Iness hanya bingung. Ia melipat mukenanya usai solat kemudian kembali menyimpannya ke dalam tas. Ia berjalan pelan menuju pintu kemudian agak menyembunyikan diri sembari mengintip ke luar. Ke arah lelaki berkoko putih dan kopiah putih yang tadi terlihat ganteng sekali. Wajahnya putih bersih, matanya tidak sipit. Tapi penampilannya terlihat ganteng sekali seperti Suho EXO versi Indonesia. Hal yang membuat Iness tak henti menatapnya dari kejauhan. Kini lelaki itu tampak sibuk mengatur kamera bersama lelaki bermata sipit tadi.
Lalu tak lama, ia melihat lelaki itu menyalami seorang lelaki tua berkoko yang tampak seperti kiyai di sini. Entah apa yang mereka bicarakan yang jelas, tak lama ia melihat ketiga kembali masuk ke dalam masjid di area solat untuk lelaki. Iness segera duduk kembali ke area solat perempuan dengan pikiran yang sangat fokus berupaya menguping apa yabg ketiganya bicarakan. Tapi sialnya Iness tak mengerti. Hihihi. Karena ketiganya berbicara dalam bahasa Korea. Bahkan lelaki itu juga tampak fasih dengan bahasa Korea yang sangat lancar. Mungkin, orang-orang Korea pun akan mengira lelaki itu adalah warga Korea bukan Indonesia. Sepuluh menit kemudian, ia mendengar lelaki itu melantunkan ayat-ayat Al-Quran. Butuh waktu dua puluh menit bagi Iness untuk berupaya paham akan apa yang mereka lakukan. Ternyata apa?
Tiba-tiba jantung Iness berdebar. Hatinya bergetar. Lelaki itu....lelaki itu sepertinya sedang menyetor hapakan Qurannya. Meski Iness tak paham dengan apa yang dikatakan tapi ia bisa memperkirakannya. Bukan kah Allah menciptakan manusia dengan akal? Sehingga itu lah yang membedakan manusia dengan binatang. Dan bukan kah Allah juga menciptakan manusia dengan nafsu? Sehingga itu lah yang membedakannya dengan malaikat?
Lama-lama Iness ikut terhanyut dalam lantunan Al-Quran itu. Mungkin tidak terdengar indah seperti para hafiz Quran atau Qori dan Qoriah. Tapi bagi Iness, ini lebih dari indah. Satu jam kemudian, ia mendengar percakapan mereka tapi kemudian mereka seperti beranjak. Iness ikut bangkit. Ia berjalan ke arah pintu dan bersegera keluar. Begitu melihat ke arah tangga, ia melihat lelaki itu mengalungkan kameranya. Sahabat lelakinya merangkulnya dan keduanya berjalan menuruni tangga. Sementara Iness terpaku dari kejauhan. Ia hanya menatap punggungnya dari jauh tanpa berani mendekat. Rasanya...seperti tadi. Iness terlalu malu karena pernah menolaknya mentah-mentah dulu sekali. Meski yaaa....bukan dengan kata-kata. Tapi dengan tindakan Iness yang langsung memblokir lelaki itu dari akun media sosialnya. Sejak terakhir, ia memang sudah tak pernah lagi dihubungi lelaki itu bahkan hingga sekarang. Lantas sekarang? Ada apa gerangan hingga ia dipertemukan dengan lelaki itu di sini?
Iness menarik nafas dalam. Matanya tiba-tiba memerah lantas terasa perih sekali. Kenapa tiba-tiba ia malah ingin menangis ketika mengingatnya?
@@@
Ia yakin sekali jika itu adalah Iness. Yakin sekali. Tapi entah ke mana perginya gadis itu. Ia tak melihatnya bahkan hingga mencoba melihat ke area solat perempuan sekalipun, ia tak bisa melihatnya. Ketika berjalan menuju apartemennya, ia berpisah dengan sahabatnya. Lelaki itu hendak pulang ke rumah ibunya sementara ia tentu saja pulang ke apartemen. Omong-omong, ia sudah setengah tahun terakhir bekerja di Seoul. Usai memutuskan keluar dari perusahaan dj Jepang, ia memutuskan untuk bekerja di sini. Meski suasana dan musim tak begitu jauh, tapi di sini juga enak. Meski mungkin tidak setertib di Jepang. Tapi tentu saja bukan itu yang ia pikir kan melainkan keberadaan Iness.
Ia menarik nafas panjang. Pikirannya melayang jauh dikala curhatannya tentang perempuan ditertawai Papanya.
"Kalau mau dekati perempuan itu, ya dekati Allah dulu, Abi," tutur Papanya sambil terkekeh kecil. "Tapi dulu Papa juga salah saat mendekati Mamamu. Caranya yang salah, dengan mengajak pacaran dan hasilnya yaaa....mungkin akan berbeda-beda dengan pasangan yang lain."
Ia memaklumi jika Papanya tak bermaksud mengungkit perceraian. Meski itu tak bisa dihindarkan sama sekali. Tapi luka Abizard atas itu sudah lama sembuh. Jadi ia tak masalah jika Papanya mengungkit hal itu.
"Setelah itu, Papa belajar banyak tentang agama ini. Tentang Islam hingga akhirnya mencoba mengikutinya dengan benar. Lalu Papa terapkan saat mencoba melamar ibu sambungmu."
Abizard hanya diam kala itu. Ia sudah belajar menerima keluarga baru dalam kehidupan Papanya. Bahkan adik kecilnya. Ia sudah menerima semua itu meski sempat kesulitan.
"Dan ternyata benar lah apa yang diajarkan di dalam agama Islam. Jika diikuti dengan benar dan lurus, insya Allah hasilnya juga akan baik. Tapi ya, barangkali itu cara Allah untuk membuat Papa kembali pada-Nya melalui perpisahan rumah tangga," tutur Papanya lantas menoleh ke arahnya kemudian menepuk-nepuk bahunya. "Begitu pula dengan penolakan ini, Abi. Barangkali itu cara Allah untuk meminta kamu kembali pada-Nya."
Hati Abizard terenyuh mendengar itu. Sangat-sangat tersentil. Ia sadar betul jika ia selama ini begitu jauh dari-Nya. Jangan kan mengaji, solat pun kadang suka ia lupakan dan tinggal kan. Mau bagaimana pun menyangkal dengan kesibukan, ia tetap salah. Karena ia hanya fokus pada apa yang menjadi mimpinya dan apa yabg sedang dikejarnya saat ini. Padahal, apapun yang ia lakukan seharusnya solat lah yang lebuh utama ia prioritas kan. Karena itu adalah hal yang tak bisa ditawar-tawar. Kewajiban tetap lah kewajiban. Lantas bagaimana mungkin, ia dengan tidak malunya meminta perempuan seperti Iness untuk menjadi pendamping hidup dunia dan akhirat dengan kebiasaan ibadahnya yang sangat kurang? Mengaji hampir tak pernah lagi. Solat pun sering bolong. Yang paling rajin yaa hanya puasa ramadhan. Itu sudah pasti tidak ada bolongnya. Kewajiban lainnya? Boro-boro. Yang sunnah apalagi. Ia bahkan tak pernah solat dhuha seumur hidupnya kala itu. Kalau sekarang?
Ia masih belajar. Solat wajibnya tentu ia tunai kan tepat waktu. Solat sunnah sudah dimulai dari dhuha hingga solat sunnah rawatib. Quran? Ia sangat rajin membacanya bahkan sedang mencoba menghalalkan beberapa surat Al-Quran agar ia bisa membawanya dengan benar ketika menjadi imam solat. Lalu ditambah pula dengan puasa sunnah Senin-Kamis yang baru ia jalani selama tiga bulan terakhir. Hasilnya?
Hidupnya sudah tidak sehampa dulu. Semenjak memperdalam ilmu agama, ia akhirnya semakin tahu apa tujuannya hidup. Apa? Tentu saja mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Iya kan?
Lantas dengan semua perubahan ini, ia malah kembali dipertemukan dengan Iness secara tak sengaja. Hal yang membuatnya merasa agak terganggu. Bukan apa-apa. Mungkin karena ia punya rasa pada gadis itu dulu. Dan ketika kembali bertemu dengannya, rasa itu seperti tumbuh lagi dihatinya.
@@@
"Annyeong haseyooooo!" serunya lantas terkikik-kikik. Ia memeluk Iness yang berlari ke arahnya.
Tak menyangka kalau akan bertemu Iness di sini. Berawal dari tak sengaja melihat isi Snapgram Iness, ia baru tahu kalau Iness sedang berada di Seoul. Iness pun baru tahu kalau kakak tingkatnya ketika di kampus UI ini pun berada di sini. Maka jadi lah pertemuan dadakan karena kebetulan, lokasi apartemennya tak jauh-jauh amat dari kantor perempuan ini. Kini keduanya duduk berhadapan di sebuah restoran halal yang ada di sekitar Itaewon.
"Aku gak nyangka loh kakak kerja di sini," tuturnya masih dengan sedikit tawa. Kakak tingkatnya itu akhirnya bercerita bagaimana ia akhirnya memutuskan untuk bekerja di sini. Dan ditengah-tengah cerita ia agak kaget begitu mendengar....
"Seriusan cerai?"
Perempuan itu mengangguk dengan senyuman tipis. Ia sudah biasa menghadapi pertanyaan itu juga kondisi hidup yang seperti ini. Dan itu lah salah satu alasan yang membuatnya berangkat ke sini dan memilih untuk bekerja di sini. Meninggalkan masa kelamnya di Indonesia. Memang, tak semua nikah muda itu berakhir indah. Ada kalanya sepertinya. Iness masih ternganga mendengarnya. Masih tak menyangka saja. Walau ia sempat mendengar gosipnya saat ia duduk di semester akhir dan kakak tingkatnya ini tentu saja sudah lulus lebih dulu. Setahunya, kakak tingkatnya dan mantan suaminya dulu begitu heboh karena dikenal sebagai pasangan kampus populer yang katanya cocok abis. Tapi ternyata....usia pacarannya bahkan lebih panjang dibanding usia pernikahannya itu sendiri. Perempuan ini pun agak trauma dengan kisah pahit ini.
"Begitu lah, Ness. Apa yang menjadi harapan ketika akan menikah ternyata tidak sejalan ketika realitanya ada di depan mata."
Iness mengaduk-aduk minumannya. Ia masih menatap dengan tatapan yang sedikit tidak percaya tapi harus percaya karena ini lah realitanya.
"Aku sih gak bermaksud untuk menakut-nakutimu. Tapi nanti, kalau kamu memutuskan untuk menikah, harus kenal lebih dulu dengan orang itu. Harus benar-benar mengenalnya juga keluarganya. Aku tak bermaksud untuk membongkar aib rumah tanggaku padamu tapi ini ku ceritakan agar kamu lebih hati-hati dalam memilih pasangan."
Iness menghela nafas. Ya, ia paham.
"Aku mengira kalau pacaran selama hampir enam tahun maka aku sudah sangat mengenalnya dan keluarganya. Tapi ternyata salah. Aku bahkan sama sekali tak mengenalnya." Ia menghela nafas. "Ya, aku tahu sih mungkin aku orangnya manja dan inginnya selalu dituruti. Tapi aku pikir karena selama pacaran dia bisa menhhadapiku maka seharusnya tak akan jahh berbeda. Namun aku lupa kalau ia terlalu mengikuti apa yang dibilang oleh ibunya. Mantan ibu mertuaku." Ia berdeham. "Saranku juga, Ness. Kalau nanti memutuskan untuk menikah, kamu harus pasti kan kalau kedua orangtuanya tidak akan ikut campur dalam rumah tangga kalian. Karena jika posisinya sepertiku, akan makan hati. Mantan suami tentu saja akan lebih memilih ibunya dibandingkan aku. Dan ternyata, sikap orang bisa berubah. Karena aku merasakan sendiri bagaimana perubahan sikap kedua mantan mertuaku saat aku masih pacaran dengan anaknya dan saat sudah menjadi menantunya."
Iness hanya menyeruput minumannya sambil mendengar cerita itu. Ia tahu bagaimana kakak tingkatnya ini begitu dekat dengan mantan mertuanya karena ia pernah bertemu dengan mereka beberapa kali ketika menjemput kakak tingkatnya ini ke kampus. Bayang kan saja, semua anak-anak satu fakultasnya tentu mengira kalau ia sangat dekat dan harmonis dengan mantan mertuanya. Tapi ternyata tidak seuwu setelah pernikahan terjadi.
"Aku merasa lelah menghadapi mereka. Hal-hal kecil dalam keluarga kecilku saja ditanya-tanya. Beliau bahkan bertanya seberapa banyak yang mantan suamiku berikan padaku waktu itu. Padahal hal-hal semacam itu adalah urusan kekuargaku. Aku juga merasa dibuang. Apalagi waktu gak kunjung hamil. Mereka menyalahkanku padahal jelas-jelas keluarganya yang bermasalah. Suamiku kan anak tunggal. Kalau aku kan enam bersaudara. Saat diperiksa pun aku baik-baik saja. Tapi mantan yang bermasalah karena turunan dari keluarganya. Namun mereka tetap menyalahkanku." Ia membuang nafasnya. Tiap mengingat itu, ia jadi emosi. "Akhirnya aku kabur, Ness. Kalau terus tinggal di sana, aku bisa gila. Apalagi keluargaku ikut terhasut oleh mereka. Jadi gak ada satu pun yang percaya. Sampai aku hampir mau bunuh diri disaat seperti itu. Untungnya masih diselamatkan. Meski sudah hampir gila juga."
Iness mengulurkan tangannya. Ia mengelus kedua tangan kakak tingkatnya yang kini menghela nafas. Cukup berterima kasih dengan simpatinya.
"Begitu lah, Ness. Namanya juga hidup. Tak selamanya berjalan indah. Ada kalanya berjalan buruk, tak sesuai dengan harapan juga impian. Pesanku, jangan asal pilih lelaki, Ness. Jangan hanya karena usia atau keadaan membuat kita memburu diri untuk menikah. Karena menikah bukan persoalan kebut-kebutan. Perniakah soal tanggung jawab. Kalau bisa, cukup sekali dalam hidup kita."
@@@
Dan di sepanjang perjalanan pulang menuju Jakarta, pikiran ini melayang-layang. Ia akan terbang dulu ke Jakarta untuk mengurus sesuatu selama tiga hari. Kemudian akan berlanjut dengan perjalanan menuju Istanbul. Dan kembali ke dalam pikirannya tentang perjalanan kali ini yang ternyata membawanya bertemu dengan kakak tingkat yang sudah memakan asam-garam kehidupan. Perceraian bukan lah hal yang mudah. Iya kan?
Ketika memutuskan sebuah perceraian, tentu saja ada banyak hal yang dipikirkan. Entah diri sendiri, keluarga, bahkan orang lain. Itu pun keputusan yang sangat berat. Tidak semudah ketika memutuskan untuk menikah. Iness paham benar hingga itu lah yang membuatnya lebih tegas meminta ibunya untuk berhenti dan segera menolak tawaran lamaran dari dokter yang waktu itu.
"Tampang itu gak masalah, Iness. Yang penting hatinya baik, anaknya bertanggung jawab. Dokter pula. Sudah pasti aman masa depan kau."
Kata-kata itu lagi yang selalu dilempar oleh ibunya. Ibunya seperti tak pernah bosan mengingatkannya akan tawaran lamaran yang datang.
"Mak! Amak mau tanggung jawab kalo nanti Iness cerai sama dia karena dipaksa menikah begini?"
Ia tidak mengomel. Tidak pula marah. Hanya kesal. Tapi ini memang sudah memuncak karena ibunya selalu memaksanya untuk menerima lamaran lelaki ini meski ia berkali-kali menolak. Alasannya bukan karena tampang semata. Tapi ia juga tak tertarik. Bagaimana mungkin ia bisa mencintainya kalau melihatnya saja tidak berminat? Salah kah? Tidak kan? Wajar malah. Setiap manusia pasti punya ketertarikan pada lelaki-lelaki yang berbeda. Kalau pun lelakinya sama, itu mungkin karena memiliki kriteria yang disukainya juga sama.
"Kalau Amak cuma khawatirin umur Iness, takutnya nanti Iness lama nikahnya dan blablabla. Itu terserah Amak lah. Tapi Iness tetap menolak. Iness gak mau asal menerima lamaran yang datang karena usia. Kesannya kayak udah pasrah banget, takut banget gak dapet jodoh padahal Iness percaya kalau Allah udah atur semuanya untuk Iness. Dari pada Amak sibuk maksain Iness untuk terima itu lamaran, mendingan Amak doain Iness aja biar cepat ketemu jodohnya. Kalau dia, memang gak ditakdirkan untuk Iness. Kalo bukan jodohnya, mau gimana lagi, Amak? Masa Iness maksa-maksa Allah padahal Iness juga tahu kalo Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk Iness."
@@@