“Ayo duduk di sini, Nak. Dio, tolong gantikan tugas Tia merapikan itu semua.” Salamah berkata dengan lembut.
“Baik, Ummi. Sana, nanti aku nyusul setelah membersihkan pecahan piring,” kata Dio, Tia melangkah ragu-ragu mengikuti Rain dan menatap kokohnya punggung pria itu.
Bagaimana ini?
Tia meremas jemarinya. Ruangan ber AC itu tiba-tiba saja terasa panas, bulir-bulir keringat membasahi pelipisnya. Tia selalu begitu, berkeringat sangat banyak ketika gugup. Dari sudut matanya dia melitat Rain yang duduk dengan santai. Apa yang Abi serta Khun Thiwat sampaikan terdengar seperti dengungan.
“Mee khrap, Pho Khrap jika Mee dengan Pho menganggap ini terbaik untuk Rain, maka Rain siap,” jawab Rain ketika ibunya berkata apakah Rain siap dengan perjodohan ini.
“Alhamdulillah,” ucap para orang tua serempak.
“Bagaimana, Tia?” tanya Salamah membuat gadis itu bingung harus menjawab apa, pasalnya dia tidak tahu apa yang dipertanyakan.
Melihat tingkah Tia, Dio yang baru saja menyelesaikan pekerjaan di ruang makan segera menghampiri dan berkata pelan pada Tia, “kamu siap nikah, Ti?”
“Hah, nikah?” Salamah menepuk punggung tangan Tia, dia meringis, lalu tersenyum.
“Kalau Nak Tia tidak siap, tak apa. Kami tak akan memaksa.”
“Umm ... saya terserah umi saja.” Gadis itu kemudian menunduk.
“Kok terserah umi, yang akan menjalani pernikahan kamu, Ti. Kami tidak memaksa, malam ini memang kami kami rencanakan untuk memperkenalkan kalian berdua.”
“Kalau menurut Umi ini baik, Insya Allah saya juga siap,” tutur Tia. Tampak rona merah di kedua bulatan pipinya. Seperti rona merah pada sebuah apel, terlihat begitu manis. Membuat Rain beberapa kali memalingkan muka.
“Alhamdulillah, kami akan mempersiapkan segalanya. Minggu depan kita pulang ke Indonesia untuk melaksanakan akad nikah.” Adrian berkata mantap.
“Minggu depan!” Tia dan Rain terkejut, mereka tidak mengira akan terjadi secepat ini.
“Memangnya mau kapan? Inget umur, lho, Tia,” goda salamah.
“Tapi, Ummi, Tia kan harus mengenal beliau terlebih dahulu. Tia ... maaf agak ragu jika harus menikah cepat-cepat.”
“Abi sudah mengenal keluarga Khun Thiwat dengan baik, Nak. Insya Allah beliau mendidik putranya sesuai dengan perintah Allah.” Adrian menatap Tia penuh kasih sayang. Membuat Tia yang tidak pernah mendapatkan itu dari sang ayah menjadi luluh.
Sementara itu, Rain merasa malu. Ayahnya memang selalu mendidik dengan baik, akan tetapi dia bandel, jauh dari keluarga sejak sekolah menengah di Bangkok membuat kehidupannya terpengaruh dengan hal-hal yang merupakan sebuah larangan agama.
“Lalu, kenapa harus pulang ke Indonesia? Di sini saja bisa, kan?” usul Tia lagi, dibalas dengan anggukan oleh Dio.
“Salah satu rukun nikah tidak akan terpenuhi jika menikah di sini,” tutur Salamah sembari menatap Tia dan Dio bergantian. Berharap kedua anaknya mengerti.
“Ah, iya, aku lupa,” bisik Tia. Namun, bisikannya masih dapat di dengar oleh Rain. Pria Thailand itu belum mengerti apa yang di maksud, tetapi menduga ada sesuatu kala melihat Dio sedang mengelus punggung Tia. Berusaha menenangkan gadis yang tiba-tiba saja murung dan menunduk seperti menahan kesedihan.
“Tia bukan putri kandung saya, jadi ada yang lebih berhak menjadi wali nikahnya.”
Keluarga Khun Thiwat mengerti. Hingga sebuah keputusan dengan cepat mereka ambil.
Perlahan kebekuan mulai mencair. Obrolan di ruangan dengan luas 5 kali 6 meter itu mengalir begitu saja. Tawa berderai, candaan terlontar hingga gulita mengantarkan tamu penting dari Narithiwat itu pamit undur diri.
***
Menggulirkan rasa dari patah hati ke jatuh cinta itu ternyata mudah saja bagi Tia. Pertama kali melihat pria itu di bandara, Tia sempat berbisik agar mendapatkan jodoh setampan dia. Meski hanya halu belaka kalau kata Dio. Tia tak ubahnya itik buruk rupa dari negara tetangga.
“Yo, jawab jujur, ya. Aku pantes gak sih buat si Rain Rain itu? Aku kok tiba-tiba gak percaya diri, ya?”
“Bagus kalau nyadar, jadi aku gak perlu repot-repot bawa cermin buat kamu ngaca.” Tia mencibir, salah tempat curhat.
Tia menyisir rambutnya yang hitam tebal sebatas bahu. Dia tidak berminat membalas candaan adik lelakinya. Sebaliknya, dia semakin memperdalam lamunan.
“Mau apa kamu ke sini? Kami sedang tidak ada uang jika kedatanganmu ke sini hanya mau minta uang,” ucap seseorang dengan wajah bengis, namanya Roslina. Perempuan itu dinikahi Ali saat sang ibu masih berstatus sebagai istri sahnya. Tia hanya ingin bertemu sang ayah, dia hendak meminta agar beliau hadir dalam sebuah acara di sekolah yang mengharuskan mengundang ayah dari para murid untuk hadir.
“Tia hanya mau bertemu ayah, Tante, ini ada undangan dari wali kelas agar ayah hadir pada hari Rabu minggu depan.”
“Suami saya tidak ada waktu untuk mengurus hal-hal yang tidak penting seperti ini. Suruh saja ibu kamu yang datang,” hardik wanita yang merupakan ibu tirinya itu.
“Tapi yang harus hadir adalah para ayah, Tante.” Tia memohon, sesekali pandangannya tertuju ke dalam rumah, berharap ayahnya akan muncul dari situ dan mengiyakan permohonan Tia.
“Kalau begitu, bilang saja kamu anak haram yang tidak punya ayah,” ejek Roslina.
Dio yang masih duduk di bangku SMP kala itu, geram. Jika saja dia tidak mengingat pesan sang ibu sudah dia jambak rambut ikal yang serupa dengan mahkota Nyi Blorong itu.
Keduanya pulang dengan tangan hampa. Seraya melangitkan janji bahwa detik itu adalah kali terakhir Tia meminta pertolongan dari sang Ayah.
Namun, kali ini Tia harus mengalah. Mau tidak mau dia harus menemui pria yang tidak dia ketahui kabarnya itu. Walau bagaimana pun, pria itu tetaplah wali sah dari Tia. Seseorang yang berhak menikahkan Tia.
“Ti, aku ngerti apa yang kamu rasakan,” ucap Dio, memecah lamunan Tia. “Kita hadapi bersama,” imbuhnya.
“Kalau ayah gak mau menikahkan aku gimana, Yo?”
“Jelas dia berdosa. Jangan dulu berpikiran yang tidak-tidak, Ti. Jangan menyimpulkan sesuatu yang belum terjadi. Ayah orang baik, hanya saja dia sedang dikendalikan oleh perempuan itu.” Dio selalu bisa memposisikan diri sebagai seorang yang bijak. Melengkapi Tia yang terkadang tidak dapat mengambil sebuah keputusan dengan benar.
Tia mengangguk. Selaksa rasa berbaur dalam hatinya, antara senang, resah hingga takut menyebabkan letupan-letupan dalam d**a. Serupa kembang api saat pergantian tahun tiba.
***
Dua orang pria dewasa duduk berhadapan satu di antaranya menyesap espresso sambil menyimak lawan bicara di depannya. Sedangkan secangkir macciato dibiarkan begitu saja oleh pemesannya. Dia lebih tertarik dengan kehidupan cintanya yang akan berubah sekejap mata. Gadis polos dengan balutan hijab merah marun selalu terbayang setiap malam sejak pertemuan itu.
“Aku tidak pernah melihat kamu seserius ini setelah hari itu, Rain,” ujar Nicky dalam bahasa Thailand.
“Hmmm ... aku lelah bermain-main hanya untuk melarikan diri dari bayangan Jane.” Rain mengutarakan alasannya serius menikahi Tia.
“Ohoo, kamu masih memikirkan dia?” goda Nicky.
“Melupakan Jane itu mudah, Man. Tapi menghapus berbagai kenangan antara aku dengannya terlalu sulit.”
“Jangan katakan jika calon istrimu hanya kamu jadikan sebagai pelarian?” selidik Nicky. Rain merasa tertohok, benarkah itu?
“Ku harap tidak, Tiara adalah gadis impian, sangat pas untuk dijadikan seorang istri. Kamu akan segera melihatnya.”
Rain meraih cangkirnya, tetapi dia hanya memutar-mutar benda itu tanpa meminum isinya. Dalam dua hari dia akan bertolak menuju Indonesia dan menikah dengan seorang gadis yang baru dia temui dua kali.
Bel berdenting tanda ada pengunjung masuk ke dalam cafe, seorang laki-laki mengenakan kemeja kotak-kotak biru berjalan bersisian dengan perempuan berpenampilan nyentrik. Pasminanya menjuntai hingga menutupi d**a dan perut. Tubuhnya yang mungil dibalut outer dengan panjang sebatas lutut. Peep toe boots berwarna senada dengan outer memberikan kesan feminin pada gadis dengan pipi yang bersemu merah itu.
“Maaf menunggu lama,” ujar Dio. Rain hanya membalasnya dengan anggukkan, kemudian menawarkan minum pada Tia dan Dio.
“Sebenarnya Tia lapar, tadi kami mau makan saat Abang Rain menghubungiku.” Perkataan Dio dibalas dengan pelototan garang sang kakak, dari bawah meja dia berusaha menendang kaki Dio.
“Ow ....” Nicky meringis, tendangan Tia salah sasaran.
“Sorry,” ucap Tia malu-malu.
“Kalau begitu, mari pindah tempat, ada kedai halal dekat sini, kalian pasti suka. Nasi kari dan Biryaninya enak. Oh ya, Tiara, Dioga, dia Nicky, sahabatku.”
Tia dan Dio mengangguk takzim, sementara Nicky menangkupkan telapak tangan depan d**a seraya mengucapkan wai, salam khas Thailand.
“Na Raak,” bisik Nicky, Rain mengangguk dia tersenyum lebar.
Dekat menurut Rain ternyata harus menggunakan kendaraan umum. Tia mendengkus sebal, pasalnya perutnya sudah menjerit-jerit karena kelaparan. Rasa sebalnya bertambah kala Dio melontarkan jokes yang bener-bener garing. Niatnya sih menghibur.
Rain malah asik berbincang dan berkelakar dengan sahabatnya, menggunakan bahasa Thailand. Bahasa yang benar-benar sangat asing di telinga gadis itu. Sesampainya di stasiun Siam Tia lagi-lagi cemberut. Pasalnya dia dipaksa untuk berjalan dengan jarak yang lumayan jauh.
Tia menggamit lengan Dio, satu hal yang dia takuti, nyasar. Orang-orang pasti mengira bahwa keduanya adalah pasangan. Namun, jika dilihat dengan seksama keduanya sangat mirip, seperti sepasang anak kembar dengan balutan busana yang berbeda.
Siam Paragon adalah mal yang paling populer. Selain menjadi magnet bagi pariwisata Bangkok tempat ini juga merupakan salah satu tempat yang ramah muslim. Hal itu di karenakan tersedianya kebutuhan utama bagi para muslim, yakni ruang untuk salat dan makanan halal.
Mereka sampai di area Food Hall, deretan kios penjaja makanan membuat cacing dalam perut Tia bermain sirkus karena senang. Rasa bahagia membuncah begitu saja kala melihat sebuah logo halal terpasang pada papan menu di kios nomor 16.
Rain membawa mereka ke kios tersebut, setelah sebelumnya menukar Bath dengan kartu di card counter sebagai alat p********n di tempat ini. Curry Rice with deep-fied chiken adalah hidangan yang Tia pesan. Sementara Rain dan Dio memesan menu yang sama, yakni grilled chiken biryani. Tia tidak peduli apa yang dipesan oleh Nicky. Ada rasa tidak suka pada pria berambut coklat tersebut. Entahlah, dia seperti terlalu menguasai Rain seorang diri.
Satu porsi nasi dengan potongan ayam yang lembut dilengkapi dengan kuah kari yang kental dan beraroma khas telah Tia nikmati hingga tandas. Sesekali gadis itu malah mencicipi nasi biryani milik sang adik.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Nicky. Berkali-kali Tia mendapati Nicky memberikan sebagian makanan ke piring Rain. Dan disambut dengan anggukan ramah dari Rain, lelaki yang kelak akan menjadi teman tidur Tia, jadi imam serta ayah dari anak-anaknya.
Usai makan siang, mereka sempat berkeliling hingga waktu ashar tiba, mereka menuju sebuah musholla yang terletak di sayap selatan lantai B1, basement. Di pintu masuk terdapat sebuah peraturan tertulis salah satunya berbunyi. “Please register before entering the player room.”
Tia terkikik, dia berseloroh, “masa mau salat saja harus daftar.”
“Jangan protes, harusnya kamu bersyukur, muslim di sini minoritas. Alhamdulillah mal segede gini mau nyediain tempat salat buat kita.” Dio menuliskan nama Tia dan dirinya pada kertas yang sudah terisi beberapa nama.
“Iya, deh, maaf. Cuma ngerasa aneh aja. “
“Ya udah sana masuk,” perintah Dio, Tia patuh, dia memasuki mushola yang tidak terlalu luas. Bahkan tempat itu hanya tersedia satu tempat wudu saja, akan tetapi bersih dan tertata rapi. Tersedia mukena serta arah kiblat. Serta hal lain yang membuat dia nyaman adalah terpisahnya ruangan salat antara pria dan wanita.
Usai menunaikan kewajibannya, mereka berempat berpisah. Tia dan Dio melanjutkan perjalanan dengan menggunakan taksi, sedangkan Rain dan Nicky berjalan ke arah berlawanan. Dari dalam taksi, Tia melihat punggung kedua lelaki itu menjauh, lagi-lagi, Tia tidak menyukai pemandangan itu. Di mana Rain terlihat sangat dekat dengan sahabatnya.