-Ketika dihadapkan pada pilihan antara hati dan iman-
Ia mendengus. Gara-gara acara talkshow yang ia bawa di Singapura melejit di Indonesia, namanya ikut naik pamor. Oke, sebagai pemula dalam dunia entertainment harusnya ia bangga dong ya? Tapi sialnya tidak sama sekali. Pasalnya, gara-gara ia mewawancarai seorang bintang tamu lelaki yang sedang populer di Indonesia, ia ikut terkena imbasnya. Ia digadang-gadang sebagai orang ketiga yang dimaksud oleh caption-caption sindiran dari pacarnya lelaki itu. Padahal......haaaaah. Kepalanya masih pusing.
"Are you okay, Diba?" tanya manajer barunya. Ia baru bergabung dalam sebuah perusahaan manajemen artis di Singapura. Baru sebulan terakhir ini sih. Ia bahkan baru pertama kali membawa acara interview khusus kepada pemuda-pemudi ASEAN yang masuk ke dalam kategori Forbes 30 Under 30 dan cowok itu adalah orang pertama yang ia wawancarai. Ia bukan pembawa acara tetap program itu tentu saja. Ia hanya pengganti sekaligus sedang dites kesiapannya untuk membawakan acara lain. Ia baru saja terikat kontrak selama enam bulan untuk acara yang bernama Amazing Journey di pertelevisian Singapura. Acara itu akan meliput kisah-kisah perjalanan Islam di beberapa negara juga kasus-kasus yang menaikan nama Islam, beberapa di antaranya kasus penembakan muslim di Christchurch, New Zealand, kasus WTC 11 September di Amerika dan yang terbaru ini adalah kembalinya Hagia Sofia menjadi masjid setelah 86 tahun. Keberangkatannya hanya dalam hitungan hari setelah semua VISA beres.
"Pretty good, Miss!"
Perempuan berambut pendek itu tersenyum kecil. "Okay. We'll discuss about yesterday, soon."
Diba mengangguk lantas ditinggal pergi. Gadis itu menyelonjorkan tubuhnya hingga ke lantai lantas menghela nafas keras. Kesal dengan berbagai pemberitaan yang muncul di dunia pertelevisian Indonesia. Kenapa ia harus terbawa-bawa ke dalam kisah mereka sih? dumelnya.
"Gue gak ngira itu bener kali, Diiibaaaa!" seru sahabatnya di seberang sana. Sahabatnya sedang berada di Indonesia tentu saja. Ia juga asli Indonesia. Tiba-tiba mendapat rejeki saja di Singapura.
Diba mengacak-acak rambutnya. Ia juga pusing dengan pemberitaan yang semakin santer itu. Semua fotonya bahkan dikait-kaitkan dengan pemberitaan itu.
"Tapi gue denger-denger kalau mereka putus tauk!"
Heiiish! Ia mendesah. Mana cowok itu juga menghubunginya melalui pesan di i********:. Yaa, cuma basa-basi usai syuting kala itu. Saat itu kan Diba pastinya memperkenalkan diri pada cowok itu. Ia juga menyebutkan kalau ia berasal dari Indonesia. Obrolan pun jadi panjang dan berlanjut di pesan i********:. Yaa, Diba tahu kalau cowok itu punya pacar artis. Entah artis yang pernah main film atau sinetron apa juga, Diba tak tahu. Tapi ia tak pernah mengirim pesan aneh pada cowok itu. Bahkan ia menanggapinya dengan biasa saja. Dan ia tak pernah menyangka akan seviral itu. Apalagi semua teman sekolahnya dari sekolah dasar hingga kuliah, kompak menghubunginya. Keluarga besarnya juga begitu. Ini kan parah namanya!
"Gue gak tauk ah! Pusing! Gue gak pernah punya hubungan kok disangkut-pautin!"
Temannya berdecak. "Lo kasih tahu lah sama Kak Adam itu. Biar dia klarifikasi gitu. Gak diem-diem aja begini. Kan elu juga yang susah wew! Jadi ikutan gemas deh gue!"
Diba hanya menghela nafas. Ia sih tak melakukan apapun tapi saat siang tadi, ia sempat membaca pesan yang dikirim cowok itu melakui i********: yang meminta maaf soal pemberitaan itu.
"Eh tapi lo beneran gak jadi orang ketiga di antara mereka kan?"
"Gue sepak juga lo, Va!"
Sahabatnya terbahak. Sementara ia tampak berpikir.
"Ikhlasin aja lah kalo gitu. Anggap aja jalan jadi populer. Kan lumayan ntar acara yang lo bintangi ikutan ngetop!"
"Ini sih namanya sensasi Zivaaa! Di mana-mana itu orang carinya prestasi bukan sensasi!"
Ziva terkekeh. "Lagian nih, Dib, tuh cewek juga gak ngetop-ngetop amat kali. Gue baru tahu kalo dia presenter gitu di acara yang suka berpetualang gitu. Gak tahu gue apa namanya. Terus punya startup gitu juga deh biar sama kayak cowoknya."
Diba menghembus nafas dalam. Ia sih sebodo amat. Yang penting namanya bersih. Tapi bagaimana caranya?
"Eh iya! Gue baru inget deh. Lo jadi nerima tawaran yang gue bilang waktu itu? Acaranya temen gue. Kasian banget abisnya, satu pembicara batal."
"Seminar islami itu?"
"Iyaaaa! Gue denger yang harusnya jadi pembicara itu adiknya si Farrel, itu loh pacarnya Shabrina. Tapi gak jadi, gak tahu kenapa. Nah terus dia minta cariin pengganti dan gue kepikiran eloooo!"
Ia menghela nafas. "Lo yakin? Gue dibanding si Farras itu jauh lah. Belum pernah gue jadi pembicara kayak gitu."
"Ya elah. Bisa kali lo. Paling nanti lo cerita aja tentang motivasi lo untuk hijrah! Gampang kan?"
"Gampang pala lo!"
Ziva terbahak. "Kalem dikit, siiis. Tapi gue serius nih. Coba aja lah. Apalagi kan acaranya Islami gitu, siapa tau bisa membuat alibi baru untuk elo."
"Alibi apaan?"
"Ya biar gak disangkutpautin sama dua orang yang pacaran itu lah! Emangnya mau lo dicap sebagai orang ketiga? Sampe dinyinyir-nyinyirin netizen bawa-bawa jilbab segala. Gue aja gondok bacanya apalagi elo yang ngalamin, Diib!"
"Tapi gue gak mau lah jadiin itu sebagai tameng!"
"Bukan tameng kali namanya! Asal lu benerin niat lo cuma pengen berbagi kisah lo dan siapa tahu itu menginspirasi orang banyak kan lumayan pahalanya. Kalau pun bisa memperbaiki nama baik lo anggap aja itu bonus. Lagian, kalau dengerin omongan manusia mau sampai kapan juga gak bisa dihentiin, Dib. Makanya Allah itu cuma menciptakan satu mulut dan dua telinga. Fungsinya biar lebih banyak mendengar daripada bicara tapi kadang manusia suka menyalahi aturan itu seakan lupa akhirat. Heeih! Ah udah ah! Ngapa gue jadi ceramah begini?"
Diba terbahak.
@@@
Sebelum berangkat ke New Zealand, Adiba berangkat untuk syuting hari pertama ke sebuah masjid di Singapura untuk bertemu salah seorang ibu yang kehilangan anaknya dalam kejadian p*********n muslim di Christchurch. Tiba di sana, Adiba langsung menghubungi perempuan itu melalui telepon. Ia sempat membaca latar belakang keluarga dari perempuan itu. Anak laki-lakinya yang berusia 20 tahun meninggal dalam kejadian itu. Kala itu, anaknya sedang berkuliah di sana.
"Halo! Assalamualaikum Miss Maira," sapanya ditelepon. Ia baru saja turun dari mobil kemudian berjalan memasuki halaman masjid. Tak lama, terdengar ucapan balasan atas salamnya dan tangan yang melambai ke arahnya. Ia tersenyum kecil lantas mematikan telepon dan segera menghampiri perempuan yang melambaikan tangan ke arahnya itu. Ia mengira jika wajah ibu itu mungkin terlihat agak tua yaaaa seusia perempuan 40-an kan lumayan tua ya. Tapi ternyata, masih terlihat sangat muda. Bahkan seperti perempuan awal tiga puluhan. Adiba jadi takjub. Mana cantik pula. Wajahnya kental Melayu dan ada Arabnya sedikit.
"Assalamualaikum, Miss Maira. I'm Adiba from Amazing Journey who called you a few days ago."
Perempuan itu mengangguk. Walau wajahnya tersenyum tapi ia bisa melihat masih ada mendung di sana. Adiba sih belum bisa merasakan apa yang perempuan itu rasakan tapi ia berharap, perempuan ini kuat dalam menghadapi semua cobaan. Kemudian Adiba berbasa-basi sebentar dengan menanyakan kabar juga keluarga sampai akhirnya masuk ke dalam obrolan yang harus diliput. Ia memulai dari bagaimana perempuan ini mengetahui kejadian itu.
"At that time, I and my husband were on the plane to go to there, Adiba. We would like to see him. But I never dunno if I would never see him forever."
"But, did you have a bad feeling about it before?"
Perempuan itu menggeleng. "Just one day before, we just called him on video calling as usual. No one got a bad feeling."
Adiba mengangguk. Ia jadi iba untuk terus bertanya rapi bagaimana pun ini tugasnya. Ia berusaha mengenyampingkan perasaannya sedikit lantas bertanya tentang bagaimana proses bertemunya perempuan itu dengan anak lelakinya.
"When we arrived at the airport, I got a calll from Singapore Embassy and they told everything. Everything about the gunshots ceased. My son's friend didn't meet him for hours after the accident. So we went in rush to the mosque. But, I did not see him. I only saw dead bodies lying stiff, bodies lying on top of each other. I was stunned, in disbelief that this is happening in New Zealand." Ia menghela nafas panjang. "Then I left the mosque without knowing where my son was. When we went to the hospital at night and could not find my son, I had a feeling he had died. His death was confirmed the next day." Ia melanjutkan lagi ucapannya. Ia merasa masih sangat terpukul kala itu. "While we wanted to surprise him with a visit that year. As it turns out, I will end up visiting him at his grave."
"How was your feeling at that time? When you saw your son at the hospital and became one who affected by terorism?"
Ia menghembus nafas panjang. Wajahnya semakin sendu ketika bicara. "I felt helpless and left their fates in God's hands."
Adiba mengangguk-angguk lagi. Ia melirik isi catatan dari semua daftar pertanyaannya. Sepertinya sudah cukup, pikirnya. Namun ternyata, obrolan dengan perempuan ini berlanjut panjang. Hampir setengah jam berlalu, ia baru berani pamit kemudian kembali ke dalam mobil yang kini membawanya pulang menuju perusahaan. Kebetulan apartemen yang ditinggalinya juga bersebelahan dengan kantornya itu.
@@@
Assalamualaikum Wr. Wb.
Adiba, saya mohon maaf sebelumnya atas semua pemberitaan yang membawa namamu ke dalam masalah saya. Atas nama mereka juga mantan kekasih saya, meminta maaf sedalam-dalamnya kepada kamu. Maaf juga kalau sudah menganggu waktu istirahat kamu semalam ini Adiba.
Salam,
Adam
Adiba menghela nafas. Ia bahkan baru saja merebahkan tubuhnya saat membuka pesan itu. Entah dari mana lelaki itu mendapatkan nomornya, ia pun tak tahu. Dan lagi, menurutnya, permintaan maaf terakhir dari lelaki itu pun sudah cukup.
Waalaikumsalam, no problem, Kak.
Adiba memalingkan wajahnya dari ponsel. Ia menaruh ponsel itu sembarangan. Kemudian ia menarik nafas dalam. Sejujurnya, ya ia memang tertarik pada lelaki itu. Siapa? Tentu saja Adam. Yaaaa siapa sih yang tak tertarik pada lelaki sekece itu? Udah ganteng, baik, pintar lagi kan? Tapi eh tapi malah jadi begini.
Jujur saja, Adiba tak pernah berpikir kalau ia akan bertemu lelaki itu secara langsung dan mewawancarainya di dalam sebuah acara televisi di Singapura. Selama ini, ia pun tak punya mimpi akan menjadi presenter di luar negeri. Rejeki membawanya ke sini dan juga bertemu lelaki itu secara tak sengaja. Ia senang tapi sedih juga dalam satu waktu ketika tau lelaki itu punya pacar beberapa bulan lalu. Namun nama pacarnya tak begitu dikenal. Tapi ternyata, mempunyai sederet prestasi juga. Adiba tentu saja sudah berkepo ria. Namun kini ia malah terlibat berita yang rumit dengan keduanya. Ia juga bingung kenapa ia tiba-tiba terbawa. Ia kan hanya memposting satu foto saat mewawancarai lelaki itu diakun Instagramnya. Lalu hanya beberapa kali mengobrol melalui pesan di i********:. Hanya sebatas itu tapi beritanya begitu heboh dengan banyak asumsi yang mengada-ada. Ia bahkan dibanding-bandingkan dengan cewek itu.
Cantik? Adiba cantik. Pacarnya si Adam apalagi. Yang jelas, Adiba kalah telak kalau dari sisi ini. Meski ada juga netizen yang membelanya. Lalu dibandingkan pula dengan latar belakang pendidikannya. Yaa sama. Ia dan cewek itu sama-sama lulusan kampus dalam negeri ternama. Tapi berbeda daerah. Adiba di Depok dan pacarnya si Adam di Yogyakarta. Lalu dibawa-bawa pula kerudung yang dikenakan Adiba. Ia disamakan dengan pelakor. Padahal Adiba tak berbuat apa-apa. Bahkan tak mengerti dengan apa yang telah terjadi. Namun semalam, Adiba sempat meladeni telepon dari pacarnya si Adam itu yang menanyakan hubungannya dengan Adam. Disitu Adiba hanya berbicara yang sejujurnya tapi tentu saja tak didengar. Yang ada, ia malah dihina cewek murahan karena mau merebut pacar orang. Padahal Adiba sama sekali tak mendekati Adam.
"Dibaaa?"
Suara Frasya muncul di seberang sana. Gadis itu sahabatnya dari kampus saat sarjana. Meski mereka berbeda jurusan.
"Iya, Frasya?"
"Kok bengong sih? Are you okay? Aku baca berita-berita itu."
Adiba mendengus. "Sebelum kamu menagih itu padaku. Ceritakan dulu bagaimana kamu bisa menikah dengan Kak Rafandra heh?!"
Frasya tertawa. Rafandra yang sedang duduk tak jauh darinya menoleh dengan kernyitan didahi.
"Temen aku, Kak. Adiba, yang beritanya lagi santer," bisik perempuan itu pada suaminya. Rafandra mengangguk-angguk. Ia tentu tahu. Apalagi Adam itu kan sahabat dekatnya juga.
"Heh! Gosipin aku ya? Iya kaaaan?"
Frasya tertawa.
"Ayooo ceritakan dulu bagaimana kamu bisa menikah dengan Kak Rafandra, Frasya!"
Frasya terkikik-kikik. "Lain kali aja soal itu, Dib. Nanti ku ceritakan. Sekarang tentangmu dulu deh. Aku dengar--"
"No! No! Kamu duluan, Frasya!"
Frasya tertawa. Akhirnya perempuan itu mengalah dan menceritakan semuanya sedari awal. Adiba mendengarnya dengan takjub. Lama tak bertemu Frasya dan tiba-tiba mendengarnya menikah dengan Rafandra tentu membuat kaget kan?
"Sekarang gantian kamu, Dib! Soalnya aku dengar dari Abang, Kak Adam katanya deketin kamu ya?"
Kening Adiba berkerut-kerut. "Abang?"
"Suami aku," tuturnya malu. Malu didengar Rafandra yang mengulum senyum.
"Oh," Adiba paham. "Kata siapa Kak Adam deketin aku?"
"Abang kan tadi aku udah bilang!"
"Maksud aku, Kak Rafandra dengar dari siapa?"
"Gosipnya begitu."
Heeeish! Adiba mendesis. "Itu hanya gosip!"
"Masa sih?"
"Iyaaaa!"
"Tapi, Diib. Temen-temennya Abang pada bilang begitu juga. Kalau Kak Adam deketin kamu gitu. Makanya aku tanya, itu bener atau enggak?"
Adiba ternganga mendengarnya. "Ih enggak!"
"Seriusan?"
"Iyaaaa! Aku tuh cuma DM-an aja sama dia. Gak lebih. Obrolannya pun hanya sebatas seseorang yang baru kenal sama seseorang yang nge-fans gitu, Fraa!"
"Begitu?"
"Iyaaaa! Masa aku bohong sih sama kamu?"
"Enggak. Aku gak nge-judge kamu gitu, tap--"
"Frasya, tidur."
Terdengar sayup-sayup suara Rafandra ditelepon. Adiba melirik jam di dinding. Di Singapore baru jam delapan malam tapi di London pasti sudah lebih malam.
"Aku udahin deh, Diib. Nanti aku telepon lagi yaa! Kamu standby looh! Jangan ilang-ilang! Kan aku mau cerita apa yang aku tauu!" tuturnya lantas tak lama...
Tuuut....tuuut....tuuuut....
@@@