Antara Dua Pilihan : Part 6-End

2021 Words
"Apa Adiba tidak timpang jika berpasangan dengan seorang yang seperti itu, Mah?" tanyanya. Ia menghela nafas dengan batin penuh kebimbangan. "Diba sudah mencari tahu banyak tentangnya. Tapi semakin banyak Diba tahu, Diba semakin malu padanya." "Kenapa?" Ia menutup mata sekilas sembari memijit keningnya. Dari sekian kegalauannya tentang pilihan ini, pada akhirnya ia memilih untuk mencurahkannya pada ibunya setelah bermalam-malam dengan-Nya tapi tak merasa menemukan jawabannya. "Adiba bukan hafizah. Adiba hanya perempuan biasa. Kerudung pun masih sampir sana, sampir sini. Kelakuan apalagi." Ibunya tersenyum di seberang sana. "Lalu pada Adam bagaimana?" Adiba menghela nafas. Awalnya merasa tertarik tapi semakin ke sini entah kenapa, ia merasa hampa. "Adiba tak menemukan esensi pernikahan dengannya." "Lalu?" Adiba menggigit bibirnya. Ia masih gamang dengan pilihannya sendiri. Ini sungguh berat karena menyangkut masa depan dunia dan akhiratnya. Selain itu, ia kehilangan rasa tertariknya begitu saja pada Adam. Ia juga tak mengerti kenapa tiba-tiba seperti ini. Padahal sebelumnya, ia sesungguhnya ingin sekali menerima tawaran ta'aruf dari Adam. Namun ternyata, jawaban-jawaban Hamiz atas ketiga pertanyaannya begitu membekas dihati. Rasanya sayabg saja jika melewatkan lelaki soleh itu untuk dijadikan pendamping. Toh dalam hidup, semua orang pasti menginginkan yang terbaik bukan? Jika salah satunya dirasa lebih baik, kenapa harus memilih yang kurang baik? Apalagi ini urusannya akan panjang. Tidak hanya sebatas sampai pelaminan tapi hingga akhirat. Adiba pun tak mau menyesal diakhirat nanti kalau salah pilih pasangan. "Adiba rasa bukan Adiba, perempuan yang cocok hidup dengannya, Mah. Adiba mungkin tak akan sanggup mendampinginya." "Lalu kalau pada Hamiz? Kamu merasa rendah diri karena bukan hafizah sementara ia adalah seorang hafiz?" Adiba berdeham. Ia mengakui kegalauannya soal itu. Sementara ibunya mengembangkan senyum. "Ada alasan yang memberatkan pilihanmu pada Hamiz, nak? Di luar dari seorang hafiz?" "Adiba menyukai visi dan misi pernikahannya. Adiba merasa, yang seperti itu lah yang Adiba cari. Tapi Adiba juga berat--" "Barangkali itu jawaban dari istikharah itu, Adiba. Kita tak pernah tahu akan seperti apa jawaban dari istikharah itu menilik.....tidak semuanya dalam bentuk yang bisa dilihat tapi bisa jadi dalam hal seperti ini. Dalam hal perasaan. Dalam hal keyakinan. Yang tadinya meragu malah menjadi yakin maka kurang lebih itu adalah jawaban dari doa-doa kita, nak." "Lalu, Mah?" "Untuk urusan hafiz itu, ya gak masalah. Selama lelaki itu soleh apakah ia hafiz atau bukan, rasanya tidak etis jika menolaknya jika ada rasa tertarik. Kecuali kalau tidak suka sama sekali. Kalau begitu, Mamah tak akan mau memaksakan. Selain itu, jodoh itu memang cerminan. Kita tak pernah tahu kebaikan apa yang kita lakukan sehingga membuat kita kadang tak habis pikir, bagaimana Allah menjodohkan kita dengannya? Seperti yang anak Mamah ini rasakan. Tapi begitu lah kehendak-Nya, nak." "Tapi Mamah lebih setuju yang mana?" Ibunya terkekeh pelan. "Keduanya lelaki yang baik." Adiba agak mendengus mendengar jawaban itu sementara ibunya kembali terkekeh. Itu jawaban yang terlalu pasaran, menurutnya. Tapi entah kenapa, ia yakin jika ibunya pasti punya pilihan dari salah satunya. Tapi mungkin takut memberatkan hatinya jika memilih yang berbeda dengan pilihannya. "Jujur aja, Mah. Adiba gak masalah. Adiba perlu tahu, barangkali itu juga akan menjadi salah satu jawaban dari istikharah Adiba." Ibunya tersenyum kecil. Anaknya sudah dewasa jadi bisa menyikapi berbagai hal dengan pandangan objektif. "Kalau Mamah diposisi Adiba, Mamah akan memilih nak Hamiz." "Meskipun gak tertarik?" Ibunya terkekeh. "Dulu Mamah dan Papah kamu itu dijodohkan, Adiba. Kami tak pernah pacaran. Tiba-tiba saja Mamah dipinang saat sedang pulang libur kuliah. Mamah manut-manut saja kala itu karena berpikir, kakek dan nenekmu tidak akan menjerumuskan Mamah. Mereka pasti menyeleksi dengan benar calon suami untuk Mamah jadi Mamah tak khawatir. Dan alhamdulillah, ternyata pilihan kakek dan nenekmu kamu memang tidak salah memilih lelaki yang menjadi ayah kamu." Adiba tersenyum tipis. "Lantas kenapa Mamah lebih tertarik pada Hamiz? Apa karena dia seorang hafiz?" Ibunya tertawa. "Mamah sudah menyukainya sejak ia pertama kali bermain film islami, nak. Ia juga terlihat sangat menjaga pergaulannya. Mamah bukannya ingin membandingkannya dengan Adam. Tapi lelaki yang benar-benar soleh dan paham agamanya, ia akan menjaga dirinya sebaik-baiknya bukan karena pasangan tapi karena rasa cintanya pada Allah. Dan Mamah menemukan itu dalam sosoknya. Bahkan sejauh ini pun, pemberitaan tentangnya begitu baik dan Mamah sering juga melihat interaksinya dikala menyapa teman atau pun fansnya." Adiba mengangguk-angguk. Ia tak memeriksa sampai ke sana. Ia hanya berkepo ria pada Alika. Tapi lega juga mendengar ucapan ibunya yang ternyata menyukai sosok lelaki seperti Hamiz. "Jadi bagaimana, anak Mamah ini pilih siapa?" Adiba terkekeh mendengarnya. @@@ Mohon maaf sebelumnya. Adiba ingin menyampaikan kabar kalau Adiba belum bisa menerima tawaran ta'aruf dari kakak. Maaf kalau ada banyak salah kata dari Adiba dan juga salah sangka yang khilaf. Sekali lagi, mohon maaf yang sebesar-besarnya. Terimakasih. Salam, Adiba Adiba tersenyum tipis. Gadis itu memasukan ponselnya ke saku celana lantas segera berdiri begitu bus yang ditumpanginya tiba di Bandara Changi Airport. Ia turun kemudian mengambil alih kopernya. Ia menaruh barang-barangnya di atas trolli dan mendorongnya masuk ke dalam bandara yang sangat luas itu. Aaaaaaa! Selamat Adibaaaa! Gak nyangka akhirnya akan lamaraaaaaan! Ia tersenyum tipis membaca balasan pesna yang ia kirim semalam tapi baru dibalas pagi tadi oleh Fara. Kini ia baru membacanya usai check in dan sedang berjalan menuju ruang tunggu yang terasa jauh sekali. Bandara ini terlalu besar, pikirnya. Ia sampai lelah berjalan walau sesekali menghibur diri dengan membalas berbagai pesan dari para sahabatnya. Gue juga ikut senang yaaa, Myaaaaa! Semoga lancar sampai hari H! Maaf, gue belum bisa datang ke sana karena jadwalnya bertubrukan dengan jadwal balik ke Singapura Itu balasan pesannya pada Fara. Sementara pada Ziva.... Aaaa! Onyiiiing! Cepet bangeeet sih! Ngebet amat pengen nikaaaah! Hiks hiks hiks Ia terkekeh. Ia tahu sih kalau Ziva merasa agak kesepian ditinggal menikah oleh Frasya. Apalagi sahabatnya yang satu itu tinggal di London untuk menyelesaikan kuliahnya. Tiba di ruang tunggu, Adiba duduk. Ia mengangkat telepon dari ibunya yang menanyakan keberadaannya. Jadi ia memberitahu kalau baru saja tiba di ruang tunggu. Ia menyandarkan badan. Ingatan seputar ta'aruf yang lancar, membuatnya tersenyum. Yaaa, tak ada yang akan tahu apakah perjalanan pernikahannya akan mulus atau tidak. Namun yang pasti, ia cukup bahagia dengan posisi saat ini. Posisi apa? Posisi sebagai seorang gadis yang akan dipinang oleh lelaki yang tidak diduga-duga bahkan tidak pernah terpikirkan. Tapi yaaa begitu lah hidup. Empat jam kemudian, ia tiba di Jakarta, lebih tepatnya di Bandara Soekarno-Hatta. Ia segera berpindah penerbangan dari internasional ke domestik untuk penerbangan keduanya menuju Bandung, kota kelahirannya. Tiba di ruang tunggu domestik, ia membuka ponsel dan kembali mendapat balasan dari Fara dan Ziva. Ngambek aaaah! Nanti gue juga gak mau datang ke nikahan elo! Adiba tertawa. Ia tahu kalau Fara tak serius. Tapi ia benar-benar tak sempat datang. Urusannya di Singapura begitu genting hingga tak mungkin ditinggalkan. Namun ia tetap tak akan lupa berdoa untuk kebahagiaan Fara dengan calon suaminya. Tak lama, ia terganggu dengan pesan yang baru saja masuk dari lelaki yang ia tolak tawaran ta'arufnya. Ia hanya tersenyum tipis. Ia sudah lama mengirim pesan penolakan itu tapi hanya dibaca oleh lelaki itu. Kini, baru saja ucapan maafnya diterima dan lelaki itu juga meminta maaf. Adiba memaklumi. Barangkali sakit hati atas penolakannya, ia tak masalah. Toh siapapun yang berada diposisi lelaki itu pasti akan begitu juga kan? Empat jam kemudian, Adiba akhirnya tiba di Bandar Udara International Husein Sastranegara. Ia menghela nafas segar walau teriknya menyengat sekali. Padahal ini sudah hampir jam empat sore tapi Bandung yang sekarang memang tidak lagi sperti Bandung yang dulu. Senyumnya melebar begitu menjumpai abang lelakinya sedang melipat kedua tangan di depan d**a, tersenyum lebar ke arahnya dan mengenakan kacamata hitam. Hal yang membuatnya tertawa dan akhirnya melompat ke dalam pelukan abang satu-satunya yang ia panggil dengan A'ak dan kadang suka mengaku-ngaku sebagai pacarnya. Esok harinya, hari yang dinanti pun telah tiba. Sejak pagi, ia tak bisa berdiam diri. Sesekali sibuk mematut diri juga melihat persiapan makanan dan lainnya yang sda di rumah. Hal yang membuat keluarga besarnya sering mengomel. Mereka kompak menyuruhnya agar diam saja di kamar sembari menunggu calon suami yang akan datang melamar. Ihiy! Dua puluh menit kemudian, rombongan pun datang. Ada tiga mobil yang mendadak parkir di halaman rumahnya yang sederhana tapi cukup luas. Kemudian terdengar riuhan yang memanggilnya untuk mengintip bersama sepupu demi melihat sosok calon suaminya. Jika tadi, ia mondar-mandir tidak tetap, kini ia malah ingin bersembunyi. Rasanya malu sekali. Bahkan hingga dipanggil oleh ibunya pun ia sama sekali tak ingin keluar. Keluarga besarnya tertawa meledek kelakuannya yang muncul dengan wajah malu dan juga canggung di depan keluarga calon suami. Ia dibawa ke ruang depan di mana semua keluarga berkumpul dan mulai membahas rencana pernikahan yang rencananya ingin diselenggarakan secepat mungkin. Saat masuk ke dalam sesi di mana calon mempelai wanita ditanya tentang kesediaannya untuk menerima lamaran, ia hanya menunduk malu dengan muka yang memerah. Hal yabg membuat riuh seketika. Apalagi muka si lelaki juga memerah dan tak kalah malunya, menatap sekilas perempuan cantik di depan sana yang mungkin akan menjadi istrinya. "Biasanya, diamnya perempuan itu adalah iyanya," celetuk salah seorang paman dari keluarga si lelaki. Dan Adiba hanya bisa memeluk malu ibunya saat semua orang terkekeh lega. Lamaran ini pasti akan diterima Adiba dan keluarganya. Hanya saja, Adiba tak pernah menyangka jika akan ditanyakan lagi dengan segamblang ini. Ia terlalu malu bahkan untuk sekedar mengangkat sedikit kepalanya. Hal yabg membuat suasana semakin riuh. Apalagi saat jemari manisnya dipasang cincin oleh calon ibu mertua. Perempuan mana yang tak ingin berada diposisi Adiba? @@@ "Apa yang membuat Kak Adiba menerima tawaran ta'aruf dari Kak Hamiz?" Begitu pertanyaan yang terlontar dari mulut sang presenter dan jawabannya sudah ditunggu-tunggu peserta seminar yang gemas melihat kehadiran keduanya di auditorium yang sama ketika setahun lalu, keduanya pertama kali dipertemukan. Adiba dibuat malu oleh pertanyaan itu sementara Hamiz yang duduk sangat dekat dengannya hanya bisa terkekeh seraya menggaruk tengkuk. Para penonton perempuan dibuat baper akan tingkah pengantin baru yang manis tapi malu-malu itu. "Kalau ditanya alasannya, jawabannya agak membuat malu diri sendiri," tuturnya pelan lantas pelan-pelan pula ia mencoba menatap audiens di depan sana. Hamiz masih menatapnya dengan senyuman. "Saat pertama kali mendapat tawaran ta'aruf itu dari Kak Alika. Beliau yang mengabarkan kalau Mas--" "Aaaaaa! Manggilnya Maaas!" "Uwuuuu uwuuuuu!" "Uhuuuy!" "Bapeeer akutuuuuu!" Begitu lah sorak-sorai penonton yang membuat Adiba terkekeh dan perlahan mulai agak rileks. Ia sangat gugup karena ini kali pertamanya tapi bersama suami di depan banyak orang dalam acara seminar seperti ini. "Mas Hamiz menawarkan ta'aruf. Lalu yang aku pikir adalah bagaimana cara menolaknya," ungkapnya dan itu membuat penonton semakin berseru. Ia terkekeh pelan. Hamiz tentu tahu cerita ini karena itu adalah pertanyaan pertama dari lelaki itu dihari pertama mereka menikah beberapa bulan lalu. "Aku agak malu karena Mas adalah orang yang yaaaa hafiz Quran dan segala macamnya sementara aku jauh dari sana. Lantas muncul pertanyaan, kenapa mau sama aku? Tapi kemudian ia jawab dengan jawaban yang masih aku ingat jawabannya." Penonton kembali berseru juga presenternya yang gemas melihat keduanya saling tersenyum tiap tak sengaja bersitatap. Pengantin baru yang masih sangat malu. "Beliau bilang kalau aku adalah satu-satunya perempuan yang membuatnya berpikir tentang pernikahan." "Aaaaaaaa!" "Uhuuuy!" "Ciyee-ciyeeee!" Adiba terkekeh. Pegangannya pada microfon bertambah kuat kali ini. "Dan ada dua pertanyaan lain yang aku ajukan pada Mas saat itu. Beliau menjawab dengan begitu indah hingga menimbulkan sebuah kekaguman dan akhirnya membuatku semakin tertarik sekaligus merasa ini lah esensi pernikahan yang aku cari. Karena ketika dihadapkan dengan dua pilihan. Yang satu jatuh cinta karena hati. Yang satunya lagi jatuh cinta karena iman. Maka aku akan memilih untuk jatuh cinta karena iman. Karena apa?" ia tersenyum kecil lantas menatap sekitar. "Karena aku percaya jika jatuh cinta karena iman maka cintanya akan terus menguat seiring dengan keyakinannya pada Allah. Pada Allah saja, ia begitu yakin maka apalagi pada aku yang hanya hamba-Nya?" Terdengar gemuruh tepuk tangan yang menyelimuti seisi ruangan. Adiba tersenyum tipis. Ia dan juga Hamiz tak pernah tahu jika asa seseorang yang berdiri di luar sana dan menatap dari balik kaca, melihat keduanya tertawa dan tampak bahagia. Sementara hatinya masih terluka. Tapi ia belajar, barangkali ini cara Allah mengangkat derajat keimanannya agar lebih dekat pada Allah dengan tulus untuk mengejar cinta Allah bukan cinta yang lain. The End
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD