Jodoh Pasti Bertamu : Part 5

2036 Words
"Iness kapan?" "Kapan ngundang? "Ness, udah ada?" Iness hanya tersenyum getir mengingat beragam pertanyaan sejenis yang dilontarkan semua orang yang mengenalnya kala menghadiri pernikahan sahabatnya sedari kecil di kampung halaman. Ia sempat pulang ke Padang sebelum akhirnya berangkat ke Korea Selatan. Tak enak hati pada sahabat kecilnya kalau sampai tak datang di acara pernikahannya. Jadi apa boleh buat lah, ia datang meski begitu pulang ia kesal setengah mati hingga menangis. Oke, selama ini Iness memang tak terlalu serius membicarakan pernikahan. Tapi, bukan berarti ia tak punya pemikiran ke arah sana. Ia juga ingin menikah. Namun akhir-akhir ini ia merasa jengah dan marah sekali dengan beragam pertanyaan ini. Apa tak ada pertanyaan lain yang bisa ditanya? Apa hanya itu satu-satunya yang paling pantas untuk ditanyakan. Seolah-olah hidup hanya untuk menikah? Oke, mungkin itu sudut pandangnya karena belum menikah. Kalau sudah menikah, sudut pandang mereka juga pasti berbeda dengan Iness. Misalnya, dengan kata-kata di bawah ini yang terus terngiang-ngiang dikepalanya. "Kamu itu harusnya belajar membuka hati, Nes. Gak boleh asal menolak apalagi kalau orang yang datang melamar itu baik." "Nes, perasaan itu nomor ke sekian. Yang utama itu adalah agama. Cinta bisa datang kok setelah pernikahan." "Nes, nanti juga lama-lama suka sama cowoknya. Percaya deh, nikah aja dulu, cinta kemudian." "Kamu mau nikah kapan sih, Nes? Nanti keburu tua loh. Kalo udah tua, nanti susah dapat anak, Nes." Iness mendengus keras. Rasanya benar-benar ingin memaki. Ditanya 'kapan nikah?' saja ia bisa naik pitam. Yaa, mungkin bagi orang lain, itu permasalahan sepele. Tapi bagi perempuan dengan kondisi seperti Iness? Apa tidak bisa sedikit saja bermurah hati untuk tak menanyakan hal sesensitif itu? Karena pertanyaan itu mungkin terdengar sederhana tapi efeknya luar biasa. Maka itu, Iness hanya bungkam. Percuma membalas, tak akan ada ujungnya dan tak akan pernah bisa menang. "Rasanya pengen banget aku cekik satu-satu orang yang suka nanya kayak begitu. Emangnya dikira, hidup cuma buat nikah aja? Abis nikah udah gitu?" sebalnya. Saking emosinya sudah memuncak, ia sampai mengomel-ngomel pada Fara yang tak bersalah. Begitu mengangkat telepon dari Iness, ia juga bingung karena Iness langsung menyerocos panjang-lebar saking marahnya sama orang-orang itu tapi semua emosi itu terpendam. "Kalo belum ada jodohnya mau gimana lagi, Ness? Masa maksa-maksa sama Allah sih? Kan gak gitu caranya. Udah lah, Nes. Jangan terlalu dipikirin ucapan orang-orang itu. Mereka kan cuma menilai hidup kita dari luar. Mereka gak pernah tahu apa yang terjadi di dalamnya. Kalau mereka jadi kamu, mereka juga akan emosi kok, Nes. Kalo mereka belum menikah juga sama pastinya. Mereka bisa santai ngomong begitu karena mereka berpikir posisinya udah aman dengan udah menikah diusia yang terbilang gak tua-tua amat begitu. Lagi pula, usia 26 tahun menjelang 27 tahun itu gak tua kok, Ness. Anggapan masyarakat yang selalu mematok hal-hal semacam itu. Padahal sama Allah kan gak begitu. Persoalan mati aja, Allah gak memandang usianya berapa. Mau tua atau muda bahkan yang belum lahir pun bisa saja mati kalau takdirnya sudah dituliskan begitu. Sama juga dengan perkara jodoh ini. Usia menikah saat muda juga belum menjamin benar-benar berjodoh hingga akhirat kok. Semua akan sama. Ini kan hanya persoalan waktu aja. Barangkali, Allah udah siapin jodoh untuk kita tapi kepengen kita lebih dekat sama Allah begitu atau mungkin nyenengin orangtua dulu kan gak ada salahnya. Setiap orang punya perjalanan hidup yang berbeda. Tak bisa disamakan semua." Iness menghela nafas. Fara ada benarnya. Ia diusia ini sudah mendapat kerja. Bahkan dengan pendapatannya yang kerja keras ini-itu selama bertahun-tahun berhasil membiayai haji kedua orangtuanya. Ia bahkan baru 26 tahun tapi dengan perjuangan sekeras ini bukan kah itu kece? Ia tak mencoba membandingkan dengan sahabat-sahabatnya yang sudah menikah. Tapi mungkin jalurnya memang berbeda. Ada yang sudah menikah, dari usai kuliah hingga sekarang tak pernah bekerja karena tak kunjung mendapat pekerjaan. Mungkin belum bisa membahagiakan orangtua dengan uang tapi dengan menikah. Ya, anggap saja itu jalurnya untuk membahagiakan orangtua. Sementara ia memilih untuk menyisihkan tabungannya demi memberangkatkan kedua orangtua untuk naik haji. Hatinya hanya menghibur. Ia juga tidak lebih baik. Tapi setidaknya, ia sempat membalas budi dengan uang yang didapatnya. Dan berkat itu pula, perjalanan pekerjaannya begitu lancar kan? Kini bahkan ditawarkan untuk bekerja di Korea Selatan dengan gaji yang fantantis. Tidak menggunakan jam kerja kantoran. Ia bisa bekerja santai di mana saja sambil berjalan ke mana saja. Itu anggap saja hadiah Allah untuknya yang masih sendiri. Mungkin kalau ia sudah menikah, ia tak akan bisa seperti ini. Seperti dititik ini. Barangkali memang ini hikmah untuk hidupnya. Dan dikala hidupnya yang seperti ini dipandang oleh orang lain, mereka yang telah menikah juga pasti iri dengan kehidupannya. Pasti ada rasa ingin berjalan-jalan seperti Iness. Tapi mungkin tidak seberuntung Iness rejekinya, sehingga harus menahan diri karena ada kebutuhan rumah tangga yang harus dipenuhi. Kalau Iness kan hanya berpikir tentang diri sendiri dan orangtua saja. "Lagi pula, Iness keren loh. Udah jalan ke mana-mana. Rejeki ngalir dan lancar. Mungkin yang menikah juga iri sama Iness karena mereka susah ke mana-mana. Mungkin susah juga rejekinya. Kalau pun ada, mungkin rempong karena anak-anak. Iya kan? Jadi, gak perlu khawatir, Iness. Yang menikah juga belum tentu sudah baik keadaannya. Belum tentu selalu bahagia. Jangan terlalu pikir kan omongan orang itu. Mereka hanya julid saja. Mungkin mulutnya memang sudah disetir seperti itu. Jadi biar kan saja anjing menggonggong, kafilah berlalu. Semua akan mati pada waktunya. Itu yang seharusnya lebih dipikirkan." Iness menarik nafas dalam. Ya, Fara benar lagi, pikirnya. Nyatanya ada yang lebih pasti dibandingkan dengan urusan pernikahan ini. Apa? Kematian. Sudah sampai di mana persiapannya untuk itu? Bukan kah itu yang harusnya lebih dipikirkan? Karena pernikahan mungkin bisa tidak terjadi di bumi. Tapi kalau kematian itu adalah hal yang paling pasti. @@@ "Kalau mau dapet jodoh yang agamanya baik, bacaan Qurannya juga bagus, solat malamnya rajin, dhuhanya apalagi, maka kita harus berkaca pada diri sendiri. Pantas kah kita mendapatkan jodoh yang seperti ituuuu? Meminta seseorang dengan keimanan yang luar biasa dan ibadahnya yang konsisten seperti ituuuu pada Allah?" Iness menghela nafas. Ia mendengar kicauan seorang influencer muda yang sedang nge-top saat ini. Memang benar, terkadang orang-orang salah kaprah. Berubah demi orang yang dicintai padahal berubah itu yaa karena Allah bukan karena orang lain. Apalagi kalau niatnya sudah salah sedari awal. Ingat kan, jodoh itu cerminan dirimu. Iness masih sibuk di apartemen kecil yang ia sewa untuk seminggu ini di pusat Kota Seoul. Ia sudah menyelesaikan wawancaranya kemarin dan hasilnya akan dikirim secepat mungkin. Kini ia sedang menyiapkan teh hijau ditengah cuaca dingin musim semi. Ia juga sedang menunggu VISA elektroniknya untuk berangkat ke Turki. Rencananya untuk liburan sekaligus menemui sahabat karibnya yang sedang melanjutkan kuliah di sana. Dan kini, ia selalu mengulang-ulang isi ceramah itu di dalam ponselnya. Ia akhirnya sadar jika hidupnya adalah untuk menuju akhirat kan? Jadi ia berupaya memperbaiki semua dalam hidupnya untuk ke arah sana. Ia yang awalnya hampir tak pernah terbangun untuk tahajud, semingguan ini rutin terbangun. Tujuannya tahajud adalah untuk membiasakan diri. Jika hal semacam ini menjadi kebiasaan bukan kah itu bagus? Ia juga sadar jika kadar keimanannya memang tak seberapa. Jadi satu-satunya cara ya mendekatkan diri kepada Allah. Selain itu, ia juga terus rajin mengaji. Ia berupaya mempercepat bacaan Qurannya agar cepat tamat. Ia juga membiasakan diri untuk tidak meninggalkan Al-Quran sehari pun. Ia juga sedang mencoba untuk berpikir lebih positif dan tidak terlalu insecure hanya gara-gara status jomblo. Karena apa? Karena ada hal yang lebih penting yaitu kematian. Ketika sudah mati, tak ada yang bisa mengulang kehidupan bukan? Kalau perceraian sih masih bisa menikah lagi. Iya kan? Jadi, jelas sudah prioritasnya saat ini adalah Allah dan keluarga terutama orangtua. "Dan terakhir, jangan pernah bertanya pertanyaan sesepele ini. 'Kapan nikah?' mungkin terdengar biasa tapi yang mendengarnya dengan kondisi kayak hopeless gitu dan susah jodoh, mungkin bisa sakit hati jika mendengar pertanyaan ini. Jadi, hindar kan pertanyaan semacam itu ya, Ukh. Karena hati setiap orang itu berbeda. Yang bertanya mungkin menganggap itu pertanyaan biasa karena ia tak merasakan bagaimana sedihnya perasaan orang yang ditanya itu." Iness tersenyum kecil. Ia masih mendengarkan ceramah itu hingga perjalanannya menuju Seoul Central Mosque. Sudah lama sekali ia ingin pergi ke Korea Selatan dan baru sekarang hasrat itu terkabulkan. Benar lah kata Fara, Allah itu Maha Adil kok. Ia memang belum menikah tapi Allah tak membiarkannya sendiri karena ada Allah dan pekerjaan-pekerjaan barunya. Hihihi. Enak sekali bukan? Ya, orang pasti akan memuji kehidupannya saat ini. Mereka tak pernah tahu bagaimana perjuangan Iness sedari kuliah hingga sekarang. Bagaimana ia pontang-panting mencari uang demi mencerahkan masa depan. Sampai-sampai teman-teman di kampung halamannya berkomentar. "Ness! Ness! Rejeki terus yang dikejar! Jodohnya kapan, Ness?" "Jangan terlalu ambis loh, Ness. Apalagi kan Iness perempuan. Nanti susah dapat jodohnya kalau gaji Iness-nya ketinggian. Cowok suka minder dalam hal-hal semacam itu loh, Ness." "Si Iness jalan-jalan terus ke luar negeri. Jalan ke pelaminannya kapan, Ness?" Iness menarik nafas dalam. Ia masih di dalam bis menuju Masjid Itaewon itu. Letaknya memang di daerah Itaewon. Ia merenungkan setiap kalimat-kalimat komentar yang muncul dari mulut-mulut mereka lantas membalasnya dalam hati. Memangnya salah memperjuangkan masa depan dengan mencari rejeki yang banyak? Enggak kaaan? Siapa sih yang gak mau hidup senang di masa depan? Aku yakin, kalau mereka diposisiku juga akan melakukan hal yang sama. Ini bukan masalah ambisius atau tidaknya. Tapi ini soal tuntutan hidup. Bagiku, persoalan materi memang penting karena apa? Heloow? Memangnya habis menikah mau makan daun? Sebagai perempuan, Iness realistis saja. Pasalnya, ia tak mau hidup apa adanya.dalam artian si lelakinya malas berusaha. Ia mengukur dirinya yang sedemikian pekerja keras, tentunya ia juga menginginkan sosok yang pekerja keras juga bukan? Jadi tak salah kan kalau ia mencari sosok lelaki yang lebih darinya atau sama dengannya untuk urusan pendapatan? Itu bukan materialistis loh tapi Iness saja bisa mendapatkan gaji sedemikian besar, masa lelaki gak bisa? Pasti bisa dong. Begitu logika Iness. Ya, logika manusiawi lah. Toh kalau pun ditanya pada setiap perempuan, mungkin hanya satu dari sekian banyak yang benar-benar mau dengan lelaki yabg tidak berpenghasilan. Kalau setiap Iness, mana mau. Ia tidak mematok lelaki yang harus tinggi sekali pendapatannya. Tentu tidak. Tapi kalau bisa menyamainya dan memiliki sikap pekerja keras yang lebih besar darinya. Iya kan? Iness turun dari bis. Ia melirik ke kiri lantas berjalan menuju Seoul Central Mosque. Kubahnya sudah terlihat dari kejauhan. Perasaan tenang sudah ia dapat. Iness menarik nafas dalam. Ia tak punya alasan lain untuk kedatangannya ke masjid ini selain karena rasa cinta pada Allah dan rasa syukurnya sebagai seorang muslimah. Ia sangat bersyukur karena terlahir memeluk Islam sedari lahir. Sehingga perjuangannya tidak terlalu berat untuk sekedar mencari agama. Mungkin berbeda cerita dengan mualaf-mualaf di sini. Ia memasuki halaman masjid namun keningnya mengerut dari kejauhan. Ia melihat ada seorang lelaki sedang menyorot seorang lelaki lainnya yang sedang berbicara di depan kamera. Tampaknya, mereka sedang syuting, pikirnya. Tapi itu tidak penting. Ada hal yang lebih penting untuk dilakukan, yaitu mengeluarkan kamera dan mengambil beberapa foto hingga berselfie ria. Puas dengan itu, ia mulai menaiki tangga usai melepas sepatunya. Ia duduk di tengah-tengah tangga seraya mengabadikan suasana di masjid yang tampak ramai dengan kunjungan warga lokal juga turis sepertinya. Ia bersantai sebentar seraya menatap langit cerah di Seoul. Kota ini memang sangat padat dan ramai. Namun berada di masjid ini malah membuatnya tenang. Perasaan ini sama dengan ketika ia mengunjungi masjid Istiqlal di Jakarta, masjid Negara di Kuala Lumpur dan masjid Al Falah di Berlin. Saat mendengar suara microfon, ia melirik jam tangannya. Waktu seolah berjalan begitu cepat, ini bahkan sudah memasuki waktu Ashar. Ia segera beranjak. Begitu hendak berbelok ke arah tempat wudhu perempuan.... "Inessa!" panggil seseorang. Iness menghentikan langkahnya. Dengan spontan, ia menoleh ke belakang dan mendapati sosok lelaki yang wajahnya agak ia kenal. Ia masih menyipit, ingatannya masih meraba-raba tentang siapa cowok ini hingga... "Abizard, gidaryeo!" Dan lelaki yang tadi memanggilnya pun menoleh ke belakang. "Ne!" jawabnya lantas kembali menatap ke depan, lebih tepatnya ke arah keberadaan gadis yang tadi ia lihat tapi ternyata..... Menghilang. Lelaki itu menoleh ke kiri, kanan, depan hingga memutarkan tubuhnya ke belakang. Namun tak menemukan Inessa yang sejujurnya sedang gamang berjalan menuju tempat wudhu. "Wae?" @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD