Bab 9

1231 Words
Aku berlari mendekat ke arah cermin, memastikan apa yang terjadi dengan rambutku. Benar-benar berubah warna. Bagaimana bisa? “Itu artinya, kau setahap lebih hebat.” Aku tersentak, reflek menyentuh senjataku, mendapati yang lain juga melakukan hal serupa. Waspada. Seseorang, bukan, sesosok makhluk, tidak, itu hewan? Kurasa kami semua terpana ketika seekor kucing berdiri dengan dua kakinya, berjalan layaknya manusia ke arah kami. “Makhluk apa kau?” tanya Chili. “Seperti yang kalian lihat, aku seekor kucing…” jawab hewan itu santai, melompat naik ke atas kursi dan duduk mengamati kami, “dari ras yang terbaik. Kenalkan, namaku Matthew. Panggil aku Matt si kucing.” “Sayang, apa kau membuat mereka takut?” Suara lain terdengar bersamaan dengan munculnya kucing yang lain. Aku terbengong. Ada yang aneh dengan kedua kucing itu selain bisa berbicara, saat mereka bergerak, sesekali muncul kerlipan cahaya di sekitar tubuh mereka. Ginger maju beberapa langkah dan mengamati kedua kucing itu dengan seksama. “Jadi, kalian termasuk dari sedikit yang masih memiliki bubuk cahaya?” tanyanya. “Hmm … yah, begitulah.” “Hai, aku Percy, kalian sudah mengenal suamiku, Matthew.” Kucing kedua memperkenalkan diri. “Senang karena akhirnya kalian sampai sini,” katanya lagi. “Kalian menunggu kami?” Clove bertanya. “Ya, tentu. Sudah lama sekali.” Percy menarik kedua sudut bibirnya ke atas, kurasa itu cara mereka tersenyum. “Kalian pasti lapar, aku punya sedikit hidangan untuk menyambut tamu seperti kalian, sebentar.” Mulutku masih terbuka ketika Percy melangkah berlenggok meninggalkan ruangan ini. “Sekarang aku mengerti kenapa panggung untuk peragaan busana dinamakan catwalk,” kikik Pepper di telingaku. Aku melotot mendengar candaan Pepper. Kenapa mereka bisa terlihat begitu santai? Mengikuti yang lain, aku duduk di salah satu kursi—yang sebenarnya terlalu pendek untuk kami—yang mengelilingi meja, diam-diam mengamati Matthew. Berbeda dengan Percy yang memiliki bulu panjang-panjang dengan warna putih mengkilap, bulu Matthew lebih pendek, berwarna abu-abu dengan garis-garis samar. “Matt, katamu tadi perubahan warna rambut Sugar karena dia setahap lebih hebat, apa maksudnya?” tanya Ginger. Ah, kenapa aku justru lupa degan permasalahan rambutku? Matthew si kucing menatapku dan Chili bergantian. “Beberapa Pencari Mate disebut Treasure. Seseorang yang memiliki keahlian khusus, bukan mahir dengan senjata seperti panah, boomerang, belati ataupun pistol. Bukan juga ilmu pengetahuan seperti milik Clove. Tapi, sesuatu yang muncul dari dalam jiwa kalian. Seperti kemampuan teleportasi milik Chili.” Aku mendengarkan dengan seksama, masih belum menemukan benang merah antara cerita Matt dengan rambutku yang berganti warna. “Para Treasure bisa dikenali dengan rambut mereka yang berubah begitu memasuki alam Mate Sphere.” Kembali Matt si kucing melihatku dan Chili bergantian. “Di antara kalian, sudah jelas kalau Chili, dan kau, Nona—adalah Treasure.” “Tapi, aku tidak memiliki kemampuan seperti Chili,” gumamku. “Belum,” tegas Matt. “Satu lagi, ada dua macam Treasure, mereka menyebutnya: Lil Treasure dan Pure Treasure. Lil Treasure, dia hanya fokus dengan satu kekuatan yang akan semakin menguat seiring bertambahnya waktu.” “Dan, Pure Treasure?” tanya Ginger. “Pure Treasure. Sedikit lebih berbahaya menjadi Pure Treasure daripada Lil Treasure. Kekuatannya muncul secara bertahap, tidak hanya satu, dan lebih sulit dikendalikan. Setiap muncul kekuatan yang baru, rambut Pure Treasure akan berubah warna.” Menyentuh rambutku dan melirik kaca, tiba-tiba aku merasakan ketakutan yang mencekam. “Bisa dipastikan kau adalah Pure Treasure, Nona.” Matt menatapku tajam. “Ehm, ada satu yang harus kusampaikan padamu….” Melihat mata Matt, aku merasa berita yang hendak disampaikan kucing itu bukanlah berita baik. “Jika Pure Treasure tidak bisa mengatasi perubahan … hal buruk akan terjadi pada dirinya,” desah Matthew. “Seburuk apa?” tanyaku menahan napas. “Kau akan meledakkan dirimu sendiri.” Kurasa, wajahku seputih kapas saat ini. “Matt! Kau sangat tidak sopan,” tegur Percy yang datang membawa nampan berisi kue-kue dan minuman. “Jangan dengarkan dia, Sayang. Matt hanya suka melebih-lebihkan,” lanjutnya seraya menghidangkan sajiannya. Tapi, aku sudah terlanjur mendengar, dan itu membuatku sangat ketakutan. Memikirkan tubuhku meledak…. Oh, Tuhan! “Sugar, kau baik-baik saja?” Masih bisa kutangkap kecemasan dalam pertanyaan Ginger, meski suaranya terdengar berkabut. Aku merasa tempat ini bergetar, kencang. Telingaku berdengung, pandangan mata dipenuhi kilau-kilau keperakan yang entah datang dari mana, rasa takut ini semakin menjadi. Seseorang memelukku dari belakang, membisikkan sesuatu. Awalnya aku tidak bisa mendengar kalimat yang ia ucapkan, tapi perlahan semuanya terdengar jelas. “Sugar, dengar! Jangan takut. Aku menjagamu, tidak akan kubiarkan kau meledak. Percayalah.” Aku mencengkeram tangan yang terkalung di leherku, menyerap kata demi kata yang diucapkan orang itu. Aku akan menjagamu, tidak akan kubiarkan kau meledak. Percayalah. Rasa tenang menghampiri, merenggut semua kecemasan dan ketakutan yang sempat mengurungku. Penglihatanku kembali normal, dengungan pada telingaku menghilang, perlahan … getaran yang kurasakan berhenti dengan sendirinya. Dan, aku tidak bisa mengingat apa yang terjadi selanjutnya. ******   Ketika terbangun, aku berada di ruangan persegi yang atapnya terlalu pendek. Dengan pandangan masih samar kuperhatikan sekeliling, membutuhkan waktu beberapa menit agar bisa melihat dengan jelas isi ruangan ini. Dinding dari batu—sama seperti ruangan yang sebelumnya. Dua rak berjejer di salah satu sisi, di dalamnya ada puluhan buku yang tertata rapi, sentuhan tangan wanita jelas terlihat dari hiasan bunga kering yang dipigura dan dipajang pada rak teratas. Sebuah meja bulat berada di samping ranjang yang kutiduri, dengan kursi kecil layaknya tempat duduk kurcaci. Vas dari tanah liat berisi dua  tangkai mawar hutan warna merah darah, berada di atas meja. Dan meski vas itu terlalu polos—selain warnanya yang coklat kehitaman karena dipanaskan—tetap saja terlihat indah. Lalu, aku baru menyadari ada Salt yang sedang menungguiku. Dia berdiri bersandar pada tembok dan melipat kedua tangan di d**a, menatapku tanpa ekspresi. “Kau sudah sadar?” tanyanya datar. Dia menghampiri dan duduk di sisi ranjang, lalu meraih mug dari tanah yang tergeletak di meja dekat tempat tidur dan menyerahkannya padaku. “Percy menyuruhku untuk memintamu minum ini begitu kau sadar,” katanya pelan. “Apa yang terjadi?” Aku bertanya seraya menerima mug itu. “Kau membuat gempa hebat tadi.” “Maksudmu?” tanyaku lagi urung meminum ramuan yang dibuat Percy. Salt hanya mengangkat bahu, kemudian berdiri. “Akan kupanggil yang lain,” katanya berlalu. Sesaat setelah aku meletakkan mug yang sudah kosong kembali ke meja, Percy dan Ginger masuk. “Kau baik-baik saja, Sayang?” tanya Percy menggenggam tanganku hangat. Tidak ingin membuatnya cemas, aku mengangguk. Menatap Ginger dan Percy bergantian. “Apa yang terjadi?” Aku mengulang pertanyaan yang tadi kulontarkan pada Salt. “Tidak apa-apa, hanya tadi kau menunjukkan sedikit kemampuanmu,” gumam Percy mendahului Ginger yang hampir membuka mulut. “Ceritakan padaku,” pintaku memohon, tahu pasti mereka menyembunyikan sesuatu. “Biar aku mengatakannya, Percy,” kata Ginger berpaling pada kucing betina itu. “Oh, okey.” Percy mengelus pungung tanganku. “Aku ada di luar jika kau membutuhkanku, Sayang,” katanya padaku. Aku menatapnya penuh rasa terima kasih. “Ceritakan sekarang,” pintaku pada Ginger begitu Percy menutup pintu kamar. Ginger menyeret kursi ke samping ranjang dan duduk di atasnya. Terlihat lucu karena dia terlalu besar untuk kursi itu. “Kau ingat yang dikatakan Matt sebelum kau pingsan?” tanya Ginger pelan. Aku mengangguk, ucapan Matt terekam jelas di ingatanku. “Kami baru membicarakannya tadi, kemungkinan kemampuan pertamamu sebagai Pure Treasure adalah telekinesis.” Telekinesis? Kemampuan menggerakkan benda tanpa disentuh. “Benarkah?” tanyaku ragu. “Saat emosimu tidak stabil tadi, kau menggetarkan tempat ini, membuat benda-benda beterbangan tak tentu arah.” Aku terpana. “Getaran itu bahkan menghasilkan retakan pada dinding rumah Matt dan Percy.” “Sampai seperti itu?” aku menggigil ngeri. “Sugar … Sugar….” Ginger terdengar cemas. “Alihkan pikiranmu, kau harus bisa mengendalikan diri.” Sekarang aku mengerti kenapa Ginger terlihat cemas. Getaran kecil pada rak-rak dan hiasan yang terpasang di sana telah menjawabnya. Aku memejamkan mata, menarik napas dan mengeluarkannya pelan-pelan. Membuka mata ketika merasa emosiku sudah stabil. Ginger menatapku lega. “Ya … seperti itu,” gumamnya mengelap keringat di dahinya dengan telapak tangan. Dibalik kekhawatiran akan kemampuan baruku, tak urung aku merasa geli melihat kecemasan pria itu. “Sugar, kita harus tinggal di sini sementara, sampai kau bisa mengendalikan kemampuan telekinesismu,” kata Ginger berdiri. “Sekarang, istirahatlah.” Aku hanya memperhatikan punggungnya yang menjauh, dia membuka pintu dan keluar dari kamar. Saat pintu sudah tertutup kembali, aku memutuskan untuk melatih konsentrasi. Tidak sulit, karena aku terbiasa fokus pada pekerjaan ketika dulu masih di dunia nyata. Sepertinya lama sekali aku berada di alam ini, meski kenyataannya baru beberapa hari, kurasa…. Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD