar dari taksi online yang ditumpanginya. Ia diturunkan tepat di lobi salah satu mall besar di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Ia sudah berjanji dengan Iness dan Fara. Dua sahabatnya dari kampus sarjana dulu, meski berbeda jurusan.
"Yaaaah, cepet amat sih baliknya. Belum juga ketemu gue, onyiiing!"
Adiba terkekeh. "Udah ya. Gue udah sampe di mall nih. Mau nelepon Fara sama Iness," tukasnya.
"Dasar onyiiing emaaaang!" kesalnya. Adiba hanya tertawa lantas ia mematikan teleponnya. Baru juga hendak mencari nomor ponsel Fara....
"Adiba?"
Adiba berbalik lantas terkaget melihat lelaki yang ia hindari mati-matian di media sosial eeeh malah dipertemukan di dunia nyata. Memang cowok itu sudah jarang menghubunginya tapi.....
"Adiba, Ma!" tutur lelaki itu yang tahu-tahu memanggil Mamanya yang tampak sedang mengobrol dengan teman sebaya. "Lagi jalan, Dib? Sama temen?" tanya lelaki itu.
Adiba mengangguk. Ia tak bisa menghindar. "Iya, Kak," tuturnya canggung. Pasalnya, ia mulai menjadi pusat perhatian orang-orang yang lewat. Adiba malas jika harus terlibat pemberitaan lagi dengan lelaki ini. Kemarin-kemarin saja ia sudah lelah batin.
"Adiba?" sapa si Tante, Mamanya lelaki ini.
Adiba tersenyum sopan lantas menyalaminya. Perempuan itu malah membawanya ke dalam pelukan. Ia hargai sih caranya memperlakukan Adiba yang begitu baik. Adiba jadi gak enak hati karena sudah mengabaikan anaknya itu.
"Makan sama kita yuk," ajak si Tante. "Tante pengen ngobrol-ngobrol sama kamu. Adam bilang kalau kamu sepertinya sibuk di luar negeri. Eh ini? Lagi di Jakarta?"
Adiba nyengir. "Ada kerjaan Tante. Besok juga sudah balik ke Singapura."
Si Tante mengangguk-angguk. Ia terpaksa ikut berjalan dengan perempuan itu. Perempuan ini begitu ramah dan juga hangat. Bahkan tak berhenti memegang lengannya. "Wah, jadwalmu padat sekali sepertinya."
Adiba hanya tersenyum kikuk. Ia sebetulnya ingin melepaskan diri dari kedua orang ini tapi tak enak hati meminta pamit. Akhirnya pasrah saja dibawa masuk ke salah satu restoran. Perempuan itu juga banyak sekali bertanya perihal pekerjaannya. Adiba hanya menceritakan seadanya. Mamanya si Adam ini juga mengomentari episode programnya yang baru tayang beberapa hari kemarin tentang kasus yang katanya terorisme di World Trade Center di Manhattan, New York itu membuatnya terharu. Rasanya perih saja karena menyalahkan Islam sebagai dalam dibaliknya. Padahal, kalau pun benar-benar pelakunya adalah seorang muslim, tidak selayaknya membawa agama yang dianutnya. Karena apa? Karena yang salah itu bukan agama melainkan orangnya. Bukan kah manusia memang tempatnya salah dan dosa?
"Biasanya sebulan sekali Tante nge-date sama Adam. Tapi saat kemarin lama punya pacar, Tante dilupain," tuturnya usai membahas program yang dipandu Adiba. Adiba hanya tersenyum saja. Perutnya merasa kenyang sekali dan astaga....ia hampir lupa!
"Kenapa, Adiba?" tanya si Tante begitu melihatnya terburu-buru membuka ponsel. Adiba menatapnya dengan tatapan yang sangat tidak enak hati.
"Maaf, Tante. Adiba hampir lupa kalau ada janji sama temen-temen di sini," tuturnya.
"Walah. Ya sudah tak apa-apa. Kapan-kapan lagi ngobrol dan jalan-jalan sama Tante dan Adam, mau nak Adiba?"
Adiba meneguk ludah dalam-dalam. Ia tak punya cara untuk menolak. Akhirnya hanya mengangguk pasrah. Begitu pamit dan keluar dari restoran itu, ia mengutuk dirinya sendiri.
@@@
"Masaaaaa?" ledek Fara. Gadis itu terkikik-kikik. Adiba hanya mendengus sebal. Malam ini, ia direcoki Fara dan Iness yang kompak menemaninya tidur di hotel sebelum penerbangan besok pagi ke Singapura. Tentu saja mereka menginap di hotel dekat bandara.
"Lagian baik kali, Dib. Kalo-kalo dia naksir lu beneran, terima aja. Lumayan kan! Investasi masa depan!" seru Iness. Adiba memutar bola matanya. Gadis itu sedang merapikan bajunya di koper. "Lu, Far? Emangnya gak ada yang ngajakin ta'aruf lagi."
Fara menggeleng. Dari sebelum lebaran hingga selesai lebaran, statusnya masih sama. Masih jomblo dan belum ada yang melamar. Kebetulan, ia baru kembali dari Bandung kemarin dan langsung merecoki Adiba yang katanya sedang mampir ke Indonesia.
"Kagak lu, si Adiba, gue, Yuna, Tsaniya, jomblooooo mulu!"
Kedua sahabatnya terkekeh. "Untung si Frasya udah enggak," celetuk Fara. Ia juga kaget saat mendengar kabar kalau Frasya sudah menikah. Tiba-tiba menikah, lebih tepatnya. Padahal masing-masing dari mereka, tak ada satu pun yang santer sedang dekat dengan cowok-cowok.
"Gue pikir si Frasya bakalan berakhir sama Ditto. Secara, dua orang itu paling deket dan care satu sama lain dari dulu," ungkap Adiba. Ia lebih kaget dari Fara saat tahu jika Frasya menikah dengan Rafandra.
"Tapi ternyata, dunia lebih lebar dari daun kelor," ucap Fara dengan alasan. Dua sahabatnya kembali terkikik-kikik.
"Tapi Ditto emang beneran gak suka Frasya kan?"
Fara dan Iness kompak tertawa. "Gak lah. Dia udah punya pacar keleus!"
Adiba hanya menghela nafas. Bersyukur lah. Menurutnya, hal yang paling tak mengenakan adalah terjebak di dalam sebuah hubungan dengan sahabat sendiri. Itu sungguh pelik urusannya.
"Tapi eh tapi, seenggaknya dia mendapat lelaki yang baik sih. Maksudnya, Kak Rafandra banyak berubah. Gue gak pernah ketinggalan dengerin podcast hijrah-nya dia yang mungkin terlihat sederhana tapi maknanya mendalam."
Iness mengangguk-angguk. Ia menyetujui ucapan Fara. "Makanya gue gak mau melabeli seseorang dan gak mau dilabeli juga karena setiap orang bisa saja berubah. Gak ada yang pernah tahu apa yang disebut dengan hidup. Kalau kita seolah terus menganggapnya buruk padahal mungkin orangnya sudah bertobat, ada kemungkinan kita yang lebih buruk. Bersikap seolah Tuhan yang tahu tentang hidup orang lain."
Adiba merenungi kata-kata Iness itu. Ya, Iness benar sih. Segala hal yang ada dimasa lalu seseorang seharusnya selesai dan jangan pernah membahas keburukan masa lalunya karena bisa jadi....di masa sekarang, orang itu sudah baik bahkan lebih baik dari kita yang menilainya.
@@@
"Nak Adiba?"
Adiba meringis. Ia sebetulnya sedang keluar dari apartemennya untuk mencari udara segar juga spot-spot cantik untuk berfoto sendirian usai enam hari penuh syuting di sini. Ia bertemu banyak nara sumber, ada yang pernah menjadi korban di WTC, keluarga korban pesawat juga pemerintah setempat yang membuat Adiba sering menangis ketika berbicara dengan mereka.
"Ya, Tante."
"Di sana sudah pagi, nak?"
Adiba berdeham lantas mengetatkan mantelnya. Suhu mencapai 12 derajat meski sedang musim semi. Tapi memang rata-rata musim semi begitu dingin baginya yang terbiasa hidup menghangat di Indonesia.
"Iya, Tante. Ada apa?"
"Tante menganggu?"
"Enggak kok. Adiba lagi santai. Ada apa Tante?" tanyanya dengan sopan. Usai pertemuan terakhir seminggu lalu, perempuan itu mengiriminya pesan melalui media sosial dan meminta nomor ponselnya. Mau tak mau Adiba memberikan nomornya.
Adiba mendengar helaan nafas dari seberang. "Syukurlah." Kemudian ia melanjutkan kata-katanya. "Soal mantannya Adam itu, nak."
Adiba berdeham. Ia bahkan sudah melupakan hal itu semenjak sibuk dengan pekerjaannya sendiri. "Ya, Tante?"
"Jangan diambil hati ya. Cewek itu hanya tak terima kalau sudah diputuskan Adam. Mereka putusnya sudah jauh sebelum digosipkan sama kamu."
Haaaah. Adiba menghela nafas. Adam juga pernah mengiriminya pesan yang begitu panjang dan meminta maaf padanya berkali-kali guna meluruskan hal ini. Tapi ia tak mau menanggapinya.
"Cewek itu agak posesif dan agresif. Sampai sekarang masih suka gangguin Adam tapi gak digubris Adam. Tante menceritakan hal ini dengan maksud supaya kamu tidak terganggu dengan cewek itu."
Adiba berbelok ke salah satu minimart. Ia mencari-cari makanan yang berlabel halal sembari menyelipkan ponsel ditelinga.
"Adiba gak apa-apa kok, Tante. Gak terlalu menanggapi pemberitaan itu juga," bohongnya. Padahal ia seringkali memikirkan hal itu. Hingga terkadang membuatnya salah niat. Salah niat dalam hal apa? Dalam hal apa saja. Misalnya, niatnya membuat sesuatu yang kadang lebih berpikir tentang pujian dari manusia dibanding manfaat dari apa yang dikerjakan.
"Syukur lah, Tante takutnya kamu terganggu dengan pemberitaan semacam itu," tuturnya lantas melanjutkan lagi. "Omong-omong, nak Adiba sudah ada yang melamar?"
Adiba langsung terbatuk-batuk mendengarnya.
@@@
Adiba?
Adiba masih malas beranjak dari atas tempat tidurnya. Ia merasa masih jetlag parah usai pulang dari New York. Kini ia sudah kembali ke apartemennya di Singapura. Satu minggu lagi, ia akan berangkat lagi ke Turki. Ia menguap lantas membuka mata. Begitu membuka ponselnya, ia melihat ada banyak telepon dari Ibunya. Pasti ingin mengetahui kabarnya yang tepar. Ia tiba di Singapura jam satu pagi tadi. Dua hari ke depan ia akan libur dulu.
Adiba boleh nanya?
Pesan itu datang lagi. Adiba masih sibuk mencuci mukanya kemudian berjalan menuju dapur. Ia membuka kulkasnya lantas tertawa hampa. Ia kan meninggalkan kulkasnya dalam kekosongan. Akhirnya ia memutuskan untuk keluar dengan mengenakan jilbab dan menenteng dompet juga ponselnya.
Diba?
Itu pesan dari Adam untuk ketiga kalinya. Lelaki itu melihat Adiba sedang online tapi pesan darinya tak kunjung dibalas. Sementara Adiba masih sibuk berjalan kaki sembari mengirim kabar pada Ibunya kalau ia sudah tiba di Singapura dan sedang mencari nasi lemak untuk sarapan menjelang siang. Ini bahkan sudah jam sebelas siang.
Ada apa, Kak?
Akhirnya ia membalas pesan dari lelaki itu juga. Di Jakarta sudah jam 12 siang dan lelaki itu sedang makan siang di ruangannya sendiri.
Calon suami idamanmu seperti apa?
Ia terbatuk-batuk begitu membacanya. Ia bahkan baru duduk di sebuah warung makan dekat stasiun. Ia tak menemui nasi lemak langganannya karena sudah tutup dijam seperti ini. Jadi, ia memutuskan untuk memakan nasi kari di mana penjualnya adalah keturunan India.
Kenapa?
Bertanya. Boleh tidak?
Adiba tampak berpikir. Ia menarik nafas dalam. Ia mengetik sesuatu tapi kemudian ia hapus lagi. Ia takut terlalu ge-er jika menuliskan kata-kata itu akhirnya ia menggantinya dengan kata-kata lain.
Boleh, Kak.
Jadi?
Semua orang punya ekspektasi tinggi tentang pasangan, Kak. Tapi Adiba sadar kalau Adiba hanya lah perempuan biasa. Kalau Adiba sendiri tak mematok kriteria idaman Adiba itu harus seperti apa detilnya. Yang penting, dia berpegang lurus pada agama yang dianutnya, yaitu Islam. Yang semoga Adiba juga sama dengannya. Yang Adiba harap, dia bisa membimbing Adiba dan mau sama-sama belajar menerapkan syariat-syariat Islam dalam kehidupan. Yang Adiba ingin kan, dia adalah lelaki bervisi dan bermisi untuk dunia dan akhirat demi membangun rumah bersama di surga.
Itu jawabannya yang membuat Adam tampak berpikir lama. Lelaki itu berpikir mungkin Adiba hanya akan mengatakan kriteria umum seperti perempuan-perempuan lain. Misalnya, baik, ganteng, mapan, dan....soleh? Soleh itu juga yang Adiba maksud. Tapi Adiba sadar diri jika ia tak sesoleha itu. Ia hanya perempuan biasa yang berlumur dosa, sedang belajar dan menerapkan agamanya dalam kehidupan dan kadang imannya naik dan turun. Itu lah Adiba. Jadi ia berharap, setidaknya mendapatkan lelaki yang dapat membawanya, membimbingnya dan mau sama-sama belajar bersamanya untuk istiqomah dalam agama ini untuk mengejar dunia dan akhirat yang bervisikan surga. Kece bukan?
Dibaaaaaaaaaa
Itu pesan dari mantan kakak kelasnya, Alika. Ia baru saja meneguk es tehnya begitu membaca pesan itu.
Iyaaaaaaaaaa
Adiba terkekeh membaca balasannya sendiri. Sementara Alika di seberang sana mengetik sesuatu.
Diba, ada rencana akan menikah dalam waktu dekat?
Ia tersenyum kecil.
Maunya sih begitu, Kak.
Maunya?
Iyaaaaaaaa
Belum ada calonnya memangnya?
Kurang lebih seperti itu....
"How much, Sir?" tanyanya pada si pemilik warung makan yang penampilannya lebih bagus dari warteg di Jakarta. Padahal kelasnya sama saja. Meski kata Iness, warteg-warteg di Jakarta saat ini sudah berkembang pesat.
Gak ada yang ta'arufin juga?
Adiba tertawa. "Kalau ada, mana mungkin Adiba masih jomblo begini, Kak," keluhnya sembari mengetik pesan pada Alika.
Kecuali kalau Kakak mau mencarikan.
Serius?
Adiba tertawa.
Iyaaaaaa
Kebetulan memang ada yang menanyakanmu Adiba.
Adiba kembali terbatuk-batuk. Entah kenapa, tiap ada yang bertanya hal-hal semacam ini, tiba-tiba tenggorokannya terasa gatal.
Siapa?
Tapi sebelumnya, aku tanya dulu nih. Kamu serius ingin menikah?
Perempuan mana yang tak ingin menikah?
Aku bertanya karena orang yang menanyakanmu ini punya niat baik, Adiba.
I know, Kak. Lantas?
Kamu bersedia ta'aruf begitu? Sudah pernah atau belum?
Adiba tampak berpikir lantas segera mengetik sesuatu.
Ada yang mau mengajakku ta'aruf?
Iya. Jadi? Mau?
Orangnya bagaimana menurut Kakak?
Kamu nilai saja sendiri.
Bagaimana aku bisa menilainya? -.-
Alika terkekeh di seberang sana.
Kamu pernah bertemu dengannya sekali.
Oh ya? Siapa namanya?
Kasih tahu gak yaaaaaa?!
Iiiissh!
Alika terkekeh. Puas sekali mengerjai Adiba.
Hamiz, Diba. Masih ingat kan? Pasangan duet Ar-Rahmanmu yang beritanya sangat santer semingguan kemarin.
Adiba ternganga. Oke, ia tak terlalu mengikuti gosip-gosip tentangnya yang merebak di Indonesia itu. Karena posisinya saat itu sedang berada di New York. Dan lagi, ia tak berpikir apapun kala itu. Walau yaaaa gosip-gosip itu membuat namanya melambung baik. Benar kata Ziva, sukses membuat nama baiknya menguar bahkan para netizen mulai menjodoh-jodohkannya dengan lelaki itu.
Gimana, Diba? Mau ta'aruf dengannya? Kalau kamu belum pernah ta'aruf, aku dan suamiku bersedia membantu. Kebetulan Hamiz ini sahabat dekatnya dan sudah lama mencari calon istri. Orangnya baik loh, insya Allah soleh dan kece badai. Bacaan Qurannya pun keren, tutur katanya juga lembut dan penyayang keluarga. Insya Allah juga bertanggung jawab dunia akhirat untuk keluarga. Bagaimana?
Alika promosi panjang lebar sementara Adiba baru saja menghempaskan tubuhnya di atas sofa ketika baru saja tiba di apartemennya. Gadis itu menghela nafas panjang.
@@@