-Ketika dia mengejarmu, kau menjauh. Ketika dia mengejar Allah, tiba-tiba kau jatuh cinta-
Setahun lalu...
"Iness!"
Gadis itu menoleh.
"Eh? Beneran Iness?"
Ia tersenyum. Rasanya sudah lama sekali tak bertemu. Kemudian ia memutuskan untuk membalik badan dan menghampiri perempuan yang memanggilnya itu. Itu teman kampusnya waktu sarjana di UI (Universitas Indonesia). Rasanya sudah lama sekali mereka lulus.
"Apa kabar?"
"Alhamdulillah. Kirain salah orang tadi," tuturnya. "Masih di Jakarta ya? Kirain udah pulang kampung ke Padang."
Gadis yang dipanggil Iness itu terkekeh. "Aku di Jakarta aja, stay."
Ia mengangguk-angguk. "Kerja di mana?"
"Di Dubes, Va."
"Waw," reaksinya. Iness hanya tersenyum kecil. "Dubes mana?"
"Jerman."
"Sesuai jurusan dong ya?"
Iness mengangguk-angguk. Omong-omong ia mengenal gadis ini saat tak sengaja menjadi panitia di salah satu acara BEM UI dikala masih kuliah. Saat itu, ia didapuk menjadi bendaraha acara oleh Ditto. Ia sudah lama mengenal Ditto, sejak SMA.
"Lo ngapain di sini?"
Ziva nyengir. "Ada kerjaan," tuturnya.
"Oh iya, gue denger-denger si Frasya ke London?"
"Iya! Dia lanjut S2."
Oooh. Iness mengangguk-angguk. Kemudian ia melirik jam tangannya. "Va, duluan ya," pamitnya yang dibalas anggukan. Ziva juga tampak sibuk dengan ponselnya sementara ia sudah berjalan menuju eskalator. Sejujurnya, ia perlu bertemu seseorang yang bekerja di salah satu startup ternama. Biasa, pekerjaan sampingan sebagai content writer sekaligus translator. Ia biasa menerima pekerjaan sampingan seperti itu. Kan lumayan, untuk tambah-tambah uang tambungannya. Selain itu, ia berniat untuk mengambil bahasa Korea dalam waktu dekat setelah menguasai tiga bahasa asing, yaitu Jerman, Dutch dan Inggris. Alih-alih melanjutkan S2, ia lebih berminat untuk mencari kerja di luar negeri. Ia sempat ditempatkan di Jerman selama enam bulan di tahun lalu tapi sayangnya, kontrak pekerjaannya tak diperpanjang.
Ia masuk ke salah satu restoran. Ia mengambil duduk di meja paling ujung. Duduk menghadap ke arah pintu agar bisa melihat seseorang yang sudah berjanji dengannya. Ia mengenalnya karena dulu pernah sama-sama menjadi relawan di suatu acara di kampus. Seseorang itu juga....
"Iness!"
Ia mendongak dan mendapati seorang perempuan mendekat. Wajahnya tampak tak asing.
"Fa-ra?" tanya terbata-bata. Cewek itu terkekeh. Ia berjalan mendekati mejanya.
"Kirain udah lupa," tutur gadis itu dan mengambil duduk di depan Iness. Iness tersenyum kecil. Lagi-lagi bertemu teman lama, pikirnya. Rasanya benar-benar kangen kampus. Ia juga mengenal gadis ini karena pernah satu organisasi Islam di kampus.
"Mau kumpul sama temen?"
Iness berdeham, mengiyakan. Ia sebetulnya masih takjub dengan perempuan di depannya ini. Cewek ini yaa cantik sih tapi memang lebih banyak perempuan yang lebih cantik. Hanya saja, setiap melihatnya ia menjadi merasa teduh. Adem saja begitu.
"Gue juga lagi nungguin temen nih. Ziva! Kenal kan?"
Iness mengangguk-angguk. "Tadi ketemu di lantai bawah," tuturnya yang membuat perempuan itu berdesis kemudian mengecek ponselnya. Tak lama...
"Nes! Gue ke bawah yaa," pamitnya yang dibalas anggukan. Omong-omong, ia baru ingat kalau saudara sepupunya pernah menyukai gadis itu walau tak mau mengakuinya. Siapa?
"Inessa?" sapa seseorang yang kemudian mengagetkannya. Dengan spontan ia berdiri sementara cowok itu mengambil duduk di depannya. "Harusnya yang menemui kamu itu Randai, tapi dia gak sempat," tuturnya lantas berdeham. Iness yang masih syok kembali duduk. Gadis itu sangat kaget tentunya. Tak menyangka pula....
"Masih ingat saya?" tanyanya.
@@@
Beberapa tahun sebelumnya.
"Nes! Nes! Sebelah sini!"
Iness menoleh. Ia nyaris melewatkan ruang BEM itu. Letaknya sih tak menyempil hanya saja, ia tak menyangka jika itu yang disebut ruangan BEM universitas. Letaknya tepat di sebelah kanan dari tangga di lantai dua gedung kampus yang menjadi pusat kegiatan mahasiswa itu.
"Nih! Kenalin guys, ini Iness yang gue bilang bakal jadi bendahara acara kita," kenal Ditto pada teman-temannya. Ada Frasya, Ziva, Renata juga Dahlia. Iness tersenyum kecil usai menyalami mereka. Ia satu-satunya perempuan dari jurusan yang berbeda. Tapi tak lama, muncul dua laki-laki dan tiga perempuan yang juga berasal dari fakultas yang berbeda dengannya.
"Lo udah siapin PPT yang gue bilang?" tanya Ditto. Ia bergerak sebagai ketua dari acara yang akan digagas ini. Ditto menawarkan diri untuk menjalankan sebuah acara dari program BEM universitas. Ini hal umum terjadi di kampus mereka. Maksudnya, banyak program-program BEM yang belum tentu akan dijalankan oleh anggota BEM sendiri. Mereka biasanya menawarkan beragam acara pada mahasiswa-mahasiswa di luar keanggotaan sebagai BEM. Ibarat proyek yang ditenderkan. Jadi mereka butuh para calon tender untuk ikut dalam seleksi, tender mana yang layak untuk menjalankan acara ini. Maka hari ini, para tender akan diuji oleh anak-anak BEM tentang kesiapan mereka dalam menjalankan acara ini. Ujian ini yang disebut dengan Fit and Proper Test (FPT). Jika lolos, Ditto dan kawan-kawan tentu yang akan menjalankan acara ini. Dan Ditto tentunya perlu tim untuk menjalankan acara ini, makanya ia membentuk panitia-panitia inti dari acara ini. Salah satu yang didapuk yaaa si Inessa ini.
"Aman," tuturnya yang membuat Ditto mengacungkan jempol. Tak salah jika ia meminta tolong pada Iness yang jago nyari duit. Hihihi. Bagaimana pun, sebuah acara harus berjalan dan pasti membutuhkan uang.
"Eh iya, Bendarahara satu lagi mana, Dit? Lo bilang--"
"Nah itu, Ness! Tuh bocah katanya ada kegiatan lain. Kesel banget gue," keluhnya.
Iness ternganga. Lantas ia akan menghadapi FPT sendirian begitu? Ya kali! Bisa habis ia dibantai anak-anak BEM!
"Terus gue?" tanyanya dengan tatapan panik. Ditto malah nyengir. Sesungguhnya ia tak enak hati.
"Lo tenang aja. Nanti ada si Fina yang bakal masuk nemenin lo."
"Tapi dia kan wakil lo, Dit."
"Dia nge-handle lo nanti," tukasnya, sok meyakinkan padahal ia sendiri tidak yakin. Inessa menghembus nafas. Pasrah sudah kalau begini.
Tak lama, mereka diminta masuk ke dalam ruangan BEM. Inessa baru pertama kali ini masuk ke dalam ruang BEM universitas. Ruangannya sih tidak besar. Ia hanya tertarik pada gambar yang dilukis ditengah-tengah dinding ruangan. Tampak keren karena menampakan gambar gedung rektorat kampus mereka. Kemudian ia ikut duduk bersama gengnya Ditto. Acara FPT dimulai sedari jam empat sore. Iness sih sudah diberitahu kalau kemungkinan, ia akan pulang malam sekali. Oke, ia tak mempermasalahkan hal itu. Yang ia permasalahkan adalah...
Inessa tergagap ketika lengannya disenggol Ziva, yang duduk di sebelahnya. Ini gilirannya untuk memperkenalkan diri di depan petinggi-petinggi BEM kampus. Ada wakil ketua BEM, ada bendaharanya, ada kepala departemen lingkungan hidup, ada kepala bidang sosial dan politik, ada beberapa staf humas, juga ketua koordinasi antarbidang. Tapi yang paling menyita perhatiannya adalah si ketua antarbidang itu. Cowok itu tidak ganteng sama sekali tapi muka teduhnya membuat perempuan-perempuan terbuai.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarahkatuh. Perkenalkan, nama saya Inessa Putri Khadijah, dari Fakultas Ilmu Budaya," kenalnya dan ia bisa melihat dua lelaki tampak berbisik. Kemudian salah satunya menyenggol bahu cowok satu lagi. Yang menyenggol? Tentu saja si ketua antarbidang itu.
Iness sok fokus pada teman-temannya yang juga mengenalkan diri. Setelah sesi perkenalan, ada penjelasan sedikit yang disampaikan oleh sang wakil ketua BEM. Lelaki itu menyampaikan hal-hal penting terkait FPT ini. Ines manggut-manggut saja. Ia sudah tak berkonsentrasi lagi karena lelaki tadi menyita perhatiannya habis-habisan.
"Kamu tadi bendaraharanya kan?" tanya si lelaki lain. Lelaki yang tadi disenggol bahunya. Ines mengangguk. Lelaki itu bertanya saat mereka sudah dibubarkan oleh sang wakil ketua. Para calon anggota kepanitiaan diminta untuk keluar dulu karena yang akan diuji terlebih dahulu adalah Ditto dan Fina sebagai ketua dan wakil acara. Tapi langkah Iness terhadang dengan adanya pertanyaan dari lelaki itu. "Siapa tadi namanya?"
"Iness."
"FIB?" ia memastikan pendengarannya. Iness mengangguk. Kemudian ia dipersilahkan untuk ikut keluar bersama teman-temannya yang lain.
Setelah satu jam dibantai habis oleh anak-anak BEM, Ditto dan Fina keluar dengan mengusap wajah. Wajah keduanya tampak khawatir. Sementara Ziva, Dahlia dan Frasya sudah heboh bertanya tentang apa yang terjadi di dalam sana pada Ditto. Tapi Ditto pamit lagi karena harus masuk bersama dengan tim acara.
"Kak Iness kan ya?" tanya Fina. Gadis itu memang paling muda di sini dan satu-satunya anak BEM yang ikut terlibat. Ia didapuk sebagai wakil acara. "Gimana persiapannya, Kak?" tanyanya kemudian Iness menjelaskan sedikit dan Fina membocorkan banyak hal yang ia ketahui tentang pengalaman teman-temannya yang pernah ikut FPT sebagai bendahara.
"Itu yang ganteng tadi....yang kayak Oppa-Oppa Korea, Kaak," tuturnya yang bermaksud menjelaskan kalau tadi ada si bendahara BEM yang akan mengujinya nanti. Tapi sayangnya, Iness tak begitu menyimak perkenalan dengan anak-anak BEM tadi karena...
"Heish! Masa gak tahu sih?!" tukasnya kemudian ia menarik lengan Iness. Mengajaknya untuk mengintip ke dalam ruangan dari balik jendela. Tampak wajah serius sang bendahara yang juga ikut menyimak presentasi dari tim acara. "Yang diujung dan pakek kemeja biru! Gue denger-denger, dia tuh detil orangnya."
Iness menghela nafas. Ia sih belum pernah ikut FPT seperti ini. Karena acara-acara di fakultasnya, biasanya hanya menguji sang ketua. Tapi ternyata di sini agak berbeda. Dan itu membuatnya agak-agak gugup.
Satu jam kemudian....FPT ditunda sebentar untuk solat magrib. Masing-masing dari mereka bergerak menuju kamar mandi dan mengambil wudhu di sana. Kemudian Iness bergerak masuk bersama Ziva juga Frasya. Ia mengambil mukenanya di dalam tas kemudian ikut menyejajarkan diri di dalam barisan solat. Ia berdiri tepat diantara Frasya dan Ziva. Sementara di depannya....
Cowok itu berdeham. Siapa? Itu, yang disebut Fina sebagai Oppa-Oppa Korea. Yaa oke lah, Iness tahu kalau cowok itu ganteng. Tapi pesonanya kalah sama cowok berwajah teduh yang kini bergerak menjadi imam solat mereka. Duh! Fokus! Fokus! ingatnya. Masa mau solat ingatnya cowok sih? Ingatnya Allah dong! Hihihi!
Ines bergarak mundur sedikit guna mensejajarkan posisinya dengan Frasya dan Ziva. Dan lagi-lagi cowok itu....eung...kali ini tidak berdeham. Melainkan menoleh ke belakang, di mana Iness tepat berdiri di belakangnya dan.....tersenyum. Eh?
Ines mengerjab-erjab. Ia tak salah lihat kan?
@@@
Masih setahun yang lalu.
Iness berdeham. Ia mencoba fokus pada email yang baru saja masuk. Usai pertemuan tadi sore, lelaki itu sudah berjanji akan mengirimkan kontrak kerjanya. Dan ternyata masuk ke email-nya cepat sekali. Tepat jam tujuh malam di mana Iness kala itu baru tiba di kosnya. Iness membaca isi email itu dengan seksama. Ah ya, omong-omong tak ada yang spesial pertemuannya dengan lelaki tadi. Hanya membicarakan masalah pekerjaan juga bernostalgia sedikit tentang FPT masa silam. Walau Iness juga bingung. Bagaimana mungkin lelaki itu masih mengingat kejadian yang sudah sangat lama terjadi itu?
Iness menghela nafas. Kalau dipikir-pikir, setelah ia dibantai habis oleh cowok itu ketika FPT, Iness dendam setengah mati. Hihihi! Tapi ia menahan diri dan mencoba untuk bersabar juga memperbaiki semua saran darinya. Bahkan Fina kala itu, berkali-kali mengajaknya untuk mengobrol dengan cowok itu. Iness tentu tak mau. Selain masih sakit hati dengan kejadian itu, ia ingin membuktikan kalau ia bisa mencari dana yang banyak untuk acara itu. Sementara Fina mungkin agak pesimis tentang kemampuannya tapi gadis itu punya maksud lain juga. Apa? Tentu saja berniat agar menjadi lebih dekat dengan lelaki yang disebut sebagai Oppa-Oppa kampus itu. Penampilannya sih...memang ganteng dan kece abis. Tampangnya apalagi meski bukan cowok bermata sipit. Tapi kekerenannya yang mungkin membuat orang-orang menjulukinya sebagai Oppa-Oppa Korea.
Iness?
Iness mengerjab-erjab. Ia baru saja merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia hendak beristirahat untuk menyambut hari esok di mana ia akan berdesak-desakan lagi di busway demi berangkat ke tempat kerjanya.
Iness yang tadi sore?
Lelaki itu kembali mengiriminya pesan. Bukan melalui email melainkan direct message di i********:. Memang ada pesan yang masuk dan Iness tak pernah mengira kalau akan datang dari lelaki itu. Alih-alih membalas, ia malah mencoba membuka akun itu tapi...sama. Ternyata terkunci seperti miliknya. Ia menghela nafas.
Iya. Abizard?
Syukur lah. Benar kamu ternyata. Aku kira Iness yang lain.
Iness tampak termenung. Ia harus menanggapinya dengan bagaimana?
Bagaimana kontraknya? Sudah dibaca? Berniat bergabung?
Iness menghela nafas. Ia tahu dari Arya, kalau pekerjaan yang ditawarkan adalah pekerjaan sampingan. Makanya ia berani menerima. Tapi eh tapi ternyata pekerjaan penuh waktu. Ia butuh waktu berpikir. Jika harus keluar dari pekerjaannya saat ini...
Kalau resmi bergabung, kemungkinan kamu akan ditempatkan di Turki atau Austria. Bagaimana?
Kening Iness mengerut.
Bukan di Indonesia?
Untuk tiga bulan pertama.
Aaaah.
Sesuai kontrak itu? Dua tahun?
Bisa lebih.
Iness menggigit bibirnya. Ia sangat ingin ke Turki. Sejak tahun kemarin belum terwujud karena terbentur harga tiket pesawat. Rasanya mengeluarkan uang dalam jumlah banyak sekaligus meski uang itu ada, sangat lah berat.
Bagaimana, Ness? Atau Iness merasa keberatan mungkin?
Aku pikir-pikir dulu.
Oke. Pikirkan dengan matang, Ness. Kesempatan tak datang dua kali.
Ia tahu itu. Masalahnya....
Atau Iness ada hambatan lain?
Hambatan?
Biasanya, cewek-cewek susah jauh dari orangtua atau mungkin sulit mendapat izin dari suami?
Dengan cepat Iness mengetik balasan.
Orangtuaku biasanya mengizinkan.
Toh, ia juga sekarang tinggal jauh dari orangtua jadi tak ada bedanya.
Suami?
Iness berdeham.
Aku belum menikah.
Calon?
Belum ada, Abizard.
Kalau begitu, aku boleh mencalonkan diri?
Eh? Iness ternganga.
@@@