Bab 8

1442 Words
Ginger sedang memasang sebuah benda berbentuk seperti roket di ujung anak panahnya, mengikat dengan tali dari rotan. Panjang benda itu hanya sekitar lima centi, terbuat dari kertas tebal dan bagian bawahnya ada sumbu berwarna putih. Ketika dirasa sudah cukup kencang, dia mencoba membidik ke atas. “Kau yakin bisa?” tanyaku yang sedari tadi mengamati. “Tentu!” Ginger menurunkan panahnya. “Siap, Clove?” Laki-laki yang ditanya mengangguk, mengeluarkan pemantik api dari ransel dan menghampiri Ginger. Ginger kembali membidik, Clove menyalakan pemantik api dan mendekatkannya ke arah sumbu. Begitu sumbu itu sudah menyala, segera Ginger melepas anak panah. Benda itu melesat cepat ke atas, kecepatannya tidak terlihat seperti anak panah biasa. Tidak lama, terdengar bunyi ledakan di udara, bersamaan dengan terbentuknya percikan bunga api yang indah di atas sana. “Tutup mulutmu,” bisik Ginger yang ternyata sudah di sampingku. Reflek, kukatupkan bibir. Pertunjukan tadi tanpa sadar membuatku terbengong. Terutama saat Ginger melepas anak panahnya ke udara. Panah milik pria itu pasti bukan panah biasa, atau si pemilik yang terlalu mahir menggunakannya. “Sekarang kita menunggu,” kata Clove mendekat. Kami bertiga kembali duduk, diam menunggu. Aku kelelahan, dan  mulai membaringkan tubuh dengan kedua tangan yang kugunakan sebagai bantalan. “Aku lapar,” gumamku. Mereka diam. Aku berbalik menyamping menghadap dinding tanah akibat longsoran tadi. Tanpa sengaja melihat pola bekas gesekan, mataku memicing saat menemukan sesuatu yang menarik perhatianku. Segera saja aku duduk, ingin memperjelas apa yang kulihat dengan lebih jelas. Aku menghampiri dinding tersebut, meraba mengikuti sebuah garis. Aneh, garis-garis lain membentuk sulur dari atas ke bawah, tapi garis ini berupa lengkungan setengah lingkaran yang cukup besar. Seperti sebuah … pintu. “Ginger … Clove, kemari!” panggilku tanpa mengalihkan perhatian dari garis di dinding itu. Aku mendengar langkah mereka mendekat. “Bisa kalian bantu aku mendorong bagian sini?” tanyaku menekankan kedua telapak tangan pada bagian yang dikelilingi garis lengkung. Mereka melakukan hal yang sama. “Ada apa?” tanya Ginger ingin tahu. “Dorong saja.” Tidak ada yang bertanya lagi, kami mengerahkan seluruh tenaga untuk mendorong bagian dinding itu. Benar saja, dinding itu terdorong, dan ketika ada jarak sekitar tujuh centi antara batas yang terdorong dan yang tidak terdorong, dinding itu meluncur dengan sendirinya, membentuk lubang dengan tangga dari tanah ke arah bawah. “Wow!” Clove berdecak. “Kau hebat, Sugar.” “Aku hanya menduga, dan ternyata benar … ada jalan di sini.” Aku melongok ke bagian dalam. “Apa kita bisa msuk?” tanyaku bergumam. “Tunggu, Sugar.” Ginger menahan bahuku. “Kita harus menunggu berita dari yang lain,” katanya mengingatkan. Aku mengangguk, meski sudah sangat penasaran untuk menelusuri jalan itu. Suara kepakan sayap beberapa saat kemudian, mengalihkan perhatian kami. “Cinnamon!” seruku gembira, berlari menghampiri burung itu. Cinnamon hinggap pada lenganku yang sengaja kuulurkan. “Burung pintar, kau mencari kami, heh?” kataku mengelus-elus kepalanya. “Clove, tulis pesan pada mereka. Katakan agar Chili membawa mereka ke sini.” Ginger memberi instruksi. “Cinnamon akan menyampaikan pesan itu,” gumam Ginger lagi. Tak berapa lama, Cinnamon sudah terbang kembali ke atas. “Maksudmu Chili membawa mereka ke sini, apa?” tanyaku. “Lihat saja.” Aku mendengus, apa susahnya menjelaskan? Dan kembali ke mulut gua yang baru terbentuk. “Whoaa … apa itu?” Seruan heran membuatku terkejut dan berbalik cepat, melongo ketika melihat Pepper sudah ada di belakangku bersama Salt dan Chili. “Kalian…? Bagaimana bisa?” “Bagaimana ini bisa terbentuk?” tanya Pepper menghampiri mulut gua, disusul yang lain. Sama sekali tidak mempedulikan keherananku akan kehadiran ketiga orang yang secara tiba-tiba itu. “Chili memiliki kekuatan teleportasi,” beri tahu Ginger saat melewatiku. Haa … ini mengejutkan! “Kita masuk!” Ginger mengomando yang lain. Berurutan, kami menelususri jalan kecil—dengan undakan-undakan menurun—dalam gua. Semakin masuk keadaan semakin gelap, kami membutuhkan cahaya. Aku mendengar suara ritsleting terbuka, kemudian Clove yang berada di belakangku, memukul bahuku pelan, menyerahkan batu fosfor yang sudah dibentuk menyerupai tongkat sepanjang—kurang lebih—sepuluh centi. Memancarkan cahaya kehijauan. Clove membagi benda itu satu per satu. Aku mempercepat langkah, memendekkan jarak dengan Ginger. “Hei, Chili benar-benar bisa teleportasi?” tanyaku padanya. “Kau lihat sendiri tadi.” “Kenapa tidak kau suruh dia membawa kita keluar dari tempat ini dengan kemampuannya?” “Bodoh! Kau tidak memperhatikan?” “Sudah kubilang jangan menyebutku bodoh!” kataku memukulkan batu fosfor ke kepalanya. Ginger mendengus. “Dengar! Kau tidak memperhatikan perbedaan Chili dengan yang lainnya?” “Apa?” “Apa senjatamu?” Aku meraba pistol di pinggangku. “Pistol semi-automatic.” “Punyaku?” “Panah.” “Salt dan pepper?” “Salt belati dan Pepper boomerang.” “Lalu Clove?” “Umm dia….” “Ilmu pengetahuan. Clove menguasai rumus-rumus, reaksi bahan kimia, racun dan sebagainya.” “Ya, itu.” “Sekarang kau mengerti keistimewaan Chili?” Aku berpikir. “Senjata Chili berbeda dengan senjata kita yang terlihat dalam bentuk nyata….” “Ya, dan energi yang dia gunakan untuk teleportasi sangat besar, mampu terbaca oleh orang-orang yang tidak seharusnya tahu. Semakin sering Chili menggunakan kemampuannya, semakin besar juga kita ditemukan orang lain.” “Orang lain? Ada orang lain selain kita di sini?” “Berpikir, Lady!” Hanya itu jawaban Ginger, setelahnya dia tidak berbicara lagi. Beberapa saat, kami semua terdiam, hanya sibuk dengan langkah masing-masing. Lorong yang kami lewati masih saja sempit dan gelap, belum ada tanda-tanda akan berakhir. Aku memperhatikan sekeliling diam-diam, langit-langit lorong yang pendek; dinding lorong yang terlihat agak miring, juga tanah yang membentuk undakan-undakan. Anehnya, aku tidak melihat perubahan sama sekali di lorong ini. Padahal, rasanya sudah lama sekali…. “Menurutmu, sudah berapa lama kita berjalan?” tanya Pepper padaku. “Entahlah.” “Mungkin sekitar dua jam lebih,” Clove berargumentasi. “Yang benar saja…” erang si pirang. “Ini sudah terlalu lama.” Gadis itu berhenti dan membungkuk, bersandar pada dinding lorong. “Pepper, kita harus terus berjalan.” Ginger memperingatkan. “Tidak tahu ada apa, tapi aku merasa aneh dengan tempat ini.” Ternyata bukan hanya aku yang merasa aneh. “Ginger, apa tidak sebaiknya kita berhenti dan berpikir sebentar,” usulku. “Coba perhatikan, sepertinya kita tidak pernah meninggalkan tempat ini.” “Aku tahu,” gumam Ginger. “Halusinasi otak.” Tiba-tiba Salt bersuara. “Apa itu?” tanyaku. “Seseorang….” Salt mengernyit, seolah kesakitan. “Sesuatu pernah memberitahuku, Mate Sphere penuh dengan tempat-tempat yang bisa menimbulkan halusinasi otak secara masal. Kita seolah berada di satu tempat dan tidak bisa keluar dari tempat tersebut. Mungkin ini salah satunya.” Hening. “Apa yang harus kita lakukan?” Suara Pepper terdengar khawatir. “Pilihan terakhir, kita keluar dengan kemampuan teleportasi Chili,” kata Ginger. “Tidak akan berhasil.” Aku menoleh pada Salt, melihatnya yang menggeleng. “Teleportasi tidak akan berfungsi di sini, karena otak kita yang tertahan di tempat ini, bukan tubuh kita.” Aku diam mendengar penjelasan Salt, memikirkan setiap kata yang ia ucapkan. Sebuah pikiran terlintas dalam benakku. Menarik napas panjang, aku berkata, “Kalau otak kita yang jadi target mereka … ayo kita buat mereka bingung.” “Maksudmu?” tanya Clove. “Sederhana, berpikir banyak hal untuk membuang pikiran tentang tempat ini,” kataku. “Aku tidak yakin dengan ide ini, tapi menurutku, otak kita dengan otomatis merekam tempat ini begitu memasukinya, dan semakin kuat merekam begitu kita makin lama berada di sini. Intinya, jauhkan otak kita dari gambaran tempat ini.” “Aku mengerti,” gumam Ginger. “Tidak ada salahnya dicoba.” “Berpikir dan berpikir, ucapkan apa yang kalian pikirkan,” kataku menginstruksi. Lima menit ke depan, lorong sempit ini sudah penuh dengan gumaman. “Meja penuh makanan, buah-buahan dan anggur berkualitas….” “Menaiki kendaraan termewah, bersama gadis yang terseksi sedunia….” “Bercinta dengan Sugar….” Aku tersedak air ludahku, memukulkan batu fosfor pada Clove yang masih komat-kamit. Pria itu terkekeh. “Fokus, jangan main-main!” tegur Ginger dingin. Kami kembali fokus, sibuk dengan pemikiran masing-masing. Beberapa saat kemudian, otakku semakin kuat bekerja, memikirkan hal-hal yang ingin atau sudah pernah dikerjakan. Tiba-tiba merasa tempat itu bergetar, kurasa yang lain juga merasakannya. “Jangan berhenti berpikir,” desisku. “Kuasai otak kita.” Getaran itu semakin kuat, lalu tiba-tiba dinding-dinding lorong menyempit … menyempit seolah ingin menghimpit. Gumpalan-gumpalan kecil tanah berjatuhan menimpa tubuh kami. Terdengar suara gemeretak seolah tanah yang terbelah. “Berpegangan tangan!” teriakku mengalahkan suara gemuruh yang menggema. Kami saling mendekat dan berpegangan tangan. Berbagai gambaran bergantian dalam pikiranku, terbagi menjadi potongan-potongan yang seolah beterbangan. Aku memejamkan mata kuat, merasakan denyutan pada kepala seolah akan meledak. Bukan rasa sakit yang nyata, hanya merasa isi kepalaku sangat penuh dengan potongan-potongan memori. Tiba-tiba, semuanya terhenti, dan satu pemikiran singgah dalam otakku. Aku butuh baju ganti.   ****   Hening, sunyi … dan masih saja gelap. “Apakah kita masih berada di lorong?” tanyaku pelan. “Kurasa tidak,” gumam sebuah suara yang kukenali sebagai Pepper. “Mana batu fosfornya?” aku menggapai-gapai sekeliling, menyentuh sesuatu yang lembut dan licin … seperti kain. Salah satu fosfor menyala, yang dipegang Clove, menyusul yang lainnya. Tempat ini sedikit lebih terang. Menemukan diri kami terperangkap dalam puluhan baju yang digantung. Ginger berdiri, mengacungkan fosfornya untuk mengenali sekeliling, menyibak kain-kain yang tergantung dan berjalan pelan. Tiba-tiba terdengar bunyi seperti pintu terbuka, seketika ruangan itu menjadi terang oleh cahaya. “Ini lemari,” seru Ginger yang sudah berada di luar. Kami semua menyusul dia. Benar saja, ruangan yang baru kami tinggalkan ternyata sebuah kamar yang dijadikan lemari, dengan banyak baju-baju yang menggantung. Apa ini Cuma kebetulan? Pikirku teringat apa yang terakhir kali kupikirkan saat berada di lorong gua. Tentang membutuhkan baju ganti. Mengamati sekeliling, aku menyadari kami berada di dalam sebuah bangunan dari batu. Dari dindingnya, bisa diperkirakan ini bangunan tua. Perabotan yang sebagian terbuat dari kayu dipernis coklat—yang warnanya sudah memudar—terdapat di ruangan ini. Satu set meja bundar dengan kursi yang mengelilingi, lemari berisi hiasan-hiasan yang terlihat aneh di mataku, lalu … sebuah perapian dari batu dengan bekas ranting terbakar. Seseorang pernah tinggal di tempat ini. “Sugar?!” Aku menoleh, melihat mereka memperhatikanku dengan wajah heran. “Rambutmu?” Aku meraba rambut, tak sengaja melihat pantulan diriku pada sebuah cermin tua dan langsung terbelalak melihat rambutku sudah … berubah warna. Menjadi merah! Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD