Jodoh Pasti Bertamu : Part 4

2024 Words
Saat ini. "Dicoba dulunya. Jangan kau tolak-tolak kalau belum dicoba. Amak pun tak akan kasih kau kalau tak bagusnya!" "Zzzzzzzzzz!" "Iness!" "Zzzzzzzz!" "Inessa!" Tuuut tuuut tuuut Ia menghela nafas ketika teringat telepon semalam dengan Amaknya. Ia memijit kepalanya, tiba-tiba merasa pusing sekali. Ia berhenti sebentar lantas memilih duduk di dekat kursi tangga. Tadi lift apartemen di lobi begitu ramai. Berhubung ia sedang malas berdesak-desakan, ia naik saja dengan tangga. Tapi baru sampai di lantai lima, rasanya nyawanya mau melayang. Saking lelahnya. Ia menatap sejenak ke arah kaca gedung yang kebiruan itu. Di luar sana tentu begitu ramai meski tak sepadat Jakarta. Lalu lintas di sini tak begitu macet meski kendaraannya juga banyak. Omong-omong, ia sudah sebulan berada di Singapura karena ada kerjaan baru. Ia sudah keluar dari kedutaan. Kemudian mengambil kerja sebulanan di sini. Lalu ia akan berangkat ke Korea Selatan lusa nanti. Rencananya, akan bekerja di sana. Tapi ia akan melihat dulu bagaimana urusan wawancara nanti. Sebenarnya ia tak perlu berangkat ke Korea Sekatan hanya untuk wawancara. Tapi berhubung, ia berniat berjalan-jalan jadi yaaa sekalian saja lah. Ia juga belum pernah ke sana. Gara-gara VISA-nya lama keluar saat itu dan ia sudah keburu berangkat ke Jepang. Kejadian itu rasanya sudah lama sekali. Dikala ia masih kuliah. Aaah ia jadi kangen masa-masa kuliahnya di mana tak ada yang akan bertanya, kapan menikah atau udah ada calonnya? Ia pusing dan terkadang bisa tersinggung hanya karena pertanyaan sesepele itu. Ia sudah muak dengan semua pertanyaan itu. Kadang ia juga bertanya-tanya. Apa orang-orang harus menanyakan hal itu? Apa tak ada hal lain yang bisa ditanyakan? Misalnya apa kabarnya? Bagaimana pekerjaannya? Kenapa harus selalu menanyakan hal sesensitif itu. Hal yang kadang membuatnya memaki dalam hati. Ia juga manusia. Memangnya manusia tidak boleh memaki? Ines menarik nafas panjang lantas melanjutkan langkah. Begitu melihat lift kosong di lantai itu, ia segera naik. Sebulanan ini pun ia menumpang di apartemen kakak sepupunya. Eh ternyata satu gedung apartemen dengan sahabat lamanya dimasa kuliah, Adiba yang sekarang ia lihat kabarnya sudah menjadi presenter hebat. Bahkan satu minggu yang lalu berpapasan dengannya ketika ia baru keluar dari apartemen milik kakak sepupunya. Kali ini, ia malah bertemu ketika hendak masuk. Pintu apartemen Adiba terbuka dan menyuruhnya untuk masuk. Sudah lama tak mengobrol, begitu katanya. Biasanya lebih banyak disambung lewat telepon. Tapi beberapa bulan belakangan, dengan kesibukan masing-masing sudah jarang sekali berkomunikasi. Iness mengiyakan tapi ia perlu mandi dulu. Satu jam kemudian, ia sudah masuk ke apartemen Adiba yang menurutmu sangat besar. Ya lah, pikirnya. Penghasilan Adiba pasti jauh lebih besar darinya. Dan lagi, Iness pernah mendengar gosipnya di kampus kalau Adiba ini keturunan keluarga sultan. Entah sultan mana, Iness tak tahu. "Nyokap lu asal nerima lamaran anak orang?" pasti Adiba. Lantas ia tertawa melihat muka nelangsa milik Iness. Apalagi gadis itu mengangguk lesu. "Serba bingung gueeeee....," keluhnya lantas menarik nafas dalam dengan menyedihkan. Amaknya ini, menurutnya, terima-terima saja lamaran orang padahal belum tentu ia suka. Dan Iness mengira, itu karena Amaknya suka mendengar omongan orang-orang yang terus bertanya tentang kapan ia menikah. Kalau terus diladeni juga tak akan ada habisnya. Lagi pula, memangnya Iness tak punya pikiran sama sekali ke sana? HAH? HAH? HAH?! Rasanya ia ingin sekali memaki ornag-prang itu dengan bahasa Batak. "Bingungnya kenapa?" "Tuh orang kan baik, soleh juga katanya. Calon-calon mapan gitu deeh, kan dokter tuh. Teruuus gue tuh kayak dipaksa-paksa orangtua buat nerimaa!" serunya bercerita dengan menampilkan muka semenyedihkan mungkin. Adiba terkekeh. Merasa lucu dengan raut wajahnya. "Kan gue gak maaauu!" serunya bahkan bulu kuduknya merinding membayangkan kalau ia menerima tawaran lamaran itu dengan asal. "Terus?" "Orangtua gue bilang, gak boleh nolak karena menurut mereka, itu cowok agamanya baik!" Adiba terkekeh. Ia jadi tertarik dengan masalah ini. Sudah jarang berkomunikasi dengan Iness, tiba-tiba malah mendapat cerita semacam ini yang menurutnya lucu. "Lalu?" "Masalahnyaaaaaa...." Adiba terbahak. Ia sudah bisa menangkap apa permasalahannya. "Lo gak suka?" tebaknya dan Iness malah berhuhu ria. Membenarkan tebakan Adiba itu. "Alasannya?" Gadis itu malah diam. Ia menatap Adiba secara dalam. Hal yang kemudian membuat Adiba terbahak. Adiba menyadari apa alasannya. Pasti gak jauh-jauh dari... "Cowoknya jelek yaaaa?" ledeknya dan Iness malah berpura-pura menangis. Adiba terbahak makin kencang. "Seberapa jelek?" "Jelek banget deeh!" ceplosnya yang membuat Adiba kembali terbahak. "Eh! Astagfirullah, Dib!" serunya kemudian sambil mengelus d**a. "Gue bukannya mau ngatain dia tapi emang kenyataannya begitu," jujurnya. Adiba geleng-geleng kepala dengan kekehan kecil. "Manusiawi kali, Ness. Kan setiap orang punya referensi ketertarikan yang berbeda-beda. Kalau lo gak suka sama dia, ya itu kan hak lo." Iness agak berlega hati meski hanya sedikit. Faktanya, ia lebih khawatir dihina orang yang mungkin akan bilang 'ia sombong' atau 'sok kecakepan' dan lainnya hanya gara-gara hal semacam ini. Tapi itu lah kejamnya dunia. Kalau posisi ini dibalik dan mereka yang mengalami, Iness yakin seratus persen, mereka yang menghinanya seperti itu juga pasti menolak. Iya kan? Jangan malu-malu deh. Pasti maunya mencari yang gantengan dikit juga kan? Kalau Adiba sih memang tidak mencari yang gantengan banget tapi kembali tadi pada kata 'ketertarikan'. "Tapi, Dib, masa gue nolak terus bilangnya karena dia jelek?" Adiba terkikik-kikik. "Lah? Emang bener kan?" Iness mendengus. "Kesannya gue kayak sombong banget gitu jadi manusia. Sok kecakepan. Padahal cewek juga banyak yang lebih cakep dari gue!" Adiba menjitak kepalanya sedangkan Iness terbahak. Narsisnya keluar deh. "Terus mau gimana lagi? Masa mau lo terima meski gak suka? Pernikahan gak sesepele itu loh, Ness. Mungkin ada cewek yang mau-mau aja sama cowoknya, mau tampangnya kayak apa juga tapi gak semua cewek kayak gitu." "Contohnya gue gitu maksud lo?" Adiba terkekeh. "Gue juga keleus. Dan gue rasa itu wajar. Kita menolak karena dia jelek bukan berarti kita merasa sok kecakepan gitu kan? Tapi ya tadi, seperti yang gue bilang kalau masing-masing orang punya referensi ketertarikan. Dan sialnya, cowok itu gak masuk ke dalam kriteria yang lo pengenin!" Iness mengangguk-angguk. "Keluarga besar gue juga beranggapan seperti itu." "Seperti apa?" "Si Iness pasti nolak tuh karena tampangnya jelek!" tuturnya yang menirukan kata-kata yang dilontarkan para Tantenya juga sepupu-sepupunya. Kakak sepupunya bahkan terus meledeknya karena perihal tawaran lamaran ini. Adiba terkikik-kikik geli. "Kalau mereka yang dilamar juga belum tentu mau nerima, Ness. Dan alasannya juga mungkin gak beda jauh dengan lo. Persoalan fisik." "Tapi entah kenapa, gue merasa dengan membawa persoalan fisik dalam kriteria mencari jodoh ini sebagai streotip yang negatif. Padahal seperti yang lo bilang tadi, kalau masing-masing orang punya referensi yang berbeda. Meski, di dalam Islam sendiri menyebutkan kalau yang harusnya menjadi pertimbangan utama itu adalah agamanya." Adiba mengangguk-angguk. "Agama memang utama sih," tuturnya kemudian menghela nafas. "Lo pernah dengar cerita dari zamannya Rasullullah tentang Tsabit bin Qais bin Syammas?" Iness menggeleng. Ia bahkan baru mendengar nama itu. "Dia ditolak istri yang baru dinikahinya. Alasan istrinya menolak karena tidak nyaman dengan fisik Tsabit yang jelek. Istrinya ini mengaku takut menjadi kufur karena tidak bisa menunaikan hak suami. Sehingga Nabi pun menyuruhnya mengembalikan mahar dan Tsabit diminta menjatuhkan talak." Iness terdiam menyimak. Sementara Adiba menatapnya dengan serius. "Mungkin orang-orang di luar sana menganggap sama seperti apa yang ada di kepala lo itu. Tentang persoalan fisik seseorang ini. Tentang yang seolah-olah lo pilih-pilih hanya karena fisik. Tapi," ia menghela nafas. "Ridho atas kondisi fisik pasangan ini memang sangat penting, Ness. Karena mempengaruhi kualitas ibadah jama’i pasutri. Makanya dalam Islam ketika khitbah ada sesi lihat-lihatan antara kedua calon sekalipun yang ceweknya pakai cadar. Biar nggak zonk gitu lihat calonnya. Nanti kalau zonk kan pasti menyesal pas udah nikah. Kan brabe urusannya." Iness menarik nafas dalam. "Jadi gue gak salah menolak dia dengan alasan itu?" Adiba tersenyum kecil. "Lantas lo mau memaksakan diri?" Iness menggeleng kecil. Memikirkannya saja, Iness kesulitan. Apalagi kalau ingat wajahnya. Duh ya Allah, keluhnya. Lagi-lagi ia bukannya merasa sombong dengan fisik yang ia miliki. Tapi apa iya, ia harus menerima semua lamaran yang datang? Enggak kan? "Ness, di dalam pernikahan itu juga ada yang namanya keikhlasan. Pernikahan kan termasuk ibadah. Jadi seharusnya dijalani dengan ikhlas. Kalau sejak awal, lo aja gak ikhlas menerima fisiknya, gimana bisa lo ikhlas menerima hal-hal selanjutnya? Gimana lo akan ikhlas melayani dia?" Iness terdiam lagi. Ia sungguh paham tentang hal ini. Namun karena sedang mengalaminya, ia kadang merasa agak terpojok oleh kata-kata orang lain. Karena kadang orang lain suka sekali berkomentar tentang hidup kita kan? Padahal hidup kita itu ya kita yang jalani. Meski ingin sekali membuang kata-kata orang dari pikiran, tapi ternyata sulit. "Ketertarikan itu penting, Ness. Kan gak mungkin, pas bangun tidur terus lo ngeliat dia dan kaget terus bikin lo pengen muntah gitu?" Iness terbahak. Ia tak sejahat apa yang dikatakan Adiba tentu saja. Adiba terlalu jahat dalam menggunakan kata-kata kiasan. "Lagian, Ness, pasti ada kok nantinya. Satu lelaki yang baik agamanya, mungkin juga mapan, bisa membuat lo tertarik dan dia datang untuk melamar elo diwaktu yang tepat. Diwaktu tepat loh yang gue bilang. Karena kan hanya Allah yang tahu kapan waktu yang tepat itu datang. Jadi bersabar aja. Sabar yang gak hanya buat lo pastinya juga gue yang juga menanti pangeran surga yang didambakan. Jangan sampai hanya karena menolak satu lelaki lantas lo merasa buruk dengan segalanya. Percaya deh, barang kali Allah juga sedang menguji tentang kriteria yang kita buat sendiri tentang jodoh kita. Sementara Allah sudah punya skenario sendiri pula tentang jodoh untuk kita. Yang pasti, apapun yang menjadi skenario Allah itu sudah pasti yang terbaik." Iness tersenyum kecil. Ini nih yang ia tunggu sedari tadi. Sedari dulu, Adiba memang orang yang bijak dalam menyikapi semua masalah. Walau, mungkin itu hanya penilaian Iness saja dan bisa jadi, penilaiannya juga bias. @@@ "Iness gak mau pokoknya! Kalau Amak mau terima lamarannya, Amak saja yang menikah dengannya. Bukan Iness. Karena kan Amak yang menerima lamarannya!" kesalnya lantas sebelum Amaknya menyangkal, ia mematikan telepon. Kakak sepupunya terkikik-kikik melihat aksinya. Iness baru saja melempar ponselnya ke atas tempat tidur. Sementara ia masih menepuk-nepuk baju-bajunya yang baru saja selesai ia masukan ke dalam koper. "Udah diterima lamarannya?" tanya kakak sepupunya itu. Iness menghela nafas panjang. Sebetulnya hampir diterima. Ayahnya sih jelas-jelas tak setuju karena tahu jika Iness menolak. Tapi Amaknya beranggapan lain. Dan kini, Iness semakin tegas menolak karena ia memang tak sanggup menerima lelaki itu. Barangkali ada perempuan lain yang mau menerimanya yaaa silah kan. Iness tak ada urusannya dengan itu. Lagi pula, meskipun ia terus dikejar-kejar, ia sebetulnya agak kasihan dengan kakak sepupunya ini. Perempuan mandiri ini lama sekali merantau ke Singapura. Punya pendidikan tinggi juga pekerjaan yang sudah mumpuni. Kalau ditanya persoalan fisik, ia pun cantik. Tapi jodohnya belum datang hingga usia 38 tahun ini. Di keluarga besar mereka, selalu menjadi bahan pembicaraan utama setiap berkumpul. Tapi Iness sudah lama tak mendengar ada satu orang pun dari keluarga besarnya yang bertanya, kapan menikah? Iness menghela nafas. Ya, benar lah jika jodoh itu hanya Allah yang tahu. Ia ingat sekali tahun kemarin, ketika pulang ia kaget jika anak dari tetangganya akhirnya menikah setelah usia 42 tahun. Perempuan itu sudah sukses menjadi dosen. Bahkan kuliah hingga S3. Tapi baru bertemu suami diusia itu. Yaa, Iness tentu tak mau menikah diusia seperti itu karena susah kalau ingin hamil. Selain susah, resikonya juga tinggi. Ia juga inginnya menikah maksimal ya tahun depan, diusianya yang ke 28 tahun. Tapi rasanya, hilalnya belum terlihat sama sekali. Masih gelap. "Gak salah kan Unni, kalau Iness menolak?" Kakak sepupunya itu terkekeh. Perempuan itu duduk di depan laptop dengan mengenakan kacamata anti radiasinya. "Setiap orang punya pilihan, Iness." Iness menghela nafas. "Iness cuma gak mau hanya karena usia Iness, membuat Iness harus menerima semua lamaran lelaki." Kakak sepupunya tersenyum tipis. Ia juga dulu tersentil dengan kata umur. Tapi sekarang? Ya masih. Tapi bedanya, ia sudah tak mau memikirkannya lagi. Kadang juga pasrah dengan keadaan ini. Yaa, siapa sih yang tak mau punya pasangan? "Pegang saja prinsipnya Iness. Allah tau apa yang terbaik untuk hamba-Nya," hiburnya yang juga sedang menghibur diri sendiri. Iness paham sih perasaannya. Kadang pasti merasa insecure hanya karena belum menikah. Padahal diakhirat nanti, status pernikahan tidak akan ditanya. Yang ditanya adalah amal. Iya kan? @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD