Antara Dua Pilihan : Part 4

2006 Words
Jadi bagaimana? Rasanya Adiba ingin salto sekarang. Hahahaha. Ia bertingkah agak absurd akhir-akhir ini karena.... "Mau ta'aruf dengan saya, Adiba?" Adiba menghela nafas. Dikala kekosongan melanda dan patah hati akut telah lama sirna. Kini, setelah sekian lama menanti, malah yang datang ada dua. Oke, ia bukannya tak bersyukur. Hanya saja, ia merasa ini begitu tiba-tiba. Ia bahkan tak terlalu fokus pada pekerjaannya selama di Turki karena pikirannya sering kali melayang pada dua tawaran ta'aruf yang tiba-tiba datang. "Ta'arufnya satu-satu kali, Diib. Jangan dikebut langsung dua," ledek Fara di seberang sana. Tadi Adiba menghubungi satu per satu sahabatnya tapi hanya Fara yang sigap mengangkat telepon darinya. Jadi lah, ia curhat panjang-lebar tentang hal ini. Sebetulnya, ia sudah melapor pada ibunya terkait tawaran ta'aruf dari Kak Alika. Namun ia masih galau karena merasa tak punya perasaan apa-apa pada lelaki itu. Lantas pada Adam? Ia menghela nafas panjang. Ia memang pernah mengagumi lelaki itu dan merasa kalau lelaki seperti itu mungkin akan cocok dengannya. Dan kini ketika kesempatan itu datang, ia malah bimbang. Karena apa? Ingat kan gosip beberapa waktu lalu? Kalau ia menerima tawaran ta'aruf dari lelaki itu hingga menikah dengannya, semua orang akan percaya kalau gosip itu memang benar. Bahwa memang benar jika ia merebut Adam dari mantan kekasihnya. Tapi... "Kalau lo jadi gue....," ia menarik nafas. Kemudian memilih duduk di atas sofa hotel. Ia masih berada di Turki hingga beberapa hari ke depan. Ia masih harus menuntaskan syutingnya yang jika lancar maka akan selesai esok hari. "Lo pilih siapa?" Fara terkekeh di seberang sana. "Kak Hamiz!" jawab gadis itu dengan mantap. Adiba agak kecewa mendengarnya. "Kenapa?" "Gue sih gak tahu aslinya seperti apa. Tapi, melihat pemberitaan yang begitu santer, bacaan Qurannya pun bagus bahkan hafiz Quran, siapa yang gak mau, Dib? Kalau kayak Kak Adam, udah biasa. Ganteng, pinter dan mapan itu sudah sangat biasa. Tapi ada bonusnya hafiz itu, yang langka." Adiba tampak berpikir. "Lalu?" "Ya, itu sih pilihan gue. Pilihan lu kan beda. Mungkin lu lebih suka cowok yang pintar?" "Lu bukannya yang kayak gitu juga?" Fara terkekeh. "Kalau yang satunya pintar dalam urusan dunia dan satunya lagi pintar dalam urusan Quran, gue pasti pilih yang pintar dalam urusan Quran, Dib. Pernah dengar kan? Kalau yang dikejarnya akhirat, insya Allah dunia juga dapat, Dib." Adiba masih bimbang. Merasa kurang puas, ia menghubungi Iness. Lantas apa kata gadis itu? "Kalau menurut gue, meskipun cowoknya mungkin baik, ganteng, soleh, mapan pekerjaannya tapi kalo lo gak tertarik atau gak suka, end aja. Ngapain diterusin kalo gak tertarik?" Adiba menghela nafas panjang. Iness memang benar. Tapi tiba-tiba, Adiba merasa tak ingin melewatkan sosok soleh dari seorang lelaki. "Kalo lo jadi gue, siapa yang bakal gue pilih?" "Harus banget gue milih?" Adiba hanya berdeham. Ia butuh banyak sudut pandang. Di seberang sana, Iness menarik nafas dalam. "Sejujurnya, gue tertarik sama sosok Kak Hamiz." "Kenapa?" "Siapa pun juga tahu, bacaan Qurannya kece, orangnya juga soleh. Perempuan mana yang gak tertarik?" Adiba terdiam. Ya, kalau suka pada lelaki itu sih memang belum. Tapi ada sedikit rasa tertarik. Ketertarikan yang sama dengan pendapat Iness. "Pekerjaannya?" Iness terkekeh. "Kenapa? Lo takut gak kuat jadi istri seorang aktor?" Adiba menghela nafas. Ia berdeham sebagai jawaban. Sejujurnya, ini juga agak memberatkannya. Biar pun Adiba masuk ke dunia entertainment tapi Adiba sama sekali tak berniat masuk ke dalam dunia sinetron. "Berat gak sih? Selain itu, gue juga berpikir, takutnya pola pikir gue dengannya beda jauh. Yaaa...you know lah gue sekritis apa." Iness terkekeh. "Jangan berpikir sempit dulu. Kita kan gak pernah tahu orangnya seperti apa, Dib. Kalau hanya melihat diluarnya saja rasanya tidak etis. Saran gue, lo istikharah aja lah. Barangkali Allah bersedia memberikan jawaban tentang mana yang lebih baik. Apakah salah satu di antaranya atau malah bukan kedua-duanya." @@@ "Ya kalo Mamah sih terserah Teteh lah. Kan Teteh yang akan menjalani. Tapi ya, Mamah sih jujur saja, Mamah memang lebih suka nak Hamiz. Anaknya kan soleh, ganteng juga, insya Allah bertanggung jawab." Adiba menjulingkan matanya. "Tadi katanya terserah?" nyinyirnya yang membuat ibunya tertawa. "Ya kan Teteh minta pendapat. Ya, Mamah jawab sejujurnya aja kan?" "Mamah seneng ya dapat menantu artis gitu?" Ibunya terkekeh. "Mamah sih gak liat pekerjaannya. Malah yang kelihatan lebih mapan si Adam. Tapi Mamah liat background kehidupannya. Ibunya Hamiz ternyata pengusaha juga pembicara di seminar-seminar Islami. Dari situ, Mamah sudah bisa melihat bagaimana sosok kesolehan dari Hamiz terbangun? Ya karena memiliki ibu yang sangat memerhatikan persoalan agama," tuturnya lantas menghela nafas. "Mamah bukannya mau membandingkan dengan Adam. Adam kan pernah lama pacaran. Mungkin beberapa bulan belakangan sudah bertobat, ya Mamah gak tahu lah. Tapi ketika membandingkannya, rasanya tak etis bukan?" Adiba hanya berdeham. Ia tahu bebar kalau ini sangat tidak etis karena perjalanan hidup masing-masing orang kan berbeda. Ada yang mungkin ketika hatinya terketuk langsung hijrah secara penuh. Ada yabg mungkin masih belajar secara perlahan. "Namun karena perkara jni menyangkut kemaslahatan, maka perlu dilakukan Teh. Apalagi untuk sebuah pernikahan. Baik dan buruknya harus diukur. Kalau ada dua lelaki, yang satu sudah paham tentang agamanya dan sudah menerapkannya dengan baik di dalam kehidupannya. Yang satu lagi, masih belajar atau Mamah bisa bilang, dia baru belajar lah. Mamah bukannya merendahkan tentu tidak. Karena penilaian Mamah pun bisa salah. Namun, kalau ada lelaki yang lebuh baik urusannya dalam agama kenapa tidak memilih yang agamanya terlihat lebih baik?" tuturnya panjang dan lebar. "Tapi beda cerita kalau Teteh gak srek sama sekali pada lelaki yang lebih memahami agamanya ini. Kalau ini, Mamah tak masalah untuk dijadikan pertimbangan juga. Karena apa? Karena pernikahan kan ibadah, Teh. Kalau Teteh menjalaninya dengan terpaksa dan bukan karena mencintai takutnya nanti malah jadi bumerang bagi Teteh. Kalau seperti itu, Mamah gak masalah jika memang Teteh lebih memilih Adam dibanding Hamiz." Adiba malah diam. Ia menelaah kata-kata ibunya. Sejujurnya, ia bukannya tak srek pada Hamiz. Ia juga memiliki rasa tertarik pada lelaki itu dulu sekali. Kapan? Ketika melihat lelaki itu pertama kali secara langsung saat ia masih kuliah sarjana. Cowok itu diundang ke masjid kampusnya untuk mengisi seminar. Ia rela bolos disela-sela jadwal kuliah bersama Fara dan Iness hanya untuk melihat lelaki itu. Lantas kini? Bertahun-tahun setelah lulus, pemikiran Adiba semakin terbuka. Ia berpikir, bukan hanya tentang agama yang harus ia perjuangkan tetapi juga hal-hal lain. Misalnya? Kebetulan ia tertarik dengan dunia politik dan sedang vakum sementara dari NGO (Non-Governmental Organization) di bidang kebijakan publik. Ia fokus pada kebijakan-kebijakan yang berlaku saat ini. Selain itu, ia juga sudah menyelesaikan pascasarjananya setahun lalu dan membuatnya seketika berpikir untuk mencari sosok pemikir yang sama dengannya. Dan mungkin yang lebih cocok adalah lelaki setiap Adam. Cowok itu kan entrepreneur. Selain itu, cerdas dan juga lulusan kampus luar negeri. Menurut Adiba, pengalaman Adam akan kece sekali jika digabungkan dengannya dalam urusan mendidik anak. Tapi kembali lagi, itu hanya penilaiannya yabg menggunakan sudut pandangnya. Kalau menurut Allah? Nah, ini nih. Ia belum menemukan jawabannya sama sekali. "Itu kan terserah Teteh. Yang penting Teteh tahu dan bisa membedakan mana yang terbaik dan terburuk untuk Teteh." Usai menutup telepon dari ibunya, Adiba kembali termenung. Ia berpikir kembali tentang apa yang sebetulnya ingin ia raih dalam kehidupan ini? Apakah sudah benar, jalan yang ia tempuh ini? @@@ Assalamualaikum, Wr, Wb, Kak Alika, sebelumnya Adiba mau jujur. Kebetulan, saat Kak Alika menawarkan ta'aruf dari Kak Hamiz untuk Alika, ada orang lain juga yang menawarkan ta'aruf pada Adiba. Hanya saja, Adiba masih belum bisa mempertimbangkan yang mana yang akan Adiba pilih. Apakah kalau seperti ini, menjadi masalah? Alika tersenyum membacanya. Sudah dua minggu sejak tawaran ta'aruf itu, Adiba memang belum memberikan jawaban apapun. Tapi saat membaca pesan ini, ia jadi tau kegalauan apa yang dirasakan Adiba. Waalaikumsalam Adiba sayang, Kalau masih bingung, gak apa-apa, Kakak akan menunggu. Insya Allah Hamiz juga bersedia. Kamu fokus saja dengan istikharahmu. Adiba berdeham. Bukan itu jawaban yang ia ingin kan. Adiba sebetulnya ingin meminta tolong. Sekiranya, Kak Alika mau menyampaikan pertanyaan-pertanyaan ini pada Kak Hamiz? Adiba tak mau salah menilai. Barangkali dengan ini, bisa menjadi pertimbangan. Dan lagi, Adiba ingin melihat sosok Kak Hamiz secara objektif karena bisa jadi, penarikan kesimpulan dari berita yang selama ini Adiba dengar dari media belum tentu benar realitanya. Maka itu, Adiba ingin menyampaikan beberapa pertanyaan. Kalau Kak Hamiz keberatan menjawabnya, Adiba tak masalah. Baik lah. Aku kirim pada Hamiz ya, Dib Adiba termenung. Ia sudah kembali dari Turki dan sudah santai-santai di Bandung sebetulnya. Ia sedang menenangkan diri meski setiap hari, ibunya selalu menagih jawaban tentang siapa yang akhirnya akan ia pilih. Hingga kini pun, ia memang masih menggalau dan bimbang. Ia jadi ingat obrolan terakhir dengan Ziva. "Lagian, gantengan Kak Hamiz kali dari pada Kak Adam, Dib. Kalo Kak Adam itu namanya bukan ganteng tapi berwibawa dan manis. Gak bosen gitu dilihat. Kalo Kak Hamiz itu ganteng dan teduh. Keteduhannya begitu menyejukan para jomblo! Uhuy!" Ia menggelengkan kepala mendengarnya. Sebagai fans berat Hamiz, tentu saja penilaian Ziva sangat bias. Tapi Adiba tak masalah. Yang jadi masalah adalah ia belum menemukan satu orang pun yang berpihak pada Adam. Karena sejak awal, entah kenapa, semua pilihan jatuh pada Hamiz. "Lagian lo, bukannya dulu pernah suka sama Kak Hamiz ya?" Adiba terkekeh kalau ingat itu. Sepertinya pengaruh pikirannya saat ini begitu kuat. Ia tak menanggapi Ziva kala itu. Usai menanyakan Ziva, ia menanyakan Tsaniya. "Ya kalau aku sih jelas Kak Hamiz lah, Dib. Pasti nanti mudah banget jatuh cinta sama dia. Secara...dia itu lelaki yang gak cuma ganteng tapi juga soleh, Diib! Hafiz Quran! Masa mau lewatin! Tapi kalau Adiba lebih berat sama Kak Adam, ya silah kan. Urusan hati kan gak bisa ditawar-tawar." Itu seruan Tsaniya. Lalu terakhir ia meminta pendapat Yuna yang kebetulan bersama Tsaniya. Lantas apa kata Yuna? "Soleh boleh, hafiz Quran lebih bagus dan ganteng. Tapi, kalau Adibanya gak suka ya susah lah!" Tsaniya mendengus. Ia tak mau kalah. "Minimal kan Adiba sudah punya rasa tertarik pada lelaki itu. Jadi seharusnya bisa berkembang dong." Adiba menghela nafas. Ia benar-benar galau dalam posisi ini. Tak pernah pula terpikirkan kalau jalan hidupnya akan seperti ini. Tiba-tiba diajak ta'aruf oleh dua laki-laki yang masing-masing dari mereka pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kadang Adiba berpikir kalau ia merasa tak pantas mendapatkan kesempatan sekece ini. Tapi lagi-lagi yang tahu rahasia dibalik ini adalah Allah. Iya kan? Dan disaat sedang termenung begini, ia mendapat balasan dari Alika. Isi balasannya adalah pesan dari Hamiz yang lumayan panjang. Meski pertanyaan yang ia ajukan hanya tiga. Waalaikumsalam Adiba, Aku akan menjawab pertanyaanmu tentang visi dan misi hidupku. Visiku adalah menjadi khalifah di bumi Adiba. Dalam artian bukan sebagai pemimpin seperti yang selama ini melekat diingatan masyarakat. Tapi khalifah dalam berbagai bentuk. Entah khalifah untuk diri sendiri, misalnya terus berbuat kebaikan untuk mengejar cinta Allah. Khalifah di dalam keluarga yang artinya memimpin keluarga hingga bisa mencapai jannah-Nya. Khalifah di dalam masyarakat tapi sesuai dengan peran saya yaitu sebagai aktor. Dalam artian, memainkan peran-peran yang mungkin karakter tokoh baiknya bisa ditiru dan karakter tokoh buruknya bisa dijauhi. Lalu misi hidup otomatis ada beragam, Adiba. Karena visi hidup sebagai khalifah di dunia dan akhirat jadi misinya adalah mencoba untuk mengerjakan semua yang dapat menghasilkan kebaikan untuk diri sendiri dan orang lain juga mendapatkan pahala. Singkatnya seperti itu. Terkait pertanyaan kedua dari Adiba. Kenapa memilih Adiba? Saya agak malu mengatakannya tapi ini lah sisi manusiawi saya sebagai seorang lelaki yang pasti tertarik pada seorang perempuan. Di antara perempuan-perempuan lain hanya Adiba yang membuat saya berpikir tentang pernikahan. Maka itu, saya menawarkan ta'aruf pada Adiba. Pertanyaan terakhir dari Adiba, yaitu terkait pekerjaan Adiba. Aku tak masalah Adiba. Toh kita dalam dunia yang sama. Namun yang ku harapkan adalah Adiba dapat menempatkan waktu untuk keluarga nantinya. Hanya itu saja. Adiba punya pertanyaan lagi? Kalau ada, jangan segan-segan untuk bertanya Adiba. Aku tahu jika ini adalah persoalan krusial karena calon pasangan harus dipilih dengan seyakin-yakinnya. Wassalamualaikum Adiba, semoga Allah selalu melimpahkan rahmat-Nya pada kita, Hamiz Adiba menarik nafas dalam lantas membaringkan tubuhnya. Ditangannya, ia menggenggam erat ponsel yang menyimpan jawaban-jawaban teduh dari Hamiz. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD