Jodoh Pasti Bertamu : Part 3

2025 Words
Masih setahun lalu. Terlalu lelah. Hari ini, tenaga Iness terkuras habis. Kebetulan, ia punya pekerjaan sampingan di sebuah kementerian dan bertugas menjadi penerjemah karena tamu yang datang dari Jerman. Ada beberapa dari mereka yang tidak begitu lancar menggunakan bahasa Inggris, jadi ia diundang khusus ke sana. Kini, menjelang jam lima sore, ia baru benar-benar bisa keluar dari gedung kementerian itu. Iness berjalan lunglai menuju halte busway. Perjalanan dari sini ke apartemennya lumayan memakan waktu, sekitar tiga jam. Maklum lah ya, ini kan jam pulang kerja. Pastinya akan macet habis-habisan. Apalagi arah tujuan pulangnya menuju area Sudirman. Ia baru hendak duduk saat satu busway tiba. Mumpung belum terlalu penuh, ia langsung masuk kemudian memperbaiki posisi tasnya dari belakang ke depan. Tangannya menggantung di gantungan busway seraya menatap ke arah jalanan yang mulai ramai. Ini masih jam lima kurang lima menit. Setidaknya, ia masih beruntung karena tidak perlu mengantri lama di busway. Biasanya, akan sangat lama. Bahkan bisa satu jam untuk bisa masuk ke dalam busway. Iness mengamati isi Jakarta sore ini yang selalu padat. Kendaraan bermotor mulai memadati jalanan. Beberapa ada yang mengikuti busway dari belakang padahal jelas jika jalur busway itu yaa hanya khusus busway. Tidak boleh digunakan oleh jenis kendaraan lain. Tapi begitu lah manusia. Kadang peraturan dibuat untuk dilanggar bagi mereka. Setengah jam kemudian, seorang lelaki masuk. Ia tak sengaja melihat sosok Iness yang tampak bengong menatap jalanan di sampingnya. Ketika ia menepuk bahunya, gadis itu terkaget hingga spontan menampar bahunya. Ia tertawa. "Abis dari mana lo?" tanyanya. Ia tahu kalau tidak seharunya Iness sudah naik ke busway menilik halte biasa di mana Iness naik dan turun itu bukan di sini. "Kementerian." Hanya itu jawabannya tapi ia tahu itu artinya kalau Iness punya kerjaan lain. Ia menatap Iness lantas berdeham. Sejujurnya, ia pernah suka pada Iness saat awal perkuliahan dulu. Tapi kemudian, rasa tertarik itu berpindah pada perempuan lain yang hingga kini masih menjadi pacarnya. "Seriusan lo gak mau sama Abizard?" ungkitnya lagi. Iness sudah bosan mendengarnya hingga matanya juling. Hal itu membuat Arya terbahak hingga terbatuk-batuk. Kemudian berkahir dengan minta maaf pada orang-orang yang mulai menatapnya. Ia membungkukan badan berkali-kali. "Kenapa? Dia anaknya baik sebetulnya. Cuma keliahatannya agak playboy aja." Ia sih tidak dalam rangka ingin membantu Abizard agar Iness mau menerimanya. Tapi berhubung tak ada topik lain yang bisa ia bicarakan jadi akhirnya, ia malah membicarakan hal ini. "Gak tertarik." Arya terkekeh. Ia geleng-geleng kepala. "Cewek-cewek lain ngantri buat dia." Iness tahu. Ia sudah tahu lama kalau cowok itu memang digandrungi banyak cewek. Tapi ia sama sekali tak berniat. Ia mencari yang ganteng? Gak juga. Baginya tampang itu nomor ke sekian. Ia mencari yang soleh? Itu sudah pasti. Bertanggung jawab? Sangat. Karena lelaki adalah pemimpin dan juga tulang punggung keluarga. Tapi ia punya kriteria lain selain itu. Apa? Ketertarikan. Sekalipun cowok itu ganteng, mapan dan soleh pun kalau tidak dapat menarik hatinya sih bye aja. Untuk apa melanjutkan sesuatu yang menurutnya, akan membuang waktu? Lebih baik fokus pada hal lain, seperti pekerjaan juga rencana-rencana masa depan yang ingin ia wujudkan. Arya tersenyum tipis. "Kalo cinta gak memandang tampang juga kemapanan, lantas lo memandang apa?" Iness menghela nafas. "Bahkan usia gue masih 25 tahun, Yak. Berhenti recokin gue persoalan jodoh-jodohan ini." Arya terkikik-kikik. "Ada banyak cewek yang diusia itu sudah menikah dan punya anak." "Lo gak bisa samain semua cewek," dengusnya. Ia sebal kalau dibanding-bandingkan. Setiap orang memiliki perjalanan hidup yang berbeda. Mungkin ada yang diusianya memang sudah menikah, ada pula yang belum dan sama sepertinya. Tapi apa pun itu, menurutnya yang paling penting adalah bagaimana membuat hidup ini lebih bermakna dan mengisinya dengan cinta pada-Nya. Bukan hanya pada dia yang juga manusia. Iness sadar betul jika yang paling ia butuhkan adalah hidup adalah Allah. Dan barangkali, dengan kesendiriannya saat ini, Allah menginginkannya untuk fokus mengerjab-erjabkan cinta-Nya. Toh kalau kita mencintai-Nya, insya Allah tidak akan rugi dunia-akhirat. Karena hidup yang diberkahi dengan cinta kepada-Nya, sekalipun tampak menderita tapi sangat bahagia dan selalu merasa cukup. "Setiap orang punya kisah yang berbeda." "I know. Gue cuma mengingatkan aja," tutur Arya. Iness hanya berdeham. Ia cukup berterima kasih akan keperdulian Arya pada hidupnya. Iness mengehela nafas. Kalau ditanya, apakah saat ini ia berniat untuk menikah? Tentu berniat. Tapi belum bertekad kuat amat karena apa? Entah lah. Ia hanya belum menemukan satu lelaki yang membuatnya tertarik. Selain itu, ia memang masih ingin mengembangkan karir juga tabungannya. @@@ Ia masih teringat kala terakhir Arya menepuk-nepuk bahunya. Menguatkannya agar tak terlalu patah hati meski itu sudah terlanjur. Mana mungkin ia bisa menahan atau bahkan mencegah hatinya agar tak patah hati? Iya kan? Kali ini, ia memberesi beberapa pakaiannya. Ia akan kembali ke Jepang untuk melanjutkan pekerjaannya di sana. Ditahun ini pun, ia masih gagal membawa pasangan halal untuk menemaninya bekerja di Jepang. Hihihi. Tadinya, jika Iness bersedia menerima tawarannya, ia bersedia untuk dinutasi ke Turki. Ia rela-rela aaja jika begitu ceritanya. Tapi sayangnya, jauh panggang dari api? Yeah, anggap saja ini pelecut diri untuk menjadi orang yabg lebih baik. Bukan untuk mendapatkan seseorang yang baik tapi untuk Allah. Haaah iya Allah. Ia baru teringat lantas berjalan menuju lemari bukunya. Ia membukanya dan mengamati satu per satu buku-buku yang berjejeran hingga ia menemukan satu di antaranya yang hampir tak pernah lagi dunia sejak...? Ia berpikir. Sejak kecil? Seingatnya dulu ia masih sering menggunakannya ketika harus datang ke masjid. SD? Ia juga ingat kalau masih sering membawanya karena ada pelajaran yang mengharuskannya membawa itu. SMP? Masih sama seperti SD meski kuantitasnya berkurang. SMA? Ia tampak berpikir. Sepertinya ia juga pernah membawanya beberapa kali ketika ada acara di sekolah. Kuliah? Ia mengerutkan kening. Rasanya tak pernah sekalipun ia membawanya ke kampus. Apalagi sekarang. Bahkan ketika ia pergi ke negara mana pun, ia tak pernah membawanya. Apa yang tak pernah ia bawa itu? Al-Quran. Ia mengambilnya lantas mengelusnya dan membukanya secara pelan. Ada perasaan rindu yang tiba-tiba menyusup ke dalam hatinya yang sepi. Dan ia tak pernah menyangka jika itu akan terjadi hari ini. Apalagi setelahnya, kakinya melemas dan perlahan, menjatuhkan diri di lantai hingga lututnya menyentuh lantai kemudian tergugu sambil memeluk Al-Quran. Sudah berapa lama ia tidak membacanya? Rasanya sudah bertahun-tahun. Lima tahun? Enam tahun? TUJUH TAHUN? Yaaa kira-kira memang selama itu. Lantas ke mana saja ia selama ini? Tidak ke mana-mana. Ia masih di bumi dengan beragam kesibukan dan rejeki yang terus lancar. Kadang mungkin ada yang merasa tidak adil. Karena ada yabg hidupnya jauh dari Allah, tapi hidupnya tampak dipermudah. Seperti Abizard. Ia terlahir dari keluarga yang mapan. Mau sekolah di mana pun, tak akan menjadi permasalahan bagi orangtuanya karena mampu-mampu saja menanggungnya. Begitu lulus, ia langsung mendapatkan pekerjaan yang semua orang ingin kan dengan gaji yang tidak main-main. Banyak perempuan mengantri ingin menjadi kekasihnya. Pergi dan pulang kantor baik di Indonesia maupun di liar negeri, ada mobil yang ia kendarai atau kadang ada sopir yang mengantar. Hidupnya tak pernah susah tapi ia jauh dari Tuhannya. Barangkali ini lah yang dinamakan ujian. Ujian bagi orang-orang yang hidupnya terlihat bahagia dan apa-apa serba ada tapi dibuat lupa bahwa ada kehidupan akhirat setelah dunia. Lupa bersyukur kalau itu semua hanya lah titipan dari-Nya. Lupa kalau secuil harta itu tak satu pun yang menjadi miliknya. Ia termenung menatap langit cerah dari balkon. Ia masih terpukul dengan keadaan dirinya selama ini. Ketika ada masalah, yang pertama ia cari adalah temannya bukan Tuhannya. Padahal seharusnya ia semakin mendekatkan diri baik dengan masalah atau pun tidak. Tapi masih tidak terlambat bukan? Setidaknya, dengan kesadarannya hari ini, membawanya ke dalam rencana-rencana hidup baru yang hendak ia bangun. Ia memperbaharui semua rencana hidupnya. Akhirnya menyadari kalau ada yang kurang dalam hidupnya. Apa? Allah. Ia lupa melibatkan Tuhan dalam semua rencana hidupnya. Ia merasa terlalu sempurna padahal bukan apa-apa. Bahkan ia sangat lah kecil sebagai seorang hamba yang tak punya apa-apa. "Kak Abi!" teriak adik perempuannya. Gadis kecil itu masih berusia sepuluh tahun. Ia hampir menjadi anak bungsu andai gadis kecil ini tidak lahir ke dunia. Ia menoleh dengan sebelah alis terangkat. "Ada Papa," tuturnya lantas keluar lagi dari kamarnya. Abizard menghela nafas lantas segera beranjak dari bangkunya. Begitu membuka pintu kamar, ia sudah mendengar keriuhan mamanya yang sedang menggendong bayi. Ia bergerak turun sementara Papanya sudah tersenyum lebar. Ia adalah anak laki-laki satunya lelaki itu. Dan lelaki yabg ia panggil sebagai Papa itu selalu bangga dengan pesatnya pertumbuhannya saat ini. Ia sukses menjadi manajer yang kerjaannya pindah-pindah negara. Abizard hendak menyalami tapi malah dibawa ke dalam pelukan okeh Papanya. Omong-omong Papanya tinggal di Bandung bersama ibu sambungnya. Sementara ia ikut Mamanya yang tinggal di Jakarta dan masih sibuk sendiri tanpa berniat menikah lagi. Tujuh tahun lalu keduanya berpisah setelah bertengkar hebat. Awalnya Abizard tak tahu apa-apa. Ia hanya menyalahkan Mamanya yang terlalu sibuk bekerja dan lupa mengurus anak sehingga hanya Papanya yang mengurusnya, mengurus kakak perempuannya yang saat ini sudah menikah juga mengurus adik kecilnya yang waktu itu bahkan baru berusia dua tahun. Selama hampir delapan belas tahun hidupnya bahagia dengan keluarga yang utuh. Hingga tiba-tiba di suatu malam, ia menjadi saksi pertengkaran kedua orangtuanya. Ia baru tahu kalau sudah setahun Papanya di PHK dan hanya Mamanya yang membanting tulang untuk keluarga. Setelah bertahun-tahun setelah itu, ia baru tahu alasan Mamanya menceraikan Papanya. Memang faktor utamanya adalah faktor ekonomi. Tapi yang selalu ia ingat adalah... "Laki-laki harus bekerja keras Abizard. Jangan menumpangkan hidupmu pada perempuan. Karena tugasmu lah yang mencari nafkah bukan perempuan." Beberapa bulan setelah perceraian, ia memang memilih untuk ikut Papanya. Tapi kemudian pengadilan memutuskan agar semua anak ikut mamanya karena dianggap lebih bisa menghidupinya. Ia awalnya menolak dan masih bersikeras hidup dengan Papanya. Setelah merasakannya selama tiga bulan dan ia hidup menderita, ia kembali pada Mamanya. Bukannya ia tak sayang pada Papanya. Tapi keadaannya saat itu memang tak memungkinkan. Apalagi Mamanya merajuk dan tak akan mau membayar uang kuliahnya kalau tidak tinggal bersama. Dan Papanya sedari awal memang sudah membujuknya untuk tinggal bersama mantan istri. Ia tentu tak mau anaknya menderita bukan? Bertahun-tahun terpisah. Akhirnya Abizard kembali bertemu dengan Papanya tepat diwisuda perkuliahannya. Hal yang sangat membuatnya terharu kala itu. Walau keadaannya sudah tak sama dan Papanya juga membawa perempuan yang kini turut ia salami dan ia hormati. "Kapan kamu kembali ke Jepang?" tanya Papanya usai berpisah dengan para perempuan yang heboh dengan adik sambungnya yang kedua. Semua saudaranya memang perempuan. Sementara ia dan Papanya sibuk bernostalgia cerita lama. Ketika ia masih sangat kecil dan belum mengerti apa-apa tentang hidup. @@@ "Amak cari kan, kau yang gak mau. Gak Amak cari kan, kau gak cari-cari." Diam-diam, Iness menahan tawanya. Ia sedang memberesi baju-bajunya. Ia hendak kabur sebentar untuk menenangkan diri dari kepenatan karena terus dibombardir untuk mencari pendamping oleh Amaknya. Itu karena sahabat-sahabatnya sudah menikah san hanya ia yang belum menikah. Ia sih selalu bersilat lidah kalau masih betah sendiri padahal......ia belum mencari. Dan bukannya tak mau mencari, ia bingung harus mencari ke mana perihal jodoh ini. Mencari jodoh tidak sama dengan mencari baju. Iya kan? Dan mencari baju terasa lebih mudah dibanding mencari jodoh. "Iness bukannya gak mau cari Amak. Tapi satu pun lelaki tak kelihatan," jawabnya dengan logat Padang bercampur Batak. Aah, ia memang turunan Batak-Padang. Tapi logatnya telah lama hilang kecuali bicara dengan Amaknya. Amaknya terdengar lucu sekali kalau sudah mengomel-omel dengan nada Batak seperti ini. Ia bisa membayangkan wajah Batak Amaknya dengan alis yang naik-turun karena kesal memikirkannya. Hihihi. "Alasan kau lah itu. Cari-cari terus alasan!" Iness hampir menyemburkan tawanya. Ia membungkam mulutnya kuat-kuat. "Amak niiih! Cari jodoh bukan kayak cari bunga banknya, bisa pilih-pilih karena memang pilihannya banyak. Lah kalau lelaki? Tak satu pun bisa Iness pilih bukan karena Iness tak mau. Tapi kan tadi Iness dah bilang kalau tak kelihatan hilalnya!" cerocosnya lantas terbahak saat mendengar Amaknya mengomel dalam bahasa Batak. Ia bukannya tak mau mencari jodoh. Ada banyak lelaki yang mungkin mendekat. Beberapa berani datang itu memang serius. Tapi, mengucapkan kata ya pada setiap lamaran yang datang itu rasanya tidak etis kalau tidak melibatkan hati. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD