Tamu dari Narathiwat

2010 Words
Tia membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur yang empuk. Semilir angin membuat tirai tipis meliuk-liuk bagai selendang penari. Kemarin dia sempat berkata bahwa Thailand kurang keren. Liburan tapi nanggung. Namun, pada akhirnya dia harus mencabut penyataannya tersebut. Pasalnya, saat malam pemandangan Indah kota Bangkok terlihat begitu menakjubkan. Lampu-lampu jalanan, gedung bertingkat serta penari jalanan membuat dia betah untuk tinggal lebih lama lagi di negara itu. Dia bisa mencicipi Thai tea juga boba milk tea yang antriannya panjang banget. Menikmati Thai Mango buah yang warna kuningnya lebih pucat dari mangga yang biasa dia temukan di Indonesia. Ketika digigit mangga ini berair, tetapi tidak cepat lembek dan hancur yang pasti rasa manisnya membuat Tia gak bisa berhenti mengunyah buah ini. Yang paling ngeri-ngeri, tetapi seru, Tia melihat dengan mata kepala sendiri daging buaya yang dijual bebas di pinggir jalan. Negara ini Unik. Sejenak, dia dapat menghilangkan bayangan Irman dari kepalanya. Laki-laki yang sudah menghancurkan hidupnya berkeping-keping. Gadis berusia akhir 24 tahun itu mengangkat jemarinya. Kosong . Dua bulan lalu, di jari manisnya terpasang sebuah cincin bermata zamrud berbentuk segitiga kecil dengan tiga buah berlian yang berkilauan ketika ditempa cahaya, sebagai pengikat hubungannya dengan Irman. Tia masih ingat bagaimana reaksi Liana kala dirinya melemparkan cincin seharga motor matic itu tepat pada wajah sang mantan. Lempeng. Watados alias wajah tanpa dosa. Mungkin saat ini Liana sedang memungut puing-puing asmara seorang sahabat yang hancur karena dirinya. Tia juga Irman sudah merencanakan sebuah pernikahan. Cintanya akan berlabuh dalam sebuah dermaga sakral dihadapan Allah juga sang Ayah. Namun, siang itu di rumah sakit, Tia harus merelakan Irmannya berpindah hati demi mewujudkan permintaan terakhir Om Bayu, seseorang yang sudah Irman anggap seperti ayahnya sendiri. "Nak Irman, tolong jangan pernah tinggalkan Liana. Dia tidak punya siapa-siapa lagi selain Nak Irman di dunia ini." Mendengar pernyataan Om Bayu, Tia tidak enak hati. Ada satu perasaan aneh menjalari hatinya. Terlebih ketika melihat Irman dengan leluasa memeluk Liana saat Om bayu menghembuskan napas terakhirnya. Mereka seperti sepasang kekasih yang saling mencurahkan gundah gulana, sedangkan Tia hanyalah orang ketiga yang menghalangi hubungan keduanya. Itu bukan sekedar firasat atau pikiran negatif Tia, nyatanya seminggu kemudian Irman benar-benar menangguhkan rencana pernikahan mereka. Dia meminta waktu untuk menjaga Liana dalam masa berkabungnya, dia akan menemani gadis berparas manis itu sampai hilang seluruh kesedihannya. Tia menyerah, tidak tersisa sedikit pun waktu yang Irman luangkan untuk Tia. Pernikahan hanyalah kabar angin yang menjadi angan semata. Hingga satu ketika gadis itu melayangkan sebuah protes untuk Irman. "Malam ini datang gak, Ay?" tanya Tia dalam sambungan telepon. "Maaf Tia, nanti malam ada kunjungan komisaris ke pabrik. Aku harus stay disana. Minggu depan kalau gak sibuk aku mampir, ya?" "Siangnya gak bisa memang?" "Siang aku ada janji dengan Liana, mau menemani dia survey tempat buat buka cabang usahanya yang baru. Sory." Liana dan pabrik adalah kombinasi yang serasi. Mereka merebut Irman dan tidak menyisakan sedikit pun untuk Tia. Namun, Tia kelewat sabar hingga suatu hari tepat di hari ulang tahun Irman dia melihat Liana dan Irman sedang berpagutan mesra. Gadis dengan iris mata kecoklatan itu terkejut. Dia marah, menjerit dan hendak menyerang Liana dengan brutal, tetapi pedih. Irman tidak berada di pihaknya. Dia membentak dan menghardik Tia. Menggoreskan kepedihan dalam hati Tia yang rapuh. Kemudian Tia pergi, setelah sebelumnya melemparkan cincin yang selalu dia banggakan di depan teman-temannya. Seperti kata Glenn Fredly dalam salah satu lagunya, Inikah akhir cerita cinta, yang slalu aku banggakan di depan mereka. Entah gimana ku sembunyikan rasa malu. Satu bulan kemudian Tia menerima sepucuk surat undangan. Nama Liana dan Irman terukir dengan tinta berwarna emas, sebagai kedua mempelai tentu saja. Membuat dunianya semakin hancur. Gadis itu semakin jatuh ke dalam lembah keterpurukan dengan sakit yang tidak ada obatnya. "Mpok, udah siap belum?" tanya Dio. Dia melongok dari pintu kamar yang sedikit terbuka dan melihat sang Kakak sedang berbaring. Pipinya basah, Dio mengerti sang Kakak terlalu banyak menanggung beban. "Ti, kamu nangis?" tanya Dio. "Ih, kalau masuk kamar orang tuh ketuk dulu pintunya, salam kek, permisi kek, nyelonong aja," protes Tia seraya menghapus jejak air mata di pipinya. "Kamu jangan so kuat, deh, kalau mau nangis ya nangis aja. Sini aku peluk!" Dio merentangkan tangan. Tia menyambutnya, benteng pertahanannya runtuh, dia menangis kencang. Dalam keheningan Dio mengusap-usap punggung sang kakak. Tia terisak-isak, sesekali mengusap wajahnya dengan ujung kerudung. "Ini terakhir kali aku liat kamu nangis ya, Ti. Allah sayang sama kamu, makanya kejadian ini terjadi sekarang. Coba bayangkan jika Irman sama Liana berselingkuh saat kalian sudah menikah? Nasib kamu mungkin tidak akan jauh beda sama Umi. Jadi korban kekejaman pelakor." "Aku sebetulnya juga gak mau nangis gitu, Yo. Di Garut, aku pura-pura kuat. Pura-pura jadi orang yang gak apa-apa. Tetep aja, menjelang malam dan sendirian tiba-tiba air mata turun gitu aja. Kayak keran bocor." Tia membuang ingusnya menggunakan tissue, membuat sang adik mengernyit jijik. "Aku juga sebetulnya gak tau, yang ditangisin itu apa sih? Karena putus cinta? Dikhianati atau karena jadi jomlo?" Dio tertawa, dia melepaskan pelukannya. "Sudah, aku doakan kakak dapet jodoh lelaki saleh." "Aamiin, tapi ganteng juga, dong," imbuh Tia. Suasana hatinya kembali baik. Dio selalu pintar mengubah suasana hati Tia. Hal itu selalu memancing pertanyaan sebenarnya siapa kakaknya siapa adiknya. "Gak kapok sama orang ganteng? Nanti di curi pelakor lagi gimana?" goda Dio. Tia pura-pura kesal lantas mencubit pinggang adiknya. "Ayo, Ti, Umi sama Abi pasti udah nunggu." Tia beranjak dia melepas jilbabnya yang sudah lecek. Kemudian mengambil jilbab baru berwarna merah marun. *** "Halo, Mee, siapa gadis yang mau kalian kenalkan padaku?" tanya Rain dalam sambungan telepon. Sesampainya dari bandara Rain benar-benar membulatkan tekad. Dia langsung menghubungi sang Ibu melalui sambungan telepon. "An nai?" Ibu Rain bertanya gadis mana yang dimaksudkan. "Entahlah Mee, kalian terlalu sering berniat menjodohkanku." Tawa renyah sang Ibu terdengar menyejukan di telinga Rain. Perempuan paruh baya itu sangat senang kala putra semata wayangnya menyambut antusias perkenalan, “dengar na, Luk, ini hanya perkenalan. Kamu berhak memutuskan untuk melanjutkan atau tidak.” “Oke, Mee. Jadi kapan Rain harus pulang?” “Tak usah, Mee, Pho yang akan terbang ke Bangkok. Gadis itu putri seorang dosen di Bangkok.” “Kalau begitu Rain nak pesankan tiket ya, Mee.” “Terima kasih, na,” ucap ibu Rain. Rain terpaku di depan sebuah lemari. Tangannya gemetar, perlahan dia buka lemari itu dan berlutut di depannya. Diraihnya sebuah kotak berwarna abu-abu gelap yang terletak paling bawah. Kotak itu berisi seluruh kenangan bersama Jane. Gadis Thailand yang pernah mengisi hidupnya lebih dari tiga tahun. Entah apa yang akan Rain lakukan dengan benda-benda itu. Dahulu, dia pernah berjanji akan membuangnya jika sudah ada perempuan lain yang menggantikan posisi Jane dalam hidupnya. Jane seperti kebanyakan keturunan Tionghoa. Berkulit putih, dengan mata sipit yang selalu dia percantik dengan olesan eye liner. Rambutnya panjang, hitam, lebat dan lurus. Rain selalu suka mengelus bagian itu kala Jane bersandar manja di dadanya yang bidang. Perbedaan keyakinan membuat Jane kurang disambut antusias oleh keluarga besar Rain. Bahkan sang ayah tidak pernah menunjukkan batang hidungnya ketika Jane berkunjung. Padahal butuh pengorbanan untuk datang jauh-jauh dari Bangkok ke Narathiwat. Gadis itu sadar diri. Hingga dia tidak tahan dan pergi dengan laki-laki lain. Menjelang malam Rain mengendarai SUVnya menuju bandara. Senyum semringah orang-orang yang penting dalam kehidupannya itu menyambut kedatangan Rain. Lantas mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah mungil Rain dekat dengan Siam center. Adrian dosen Bahasa Inggis yang berasal dari Indonesia. Dia tinggal di sebuah rumah dekat dengan universitas tempatnya mengajar. Kedatangan Rain disambut antusias oleh wanita seusia Mee Rain, bahkan wanita yang Rain kira adalah istri dari Adrian itu menyuguhkan beberapa kudapan di meja. Rain mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, rak yang tinggi menjulang menjadi pembatas sebuah ruangan. Tidak ada foto keluarga, dinding rumah mereka hanya dipasangi jam serta sebuah kaligrafi yang dibingkai Indah. “Itu, terbuat dari kulit domba, kerajinan tangan dari Garut, sebuah kota kecil di Indonesia tempat kami berasal,” ucap Adrian. Rain mengangguk, beberapa kali ke Indonesia baru kali ini dia mendengar nama kota itu. “Bagus, sangat indah,” puji Rain. “Kami dengar, Nak Rain juga baru pulang dari Indonesia, ya?” Lagi-lagi Rain hanya mengangguk canggung. “Sebulan bisa dua kali dia ke Indonesia, dan negara-negara di Asia Tenggara ini.” Sang ayah yang menjelaskan. “Nak, Rain kerja di bidang apa?” “Tadinya saya Barista.” “Kerja di Bar?” potong Salamah dengan raut wajah kaget. “Bukan, tapi di kafe,” jawabnya sopan. “Sama saja, atuh!” “Beda, Mi,” sambung Adrian “Tapi kemudian dipercaya pegang managemen kafe dan mengontrol beberapa cabang di beberapa negara Asia termasuk Indonesia.” Rain Melanjutkan. Adrian dan Salamah manggut-manggut mengerti. Lalu kedua orang lelaki dewasa itu larut dalam obrolan. Begitu pun Mee Rain yang nampak sudah sangat akrab dengan Salamah. Menyisakan Rain yang duduk kebingungan di antara mereka. “Harusnya kita sudah makan malam, ini, maaf. Bangkok selalu macet, jadi anak-anak sedikit terlambat.” Pantas saja Rain tidak melihat orang lain di rumah ini. Tidak dapat dipungkiri lelaki jangkung itu terus menyisir ruangan mencari keberadaan putri Adrian. “Tak apalah, kami mengerti. Nak jalan kemari pun kami terjebak kemacetan,” hibur Nur Anisa dengan bahasa melayu. “Memangnya anak-anak Mr Adrian tinggal dimana?” Rain penasaran. “Rumah ini cuma memiliki satu kamar, jadi anak-anak tinggal di apartement.” “Anak-anak?” Tanya Rain. “Tiara dengan Dioga. Putra-putri kami.” Tidak berselang lama, sebuah mobil memasuki pekarangan rumah. Bersamaan dengan itu, Rain dapat mendengar dengan jelas degup jantungnya yang berdetak menggila. Dia gugup, sama gugupnya ketika dia menyatakan cinta untuk pertama kalinya pada saat remaja beberapa tahun silam. “Assalamualaikum Umi, Tia kangen,” seloroh Tia ketika masuk ke dalam rumah. Langkahnya terhenti ketika melihat ada tiga orang tamu yang duduk menatapnya. “Waalaikumsalam, Nak. Pelankan suaranya sedikit, ada tamu,” tegur Salamah. Anak gadisnya tersipu lantas dia menyalami Salamah, Adrian serta ketiga tamu. Dia belum menyadari satu hal, bahwa Rain adalah laki-laki yang dia bilang ganteng di bandara beberapa hari yang lalu. Sudut bibir Rain terangkat, dunia terlalu sempit, gadis berantakan yang dia lihat di bandara kini berdiri di hadapannya. Penampilannya beberapa kali lebih rapi dibandingkan saat pertama kali dia melihatnya. “Jadi ini gadis yang hendak Mee dan Pho kenalkan padaku,” bisiknya dalam hati. Sop ayam, ayam goreng serundeng, capcai serta sambel goreng ati dengan campuran telur puyuh terhidang di atas meja. Tia menelan ludah, dia segera mengisi piring kosongnya sesaat setelah para tamu serta kedua orang tuannya melakukannya terlebih dahulu. Sang ibu berbicara dengan sopan dan meminta maaf karena hanya dapat menghidangkan masakan Indonesia. Hingga mengalirlah berbagai obrolan selepas jamuan makan malam itu selesai. “Ti,” bisik Dio, seraya menyenggol sang kakak dengan sikutnya. “Hmm ... “ balas Tia, perempuan itu masih asik mengunyah potongan buah. Keduanya kini berdiri di dapur menyiapkan makanan penutup yang sudah dibuat oleh sang ibu. “Kamu inget, gak sama cowok itu?” tanya Dio. “Memang pernah ketemu?” Tia mengerutkan kening berusaha mengingat-ngingat. Usai menghidangkan makanan penutup, Tia membantu sang ibu merapikan meja makan. Sementara itu, Dua keluarga yang sudah tampak akrab kini kembali duduk di ruangan tamu. Mereka membahas banyak hal hingga meluncurlah sebuah pertanyaan dari Khun Thiwat, ayahnya Rain mengenai perkanalan dan perjodohan putra semata wayangnya dengan Tia. Rain yang mengingat betul siapa Tia tersenyum, Dio yang semula dikira pasangan Tia oleh Rain mematung tak percaya, sedangkan Tia yang mendengarkan dari meja makan menjatuhkan piring hingga menimbulkan suara yang cukup mengagetkan. Dengan sigap Dio dan Rain menghampiri Tia. Para orang tua hanya tersenyum melihat tingkah Tia. Dio berjongkok merapikan pecahan piring agar tidak melukai kaki sang kakak. Tia yang masih terpaku karena kaget di dekati oleh Rain, pria itu sedikit berbisik, “kaget, ya, mau dijodohkan sama om ganteng macam saya?” Ingatan itu kembali, andai saja Tia memiliki kekuatan seperti cacing yang dapat bersembunyi dalam tanah dia ingin sembunyi. Atau jika saja piring saji bekas makan malam yang berada di atas meja adalah sebuah portkey --yang dapat membawanya ke tempat tertentu, kamar misalnya. Seperti dalam kisah Harry Potter. Maka dia akan menyentuhnya dan pergi tanpa melihat orang yang ternyata dapat berbicara bahasa Indonesia dengan fasih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD