Antara Dua Pilihan : Part 5

2017 Words
"Insya Allah ini bisa dipertanggungjawabkan Adiba. Jadi, dari yang aku dengar kalau kamu dekat dengan Kak Adam juga Mamanya Kak Adam. Betul begitu?" Adiba menghela nafas. Setelah berminggu-minggu tidak berhubungan dengan Frasya, kini begitu tersambung, obrolannya langsung menyikut persoalan kedekatannya dengan Adam. Padahal Adiba tak merasa dekat dengan lelaki itu. Ya memang kalau Mamanya lelaki itu sering menghubunginya via telepon. Kadang juga mengajak bertemu seperti terakhir kali saat perempuan itu ada di Singapura. Namun kala itu, Adiba masih di Istanbul. Kalau sekarang, Adiba ada Cappadocia. Ia masih menikmati liburan usai meliput Hagia Sophia. "Aku punya persepsi yang berbeda dengan apa yang kamu maksud dengan 'kedekatan' itu, Fra. Nyatanya, aku tak sedekat itu dan lagi...." "Dan lagi?" Adiba tampak berpikir. Ia berdiri di balkon dan menatap langit malam yang begitu gelap. Rencananya besok ia akan menaiki balon udara jika cuacanya mendukung. Ia sudah lama menantikan perjalanan ini dan sangat tidak sabar menanti esok hari setelah puas berjalan-jalan di Istanbul. "Aku kurang nyaman dengan...." "Dengan?" Ia menarik nafas dalam. "Sejujurnya, Mamanya Kak Adam sering menelepon dan mengajak bertemu. Tapi anehnya, semakin ke sini, aku merasa kurang nyaman." "Why?" "Aku juga gak tahu, Fra." "Tetapi berarti kamu bener dong kalau dekat sama dia." "Dalam pendekatan yang berbeda, seperti kataku tadi. Kalau gosip-gosip yang berkembang mungkin akan bilang kalau--" "Kamu didekati untuk dilamar. Begitu, Dib," potongnya yang membuat Adiba menganga. "Dia juga banyak bertanya tentangmu padaku. Aku jawab seadanya saja." Frasya menghela nafas. "Tapi mendengar suaramu, tampaknya tidak begitu srek dengan pembicaraan ini." Adiba berdeham. "Apalagi yang kamu dengar gosip tentangku dengannya?" "Sebatas kamu yang sudah sangat dekat dengan keluarganya. Lalu Kak Adam yang katanya melabrak mantan kekasihnya demi kamu." Adiba ternganga. "Hah?" Frasya berdeham. "Itu yang aku dengar dari Abang. Abang juga bilang, muka Kak Adam yang sangat sumringah tiap cerita tentang kamu. Katanya, dia sudah tertarik sama kamu sejak lihat kamu jadi presenter di Singapura waktu itu. Tapi semua jadi rumit dengan segala gosip-gosip itu. Kak Adam khawatir juga karena hal itu, takutnya kamu menghindarinya." "Oh." Frasya terkekeh mendengar respon yang begitu singkat itu. "Hanya itu heh?" "Dia gak bilang sama kamu atau Kak Rafandra kalau..." "Kalau?" Frasya membeo. Sementara Adiba menarik nafas dalam. "Dia menawariku untuk ta'aruf." "SERIUSAN?!" Telinganya Adiba sampai terpekik saking kuatnya teriakan Frasya. Perempuan itu tertawa-tawa seraya meminta maaf. Ia hanya begitu kaget. "Terus gimana? Kamu terima? Dia orangnya baik kok, Dib." Adiba menghela nafas. Ia tahu jika lelaki itu memang baik dan ia tertarik. Tapi sejujurnya, semenjak membaca balasan pesan dari Hamiz tentang jawaban dari ketiga pertanyaan darinya, membuatnya sulit. Awalnya ia membuat pertanyaan itu adalah tujuannya untuk menyingkirkan Hamiz. Tapi malah jadi begini. Jadi apa? Jadi galau. Ia tiba-tiba menyayangkan kalau ia harus melewatkan lelaki seperti ini. Namun sayangnya, hatinya jauh lebih tertarik pada sosok Adam yang menurutnya kece karena apa? Mungkin karena profesinya sebagai CEO yang membangun startup sendiri dan berkembang pesat. Kedua, pola pikir Adam yang menurutnya, bisa menyamainya. Tapi ia belum tahu bagaimana sisi agama dari Adam. Ia tak masalah jika Adam pernah pacaran toh itu kan masa lalu Adam. Ia juga pernah membahas ini dengan Fara. Fara juga setuju ia dengan Adam jika Adam benar-benar tak ada hubungan apapun lagi dengan perempuan manapun. Adiba juga berat menerimanya jika ia masih berhubungan dengan perempuan di masa lalu. "Yaaa, aku juga begitu, Dib. Awal-awal tahunya si Abang masih punya pacar eh tahu-tahunya sudah lama putus dan alhamdulillah orangnya mau terus belajar agama dan memperbaiki diri. Selama arahnya benar, yaitu menuju Allah, aku gak masalah." Adiba tampak berpikir. Ia memang bertanya tentang pendapat Frasya terkait hal ini. Dan ia semakin menjadi bimbang karenanya. Maka tak lama, ia kembali menelepon sahabat-sahabatnya yang lain. Namun gagal. Karena tiba-tiba ada nomor asing yang masuk dan langsung terjawab secara spontan oleh jemari Adiba yang tak sengaja menyentuh layar. Tiba-tiba saja, ia dimaki habis-habisan oleh perempuan yang suaranya tak nampak asing. Ia mencoba mendengar jelas lagi suara itu dan perlahan paham siapa yang meneleponnya saat ini. Ia menghela nafas kemudian meminta maaf. "Saya rasa yang harusnya Mba hubungi itu bukan saya tapi Kak Adam. Uru--" Ucapannya kembali dipotong dengan beragam makian. Awalnya, ia berdeham dan masih mencoba bersabar dengan terus meminta maaf juga menyangkal kalau ia sama sekali tak berhenti ria pada Adam. Tapi perempuan itu tak mau mendengar dan terus memaki juga mengancamnya agar tak dekat-dekat dengan Adam. Akhirnya, ia matikan saja telepon itu dari pada pusing kepala. "Psikopat," gumamnya. Keningnya sampai mengerut heran. Tentu heran dengan seorang perempuan yang dengan lancangnya memakinya padahal ia tak berbuat apapun. Ingin rasanya Adiba berteriak kalau ia tidak mendekati Adam tapi lelaki itu yang mendekatinya bahkan menawarinya ta'aruf. Ia menghela nafas panjang. Kenapa permasalahannya menjadi serumit ini? @@@ Lagi-lagi hanya Fara yang mengangkat. Ia mulai bercerita tentang kebimbangannya selama berhari-hari dengan urusan ta'aruf ini. "Coba istikharah aja dulu, Dib." Begitu saran dari Fara. Perempuan itu tampak lesu, tak seperti biasanya. "Tapi kalau menurut lo gimana?" Fara menghela nafas di seberang sana. "Tadi lo bilang kalau pacarnya masih menghubungi lo?" "Mantannya bukan pacar, Mya." "Ya terserah lah itu. Kalo pacarnya seganggu itu dengan kelanjutan hubungan lo dan Kak Adam, lebih baik lapor dulu sama Kak Adam untuk nyelesain urusannya dengan dengan cewek itu. Jangan seret-seret lo. Lo gak ada urusannya dengan ini, Diba." Adiba menghela nafas. Ia tahu sih. Tapi kini makan terjepit dalam posisi yang tidak enak ini. Siapa yang mau berada di posisi dengan nama dan berita yang buruk menimpanya ini? "Tapi kalau ini malah jadi firasat agar gue gak sama dia karena--" "Jangan su'uzzan dulu, Diba. Kita tak pernah tahu jalannya hidup. Ah ya, lo bilang tadi kalau lo ngajuin pertanyaan pada Kak Hamiz? Sama Kak Adam sudah ditanya juga?" Adiba baru teringat. Ia tidak berniat untuk bertanya pada Adam karena sedari awal niatnya melontarkan pertanyaan itu pada Hamiz hanya untuk....haaah....ia ber-istigfar dalam-dalam. "Harus kah?" "Harus dong. Harus adil. Sekalipun lo gak tertarik." "Kalau lo jadi gue, lo akan begitu juga?" "Gue percaya cinta akan datang dari niat yang baik, Diba. Setidaknya lo punya rasa tertarik pada keduanya meski dalam proporsi yang jelas berbeda. Tapi agama tetap pertimbangan utama juga menurut gue." "Kalo lo?" Fara menghela nafas lagi. "Agama yang paling utama, Diba. Kedua, cerdas. Ketiga, bertanggung jawab. Terakhir, rasa tertarik. Kalau satu, dua dan tiga lolos tapi tidak yang keempat maka gue akan tetap menolak." Adiba tersenyum tipis. "Berarti?" ledeknya yang membuat Fara mendengus. "Rasa tertarik memang bukan yang utama tapi itu akan menjadi dasar keikhlasan dalam rumah tangga. Bagaimana akan menjalankan rumah tangga tanpa rasa tertarik pada pasangan? Padahal ada banyak ibadah antara suami dan istri yang hanya sebatas saling memandang saja sudah berpahala. Kalau memandangnya dengan begitu spesial pasti ada rasa tertarik." "Jadi gue harus bertanya?" "Ya, Diba. Ini kan persoalan pernikahan. Lo gak bisa menikah tanpa tahu visi dan misi masing-masing pasangan." Ah ya, pikir Adiba. Kenapa ia melewatkan hal ini pada Adam sekalipun sangat tertarik pada lelaki itu? "Apa ini tandanya kalau gue masih mengutamakan perasaan ya?" Fara tersenyum tipis. "Manusiawi, Diba. Perempuan memang tak jauh dari yang namanya perasaan. Karena perempuan itu sendiri diabadikan sebagai tulang rusuk yang letaknya didekat hati bukan otak." Adiba mengangguk-angguk setuju. Lantas ia teringat berita yang santer ia dengar dari teman-teman satu angkatannya. "Gue dengar suatu kabar..." "Kabar apa, Dib?" "Lo mau nikah?" Fara terbatuk-batuk. "Kata siapa?" "Gosipnya santer di kalangan anak-anak seangkatan." "Oh ya?" "Jujur deh." Fara meringis. Adiba memang tidak mendesaknya untuk bercerita tapi agak merasa bersalah juga kalau menyimpannya sendiri. Lantas ia hanya menceritakan semuanya secara singkat tentang rencana pernikahannya dengan seorang lelaki yang begitu dikenal banyak orang. "SERIUSAN? SAMA FARREL?!" Telinganya Fara sampai pekik. Ia langsung mengomel sementara Adiba tertawa puas. "KOK BISA?!" Fara sudah menduga kalau semua orang akan heran. "Dia beneran suka sama lo?" ledeknya dan itu membuat Fara mendengus. Adiba tertawa lebar. "Ya ampuuun, gak nyangka banget ada cowok model begitu mau sama kamu," lanjutnya lagi. Fara ingin sekali mencekiknya dan itu membuat Adiba terbahak puas. Seketika lupa dengan permasalahannya yang rumit selama berminggu-minggu ini. @@@ Ya Adiba. Ada apa? Adiba menggigit bibirnya. Ia agak grogi tapi.... Aku mau bertanya tentang tiga hal, Kak. Boleh kah? Adam tersenyum tipis. Ia sejujurnya sedang sibuk di Istana Negara. Kebetulan diundang untuk datang oleh presiden. Boleh, Diba. Tanya kan saja yang ingin kamu tanya kan. Nanti akan ku jawab, Diba. Saat ini aku masih sibuk dengan pekerjaanku di Indonesia. Ah ya, kamu berada di mana sekarang Adiba? Adiba memutar kedua bola matanya. Ia membaca pesan itu secara seksama lantas berpikir. Bukan kah lelaki itu sedang sibuk? Kenapa tidak fokus saja sama pekerjaannya sendiri dan tak perlu bertanya tentang keberadaannya? Adiba menghela nafas. Kemudian kembali mengetik sesuatu dan mengirimkannya pada lelaki itu. Tiga pertanyaan dariku: 1. Apa visi dan misi kakak dalam pernikahan ini? 2. Kenapa memilihku? 3. Keberatan kah dengan karirku saat ini? Adiba menaruh ponselnya di atas meja lantas ia sibuk di dapur selama berjam-jam kemudian. Usai makan dan memberesi piring, ia berjalan ke kamar mandi kemudian membersihkan diri. Usai magrib waktu Singapura, ia kembali berjalan menuju ponselnya yang tertinggal di atas meja makan. Ketika membuka ponsel, ia mendapati Adam masih mengetik balasan untuknya. Ia biar kan saja dan beralih membuka aplikasi lain. Kemudian ia menyalakan televisi dan mengambil macbook-nya. Tak lama, ia kembali ke meja makan sambil sesekali melirik ke arah televisi. Ia menoleh pada ponselnya ketika ponselnya berdenting. Visiku dalam pernikahan ini tentunya untuk ibadah, Diba. Misi? Ada banyak hal yang bisa lakukan jika kamu mau dengaknku. Aku punya banyak hal yang ku impikan untuk dilakukan bersama dengan istriku nanti. Misalnya, mengembangkan perusahaan bersama-sama. Hal lainnya, umroh bersama. Naik haji bersama. Berjalan-jalan bersama mengelilingi dunia dengan niat untuk mengenalkan Indonesia pada dunia internasional. Apalagi kamu public figure, Diba. Figurmu pasti akan banyak ditiru oleh masyarakat luas. Lalu pertanyaan keduamu, kenapa aku memilihmu? Aku merasa kamu gadis yang baik, Diba. Ku harap, perasaanku ini tidak bertepuk sebelah tangan kepadamu. Terakhir, aku tak keberatan dengan profesimu, Diba. Itu justru akan sangat membantuku dalam mewujudkan visi-misi hidupku. Adiba menghela nafas. Entah kenapa, ia merasa kurang puas dengan jawaban-jawaban ini. Ia tak menemukan sesuatu yang membuatnya berdecak kagum seperti saat membaca balasan dari Hamiz. Atau ini hanya perasaannya saja? Ada banyak perempuan baik di dunia ini, Kak. Kenapa tidak memilih mereka yang lebih baik? Adam mengerutkan kening begitu membaca balasan dari Adiba. Perempuan itu tidak menolaknya kan? Dan lagi, aku tak seperti yang kakak kira. Kakak hanya melihatku dari luar saja. Bahkan mungkin tidak banyak membantu dalam mewujudkan visi-misi hidup kakak itu. Balasan itu terdengar emosi. Entah kenapa Adiba merasa kalau lelaki itu hanya menggunakannya untuk mewujudkan mimpi-mimpinya dan mengenyampingkan tujuan utama dari sebuah pernikahan. Padahal esensi pernikahan itu lah yang paling penting. Atau ia saja yang terlalu berprasangka buruk? Maksudku begini Adiba. Pernikahan bukan hanya sekedar ibadah tapi juga wadah untuk mewujudkan mimpi-mimpi. Akan terasa lebih ringan jika dilakukan berdua dibanding sendirian. Adiba merenung. Ia tahu jika Adam mempunyai maksud seperti itu. Tapi bukan kah Adiba sudah bilang kalau visi dan misinya dalam pernikahan bukan persoalan mewujudkan mimpi semata? Tau ia saja yang salah menilai karena tiba-tiba hilang rasa dengan semua yang menimpanya akhir-akhir ini. Dan aku merasa kalau sosokmu sangat lah tepat untukku meraih itu semua, Diba. Menurutku, kamu bisa mengimbangi ambisiku untuk mengejar semua itu. Atau aku salah menilai? Kening Adiba makin mengerut. Ambisi? tanyanya dalam hati. Lantas pernikahan seperti apa yang ingin kakak bangun dengan visi dan misi seperti itu? Saat ini dunia berkembang demikian cepat, Diba. Tapi Indonesia masih terlalu jauh untuk mengejar perkembangan dunia. Memang dalam beberapa bidang, Indonesia mungkin bisa mengejar bahkan mengungguli. Tapi masih tidak merata jika kita melihat daerah-daerah pelosok sana yang masih sangat timpang dibanding ibukota. Aku punya mimpi untuk membangun pernikahan ini dengan kamu yang akan terus mendampingiku juga mendukung serta membantuku mewujudkan hal-hal seperti itu. Itu hanya sebagian kecil yang ingin ku raih, Diba. Ada banyak hal-hal besar lain yang inginku lakukan. Anggap juga sebagai wadah untuk mengumpulkan pahala. Iya kan Adiba? @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD