Antara Dua Pilihan : Part 2

2212 Words
"Serba bingung gueeeee....," keluhnya. Begitu tiba di apartemen Adiba, gadis itu malah bercerita banyak hal tentang kasus asmaranya yang menyedihkan. "Bingungnya kenapa?" "Tuh orang kan baik, soleh juga katanya. Calon-calon mapan gitu deeh, kan dokter tuh. Teruuus gue tuh kayak dipaksa-paksa orangtua buat nerimaa!" serunya bercerita dengan menampilkan muka semenyedihkan mungkin. Adiba terkekeh. Merasa lucu dengan raut wajahnya. "Kan gue gak maaauu!" "Terus?" "Orangtua gue bilang, gak boleh nolak karena menurut mereka, itu cowok agamanya baik!" "Lalu?" "Masalahnyaaaaaa...." Adiba terbahak. Ia sudah bisa menangkap apa permasalahannya. "Lo gak suka?" tebaknya dan Iness malah berhuhu ria. Membenarkan tebakan Adiba itu. "Alasannya?" Gadis itu malah diam. Ia menatap Adiba secara dalam. Hal yang kemudian membuat Adiba terbahak. Adiba menyadari apa alasannya. Pasti gak jauh-jauh dari... "Cowoknya jelek yaaaa?" ledeknya dan Iness malah berpura-pura menangis. Adiba terbahak makin kencang. "Seberapa jelek?" "Jelek banget deeh!" ceplosnya yang membuat Adiba kembali terbahak. "Eh! Astagfirullah, Dib!" serunya kemudian sambil mengelus d**a. "Gue bukannya mau ngatain dia tapi emang kenyataannya begitu," jujurnya. Adiba geleng-geleng kepala dengan kekehan kecil. "Manusiawi kali, Ness. Kan setiap orang punya referensi ketertarikan yang berbeda-beda. Kalau lo gak suka sama dia, ya itu kan hak lo." Iness agak berlega hati meski hanya sedikit. Faktanya, ia lebih khawatir dihina orang yang mungkin akan bilang 'ia sombong' atau 'sok kecakepan' dan lainnya hanya gara-gara hal semacam ini. Tapi itu lah kejamnya dunia. "Tapi, Dib, masa gue nolak terus bilangnya karena dia jelek?" Adiba terkikik-kikik. "Lah? Emang bener kan?" Iness mendengus. "Kesannya gue kayak sombong banget gitu jadi manusia. Sok kecakepan. Padahal cewek juga banyak yang lebih cakep dari gue!" Adiba menjitak kepalanya sedangkan Iness terbahak. Narsisnya keluar deh. "Terus mau gimana lagi? Masa mau lo terima meski gak suka? Pernikahan gak sesepele itu loh, Ness. Mungkin ada cewek yang mau-mau aja sama cowoknya, mau tampangnya kayak apa juga tapi gak semua cewek kayak gitu." "Contohnya gue gitu maksud lo?" Adiba terkekeh. "Gue juga keleus. Dan gue rasa itu wajar. Kita menolak karena dia jelek bukan berarti kita merasa sok kecakepan gitu kan? Tapi ya tadi, seperti yang gue bilang kalau masing-masing orang punya referensi ketertarikan. Dan sialnya, cowok itu gak masuk ke dalam kriteria yang lo pengenin!" Iness mengangguk-angguk. "Keluarga besar gue juga beranggapan seperti itu." "Seperti apa?" "Si Iness pasti nolak tuh karena tampangnya jelek!" tuturnya yang menirukan kata-kata yang dilontarkan para Tantenya juga sepupu-sepupunya. Adiba terkikik-kikik geli. "Kalau mereka yang dilamar juga belum tentu mau nerima, Ness. Dan alasannya juga mungkin gak beda jauh dengan lo. Persoalan fisik." "Tapi entah kenapa, gue merasa dengan membawa persoalan fisik dalam kriteria mencari jodoh ini sebagai streotip yang negatif. Padahal seperti yang lo bilang tadi, kalau masing-masing orang punya referensi yang berbeda. Meski, di dalam Islam sendiri menyebutkan kalau yang harusnya menjadi pertimbangan utama itu adalah agamanya." Adiba mengangguk-angguk. "Agama memang utama sih," tuturnya kemudian menghela nafas. "Lo pernah dengar cerita dari zamannya Rasullullah tentang Tsabit bin Qais bin Syammas?" Iness menggeleng. Ia bahkan baru mendengar nama itu. "Dia ditolak istri yang baru dinikahinya. Alasan istrinya menolak karena tidak nyaman dengan fisik Tsabit yang jelek. Istrinya ini mengaku takut menjadi kufur karena tidak bisa menunaikan hak suami. Sehingga Nabi pun menyuruhnya mengembalikan mahar dan Tsabit diminta menjatuhkan talak." Iness terdiam menyimak. Sementara Adiba menatapnya dengan serius. "Mungkin orang-orang di luar sana menganggap sama seperti apa yang ada di kepala lo itu. Tentang persoalan fisik seseorang ini. Tentang yang seolah-olah lo pilih-pilih hanya karena fisik. Tapi," ia menghela nafas. "Ridho atas kondisi fisik pasangan ini memang sangat penting, Ness. Karena mempengaruhi kualitas ibadah jama’i pasutri. Makanya dalam Islam ketika khitbah ada sesi lihat-lihatan antara kedua calon sekalipun yang ceweknya pakai cadar. Biar nggak zonk gitu lihat calonnya. Nanti kalau zonk kan pasti menyesal pas udah nikah. Kan brabe urusannya." Iness menarik nafas dalam. "Jadi gue gak salah menolak dia dengan alasan itu?" Adiba tersenyum kecil. "Lantas lo mau memaksakan diri?" Iness menggeleng kecil. Memikirkannya saja, Iness kesulitan. "Ness, di dalam pernikahan itu juga ada yang namanya keikhlasan. Pernikahan kan termasuk ibadah. Jadi seharusnya dijalani dengan ikhlas. Kalau sejak awal, lo aja gak ikhlas menerima fisiknya, gimana bisa lo ikhlas menerima hal-hal selanjutnya? Gimana lo akan ikhlas melayani dia?" Iness terdiam lagi. Ia sungguh paham tentang hal ini. Namun karena sedang mengalaminya, ia kadang merasa agak terpojok oleh kata-kata orang lain. Karena kadang orang lain suka sekali berkomentar tentang hidup kita kan? Padahal hidup kita itu ya kita yang jalani. Meski ingin sekali membuang kata-kata orang dari pikiran, tapi ternyata sulit. "Ketertarikan itu penting, Ness. Kan gak mungkin, pas bangun tidur terus lo ngeliat dia dan kaget terus bikin lo pengen muntah gitu?" Iness terbahak. Ia tak sejahat apa yang dikatakan Adiba tentu saja. Adiba terlalu jahat dalam menggunakan kata-kata kiasan. "Lagian, Ness, pasti ada kok nantinya. Satu lelaki yang baik agamanya, mungkin juga mapan, bisa membuat lo tertarik dan dia datang untuk melamar elo diwaktu yang tepat. Diwaktu tepat loh yang gue bilang. Karena kan hanya Allah yang tahu kapan waktu yang tepat itu datang. Jadi bersabar aja. Sabar yang gak hanya buat lo pastinya juga gue yang juga menanti pangeran surga yang didambakan. Jangan sampai hanya karena menolak satu lelaki lantas lo merasa buruk dengan segalanya. Percaya deh, barang kali Allah juga sedang menguji tentang kriteria yang kita buat sendiri tentang jodoh kita. Sementara Allah sudah punya skenario sendiri pula tentang jodoh untuk kita. Yang pasti, apapun yang menjadi skenario Allah itu sudah pasti yang terbaik." @@@ Adiba? Kening Adiba mengerut. Dikala perjalanan pulangnya sebentar ke Jakarta, tiba-tiba lelaki itu mengiriminya pesan di i********:. Ya, memang gosipnya dengan lelaki itu mereda dengan sendirinya. Tapi Adiba jadi agak-agak malas menanggapinya. "Dibaaaa!" Ziva melambaikan tangan. Gadis itu memanggil-manggilnya. Akhirnya, dengan ribuan paksaan dari Ziva, Adiba resmi menjadi salah satu pembicara di salah satu acara seminar Islami yang diselenggarakan di sebuah gedung di Jakarta. Sebetulnya, Adiba agak khawatir sih. Ya memang ia sudah terbiasa berbicara di depan umum karena pengalamannya menjadi MC. Tapi, kali ini malah jadi pembicara? Gimana Adiba gak pusing kepala? "Ini Mbak, temen aku itu," kenal Ziva pada ketua pelaksana acara yang ternyata seorang perempuan. Adiba tersenyum sopan lantas menyalaminya dengan ramah. Kemudian ia diajak mengobrol sebentar. Setelah itu berjalan menuju ruang tunggu. Ia berpisah dengan Ziva yang akan sibuk mengatur kamera. Begitu tiba di ruang tunggu, ada satu perempuan yang sangat ia kenal karena keartisannya juga.... "Adiba! Bener kamu ternyata!" tutur perempuan itu lantas dengan heboh memeluk Adiba. Adiba terkekeh. Perempuan yang memeluknya ini adalah kakak kelasnya waktu SMA di Bandung. "Apa kabar kamu? Lama gak kedengaran tahu-tahu booming!" ledeknya yang membuat Adiba tertawa. Lantas mengalir lah curhatan Adiba yang membuat perempuan itu tertawa-tawa. Perempuan itu sempat menyapanya di i********: tapi Adiba yang sedang menghindari berbagai media sosial itu pun tak tahu. Hampir satu jam kemudian, Adiba dipanggil untuk bersiap-siap masuk ke panggung. Kakak kelasnya tadi sudah masuk duluan berbarengan dengan suaminya. Kalau Adiba akan masuk ke sesi khusus para jomblo. Hihihi. Jadi, ada dua bintang tamu lain yang akan masuk bersama Adiba dan statusnya juga jomblo. "Adiba Syahraza!" seru sang MC. Adiba muncul perlahan dari belakang hingga muncul ke tengah-tengah panggung. "Mungkin banyak temen-temen di sini yang belum mengenal Kak Adiba. Nah, Kak Adiba ini adalah lulusan S1 dan S2 UI looh. Dia pernah menjadi presenter acara Islam Nusantara untuk sepuluh episode di tahun lalu. Saat ini, dia punya program baru yang ia bawakan di pertelevisian Singapura. Kalau temen-temen mau menonton, programnya berjudul Amazing Journey di mana berkisah tentang perjalanan Kak Adiba di beberapa negara dan mengulik kisah-kisah Islam yang pernah terjadi di sana. Bahkan episode pertamanya sempat viral juga di Indonesia bulan lalu tentang kasus terorisme di Christchurch, New Zealand." Riuhan tepuk tangan membahana. Adiba duduk canggung dan agak gugup. Saat ia tak sengaja menoleh ke arah samping, ia melihat ada Iness, Ziva, Tsania juga Yuna. Ketiga perempuan itu adalah sahabat satu kampusnya dulu. Sementara sang MC baru saja memanggil satu-satunya bintang tamu lelaki yang masih jomblo dan tentu saja dielu-elukan oleh kaum hawa yang memang sengaja datang hanya untuk melihatnya. Wajahnya yang ganteng juga meneduhkan, karir keartisan yang sedang melejit juga ditambah dengan menyandang sebagai hafiz Quran, kaum hawa mana yang akan menolak? "Woow! Kak Hamizzan Dzulkarnain!" serunya usai membaca profil lelaki yang dipanggil Hamiz itu. Lelaki itu hanya mengangguk lantas mengambil duduk pada sofa yang berbeda dengan Adiba juga Kayla. Adiba dan Kayla duduk di sofa panjang sementara Hamiz di sofa yang hanya memuat satu orang. Dan ada dua orang MC, pertama si Zaka yang duduk di sofa kecil di samping Hamiz. Lalu Gheisya yang duduk di kursi lain di sebelah Adiba. Obrolan pertama pun dimulai dengan kisah hijrah masing-masing. Adiba merasa tidak ada yang istimewa dengan hijrahnya. Kala itu, ia memutuskan untuk berkerudung hanya karena mau merantau ke Depok. Dari Bandung ke Depok bukan kah tak jauh? Ya, tapi alasan keamanan untuk dirinya sendiri sebagai seorang perempuan, ia memutuskan untuk berkerudung. "Waktu itu saya berpikir begini, bagaimana mungkin Allah mau menjaga saya jika saya tidak menjaga diri saya sendiri. Jadi saya ubah mindset saya seperti itu. Alhasil, saya memutuskan untuk berkerudung, untuk menutup aurat dengan niat agar tidak diganggu. Karena kebetulan, saya memang tipe orang yang risih kalau ada banyak lelaki di sekitar saya dan melihat saya. Karena saya tidak ingin fisik saya dilihat oleh mereka, maka saya memutuskan untuk menutupinya. Selanjutnya, saya percaya bahwa Allah akan menjaga saya dan alhamdulillah saya sangat terjaga hingga hari ini dengan berjilbab seperti ini." Tepuk tangan riuh pun membahana. Terdengar begitu sederhana kisah hijrahnya tapi, ada makna yang begitu dalam dibaliknya. Karena ya...begitu lah cara Allah membolak-balik hati manusia bukan? Setelah obrolan panjang selama satu setengah jam itu, acara dilanjutkan dengan tilawah bersama, yaitu menyambung ayat. Adiba tentu gugup. Sejujurnya, ia masih terus belajar memperbaiki bacaan Qurannya. Meski menurut sahabatnya di kampus dulu yang pernah menjuarai tilawah kampus, Fara, bacaannya sudah sangat bagus hanya kurang pada cengkoknya saja. Tujuannya agar irama ngajinya terdengar bagus. Kedua MC itu pun memanggil bintang tamu pada sesi-sesi sebelumnya. Alika, kakak kelas Adiba itu pilun muncul lagi dengan suaminya, Yusuf. Ada satu pasangan lagi yang sudah menikah lebih dari lima tahun yaitu Denia dan Rio. Maka berkumpullah keseluruhan narasumber yang berjumlah tujuh orang itu. "Kita mulai dariiiiiiiiii," tutur Geisya. Gadis itu sengaja menakut-nakuti. Ia melihat wajah para narasumber satu per satu. Hal yang membuat para penonton tertawa. "Eh! Bentar-bentar, Ges!" sergah Zaka. "Jelasin aturannya dulu doong!" ingatnya yang membuat Geisya terkekeh. Ia sudah sangat bersemangat untuk memulai permainan semacam ini. "Oke-oke! Jadi game-nya begini, kita akan sambung ayat. Dan siapa pun yang ditunjuk pertama, boleh memutuskan ayat dari surat apa saja kecuali Al-Fatihah yaaaa dan surat-surat pendek," tuturnya yang membuat para peserta yang hadir tertawa. "Dan surat itu harus terus disambung dari ayat pertama hingga ayat akhir. Masing-masing dari kakak-kakak harus merafal tiga ayat untuk kemudian dilempar pada kakak-kakak yang lain di panggung ini. Cara melempar gilirannya adalah dengan menyebut nama usai merafal tiga ayat tersebut." "Nah! Itu aturannya. Kalau yang menang dapat apa, Ges?" Geisya terkekeh. "Yang menang nanti bakalan berangkat umroh bareng satu peserta beruntung di sini!" serunya yang disambut waw-waw ria. Para peserta semakin bersemangat. "Kalau yang kalah gimana, Geees?" "Naaaah! Untuk yang kalah nanti, kita meminta keikhlasannya untuk ikut memberikan beberapa hadiah untuk para peserta. Boleh dalam bentuk apa saja, entah hiburan atau foto bareng atau apa gitu terserah lah yaaa! Yang penting, para peserta di sini jangan beringas aja!" ingatnya yang mengundang tawa. Permainan pun dimulai dari Kayla yang memang sedari awal sudah menjadi sasaran dari peserta. Gadis itu merafal cepat surat An-Naba yang ia ingat. Kemudian ayat itu disambung oleh Alika, Denia, Rio, Yusuf, Hamiz dan Adiba. Semua peserta masih bertahan pada surat ini. Surat kedua dilancarkan oleh Yusuf, yaitu surat Muzammil. Kayla juga Denia yang agak-agak lupa pun gugur. Surat ketiga dimulai oleh Adiba yang .... "Ar-raḥmāaan," mulainya dengan syahdu. Berhubung ini adalah surat kesukaannya dan ia suka sekali meniru irama dari salah satu tokoh yang sangat dikenal dengan suara merdunya ketika membawakan surat ini di masjid Salman ITB. Hal yang seketika membuat gedung itu terasa sejuk. "'Allamal-qur'āaan....khalaqal-iiiinsaaān... Kak Hamiz," tuturnya yang kemudian melempar pada Hamiz yang tadi sempat terhanyut di dalam kesejukan suara Adiba. "'Allamahul-bayāaaan....asy-syamsu wal-qamaru biḥusbāaaan...wan-najmu wasy-syajaru yasjudān... Adiba...," ucapnya tanpa sadar. Adiba tentu saja kaget. Karena tak mengira kalau ia kembali mendapat giliran. "Was-samā'a rafa'ahā wa waḍa'al-mīzān....allā taṭgau fil-mīzān....wa aqīmul-wazna bil-qisṭi wa lā tukhsirul-mīzān... Kak Hamiz..." Kedua MC pun terkaget. Hamiz pun sama tapi dengan cepat melanjutkannya lagi. "Wal-arḍa waḍa'ahā lil-anām....fīhā fākihatuw wan-nakhlu żātul-akmām.....wal-ḥabbu żul-'aṣfi war-raiḥān.. Adi--", ia belum selesai bicara dan hendak mengganti nama yang akan ia sebut eeh Adiba sudah menyosor duluan. "Fa bi'ayyi ālā'i rabbikumā tukażżibān.....," tuturnya sembari menanamkan artinya di dalam kepala. Seketika hatinya bergetar. Begitu pula dengan manusia-manusia lain yang ada di sekitarnya. Hal yang tanpa sadar membuat seseorang lama menatap Adiba hingga akhirnya lelaki itu tersadar ketika disenggol Yusuf yang diam-diam menahan tawa. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD