Mobil yang Dio kendarai memasuki kawasan perumahan di daerah Tarogong Kaler. Meski mereka sudah sampai di tanah air dari kemarin, Tia dan Dio baru benar-benar siap mengunjungi rumah sang Ayah kali ini. Bukan berarti mereka anak durhaka yang tidak pernah mengunjungi dan bertanya tentang kabar sang Ayah. Kehadiran mereka selalu ditolak bahkan ketika mereka belum sempat menginjakkan kaki di lantai rumah yang dulunya ditempati.
Banyak yang berubah dari kawasan perumahan ini, dahulu, model rumahnya hampir sama, berjejer persis sebuah asrama. Kini perumahan itu terlihat lebih teduh, banyak pepohonan yang tumbuh di pinggir jalan. Rumah-rumah yang dulu memiliki halaman yang luas kini menjadi rumah megah berlantai dua tanpa menyisakan pekarangan yang lebar. Sepanjang perjalanan Tia merapal doa. Berharap Roslina dilembutkan hatinya dan mengijinkan Tia bertemu dengan sang ayah.
Sebelum berbelok menuju blok K di mana alamat rumah sang ayah berada, Dio menghentikan mobilnya tepat di bawah pohon mangga yang tengah berbuah lebat. Berkali-kali dia menghela napas. Menggosok tangannya yang dingin dan menyeka keringat yang tiba-tiba saja membasahi keningnya. Tidak jauh beda dengan Tia, gadis itu menyeka wajahnya yang basah karena peluh.
“Pake AC gak sih, kok tiba-tiba panas gini, liat kerudungku basah, tau!” Dio menghela napas, Tia tidak pandai jadi pembohong, bola mata cantiknya bergerak-gerak pertanda dia sedang gelisah.
“Bilang aja kalau kamu gugup,” ledek Dio. “Karena aku juga sama,” imbuhnya.
“Walau bagaimana pun, dia tetap ayah kita, Yo. Selalu ingat pesan Ummi, kita gak boleh emosi.” Sebagai seorang kakak, Tia berusaha memberikan nasihat pada sang Adik. Suasana komplek siang itu sangat sepi, hanya ada gerobak batagor yang terlihat tidak jauh dari tempat mereka sekarang.
“Iya, Ti, aku ngerti. Aku deg-degan aja, berapa tahun coba kita gak bertemu?” Dio menelungkupkan wajahnya di atas kemudi. Sekelebat kenangan pahit tiba-tiba menghantui pikirannya.
“Ya sudah, ayo, masih banyak tempat yang harus kita kunjungi. Nanti kalau Ayah mau jadi wali, kita kesini lagi bareng Abang Rain.”
Dio mengangguk, mobil yang mereka tumpangi mulai melaju. Deretan rumah megah dengan aneka warna menghipnotis Tia, dahulu dia tumbuh di tempat ini. Bersama Umi, Ayah, seperti keluarga bahagia pada umumnya. Sebelum Ayahnya gelap mata, dan berpaling pada perempuan yang usianya sedikit lebih tua dari Umi nya.
Namun, ada satu rumah yang tetap sama. Seperti beberapa tahun silam, terlihat mencolok diapit oleh rumah megah dengan pagar besi yang menjulang tinggi.
“Siap, Ti?” Tia mengangguk dan melepas sabuk pengaman. Keduanya keluar dari mobil dan menghampiri seorang anak lelaki yang tengah mencabuti rumput di depan rumah bercat putih. Warna putihnya sudah kusam dan mengelupas sana sini.
“Assamalu’alaikum,” ucap Tia Dan Dio serempak.
“Waalaikumsalam,” jawab anak itu, “bade ka saha, A, Teh?”
“Bapak ada?” tanya Dio, Tia merasakan suara adiknya yang bergetar. Dia tersenyum menguatkan.
“Bapak lagi ke warung, duduk dulu, Teh,” ajak anak lelaki yang masih mengenakan seragam SMP tersebut seraya menunjuk sebuah bangku yang terbuat dari bambu.
Ember bekas kaleng cat yang berubah fungsi menjadi pot berderet rapi, isinya lidah buaya, daun bawanng serta beberapa tanaman yang tidak Tia kenal. Matanya tertuju pada pojok halaman, dahulu, tumbuh pohon belimbing yang berbuah tanpa kenal musim. Orang sekomplek malah bebas memetik buah tersebut. Kini, pohon itu sudah ditebang. Untuk membuat halaman teduh, sang ayah memasang kanopi sebagai gantinya.
Pipa setinggi kira-kira satu meter disusun sedemikian rupa menjadi media tanam dengan metode hidroponik. Selada, pokcoy dan sawi tampak begitu subur dengan warna hijau segar yang menyejukkan mata. Hal itu mengingatkan Tia pada masa lalu, kala dia selalu dipaksa untuk makan dengan sayur hasil tanam sang ayah.
“Sudah lama ke warungnya? Kalau ibu, ada?” tanya Tia ragu-ragu.
Bocah lelaki itu mendadak murung, dia meletakan perkakas yang digunakan untuk mencabut rumput. Kemudian menghampiri Tia dan Dio, “Aa sama Teteh mau pesan peralatan ya? Kalau begitu, saya susul ayah saya sebentar, ya?” tawar bocah itu tanpa menjawab pertanyaan Tia sebelumnya.
“Ayah?” tanya Tia dan Dio serempak, kakak beradik itu saling pandang keduanya seolah sedang berdialog dalam benak masing-masing.
“Iya, Ayah saya, Pak Ali. Sebentar ya, kadang Ayah suka mampir-mampir karena dipanggil tetangga buat benerin pipa, atau sekedar ngecek tanaman.” Dia membawa sepedanya, tetapi kembali menyimpannya kala melihat pintu gerbang yang terhalang oleh mobil.
“Itu masih bisa lewat, kok, Dek,” ujar Dio. “Sini, Aa bantu.”
“Gak usah, A, aku takut sepedanya gores mobil Aa. Aku jalan aja,” tolaknya, kemudian dia pergi.
“Adek kita, Yo,” bisik Tia, dia tidak dapat menyembunyikan lagi kesedihannya. Air mata yang semula dapat dia tahan kini merebak begitu saja. Kenapa takdir memisahkan dia dengan sang ayah?
Pria tua dengan rambut nyaris putih seluruhnya tergopoh-gopoh menghampiri tamu yang tengah asik melihat hasil tanamnya. Tamu perempuan bahkan berjongkok mengagumi strawberri yang merah menggugah.
“Assalamualaikum,” sapa Ali. Kedua orang yang tengah menunggu itu berbalik serempak. Tanpa menjawab salam keduanya menghambur ke pelukan Ali.
“Ayah,” isak Tia.
“Putra-putri Ayah akhirnya pulang,” sambut Ali mengeratkan pelukan pada separuh jiwa yang telah lama dia rindukan. Menyisakan bocah lelaki yang mematung kebingungan. Berusaha mencerna kejadian yang amat membingungkan ini.
Siang itu mentari seakan tengah tersenyum, menyaksikan betapa pertemuan mereka begitu penuh haru. Ikatan keluarga tidak akan pernah putus, sekali pun rusak maka dengan kelapangan hati hal itu dapat diperbaiki.
***
Udara dingin dan sejuk kota Garut membuat Rain mengantuk, hanya saja lelaki itu tidak enak hati. Pasalnya semua orang terlihat punya kesibukan. Sayangnya tidak ada seorang pun yang mengizinkannya untuk membantu saudara-saudara Tia. Padahal mereka tengah merapikan rumah untuk acara pernikahan esok hari. Jadi Rain mengerjakan beberapa laporan, meski sebenarnya dia tidak dapat berkonsentrasi sedikit pun.
Berkali-kali pria berkulit putih itu mengecek jam dinding, sopir yang berangkat dari pagi untuk menjemput kedua orang Tua Rain di Bandara belum juga tiba. Begitu pun Tia dan Dio, sepasang kakak beradik itu meninggalkan Rain seorang diri. Dia belum berbicara banyak dengan Tia, calon istrinya itu selalu menghindar, bahkan ketika mereka tidak sengaja berpapasan, Tia menundukkan wajahnya. Rain jadi merindukan gadis berani yang dia temui di bandara tempo hari.
Hampir menjelang sore, Tia dan Dio tiba. Keduanya membawa banyak bungkusan berisi makanan. Dio mengajak Rain duduk bersama di teras belakang.
“Apa itu?” tanya Rain, kala melihat Dio nampak asik menikmati jajanan khas yang biasa dijual di pinggir jalan. Bentuknya bulat-bulat mirip bakso bertabur bumbu yang gurih dan cabai bubuk yang pedas.
“Oh, nih.” Dio menjulurkan satu kantong penuh camilan itu. “Namanya tahu bulat, digoreng dadakan, lima ratusan.”
Rain mengernyitkan kening, dia tidak tahu apa yang dimaksud oleh Dio.
“Itu tahu bulat, Bang. Di Thailand ada tahu gak? Coba deh, saya dengar orang Thailand selatan suka makan pedas.” Tia muncul membawa peralatan makan. Rain menatap calon istinya ini kali kedua selain di bandara Tia banyak bicara.
Satu bungkus mie lengkap dengan sayuran dan bakso berpindah ke dalam mangkok keramik. Aromanya menguar menggelitik indera penciuman. Tia membagi masing-masing satu mangkok untuk dirinya, Rain dan Dio. Lantas melahapnya tanpa malu-malu setelah menaburkan snack bulat-bulat mirip pilus.
“Ini enak,” tunjuk Rain seraya mengunyah tahu bulat.
“Baksonya juga enak, Bang. Gak usah di kasih sambal. Itu bakso mercon, isinya cabai.” Tia menjelaskan. Dia mengambil jeruk limau dan membelah hingga masing-masing menjadi dua bagian. Lalu memerasnya langsung di atas kuah bakso, tidak lupa menambahkan kecap manis banyak-banyak. Bagi Tia makan kuah bakso tanpa ditambah jeruk dan kecap yang melimpah rasanya hambar. Seperti sedang makan sayur sop.
“Hati-hati, Ti. Gak lucu kan acara besok kacau gara-gara pengantinnya sakit perut,” ujar Dio.
“Iya bawel, perut aku kuat, kok.” Sepotong bakso dengan isian daging yang di bumbui rawit berpindah ke mulut Tia. Mukanya memerah, keringat bercucuran semangkuk bakso itu tandas dalam waktu yang tidak begitu lama.
Rain hanya tersenyum menyaksikan interaksi Tia dan Dio. Gadis berkerudung abu-abu itu sangat ceria, Rain meyakini satu hal bahwa Tiara akan memberikan warna di kehidupannya. Keputusannya menerima perjodohan dari sang ibu sangatlah tepat. Dia amatlah yakin, kebahagiaan akan segera dia raih.
***
Menjadi calon pengantin itu menyenangkan, setidaknya itu yang dirasakan Tia saat ini. Selain tidak diperkenankan membantu apapun di rumah, kini gadis yang dulu berprofesi sebagai guru sekolah dasar itu sedang menahan kantuk. Bukan tanpa alasan dia mengantuk, seorang asisten penata rias sedang memberikan beberapa treatment. Tangannya digosok dengan scrub yang kasar namun menyisakan sensasi nyaman. Satu petugas lainnya mencukur bulu-bulu halus di sekitar wajahnya.
Dahulu, Tia hanya bisa menyaksikan hal ini kala sepupu-sepupunya menikah. Dirinya juga sempat mengkhayalkan ini akan terjadi beberapa bulan lalu kala Irman sudah melamarnya. Namun, jodoh merupakan satu rahasia. Sejauh apa pun dia bertahan dengan lelaki seperempat bule itu tetap saja pernikahan tidak pernah terjadi karena Allah tidak menghendakinya.
Sebaliknya, tiba-tiba tanpa pernah Tia duga sebelumnya dia dapat melangkah ke jenjang ini dengan segera. Saat dirinya masih menyimpan luka dan takut kejadian sebelumnya akan terjadi lagi. Tidak dapat dipungkiri gejolak ketakutan menghantui dirinya. Kemarin dia takut sang ayah tidak mau menjadi wali nikahnya. Saat ini dia meragukan hatinya sendiri. Mampukah dirinya menjadi istri yang baik, sanggupkah dia hidup dengan pria asing itu?
“Teh, sudah, bangun dulu terus mandi pakai air yang sudah kami siapkan.” Suara lembut penata rias membangunkan Tia dari lamunan.
“Oh iya, Bu. Habis itu apa lagi, ya?” selidik Tia penasaran.
“Sudah selesai, habis mandi Teteh istirahat,” ujar wanita yang kira-kira berusia tiga puluhan tahun itu.
Tia masuk kamar mandi, setelah penata Rias pamit pulang. Dalam bak plastik sudah tersedia air hangat yang dicampur aroma terapi. Jika saja di rumahnya ada bathtube dia sudah berendam dan melemaskan otot-ototnya di sana.
Sementara itu di ruangan tamu, rombongan dari Thailand baru saja tiba. Keluarga Rain, Adrian juga Nicky. Mereka terlihat begitu lelah. Rain tampak bahagia kala sahabatnya bersedia jauh-jauh datang untuk menyaksikan akad nikah esok hari.
Perjalanan dari Bandara Soekarno Hatta ke kabupaten Garut lumayan memakan waktu lama. Pasalnya pada akhir pekan seperti sekarang ini polisi lalu lintas daerah Nagreg hingga Leles- Garut, memberlakukan sistem buka tutup demi menghindari kemacetan. Sayangnya bukan terhindar dari kemacetan, mereka sempat tertahan hingga satu jam lamanya.
Tia yang mendengarkan suara ramai dari ruangan tamu mengintip sekilas. Bukan hanya keluarganya yang tengah bercakap-cakap. Melainkan calon suami beserta sahabatnya yang terlihat sangat akrab ditambah Dio yang berbaur dengan keduanya.
“Orang itu lagi,” bisik Tia. Dia yang semula hendak bergabung bersama mereka mengurungkan niat. Dia lebih memilih berbaring di tempat tidur. Ditemani gawai berselancar di dunia maya.