Bab 4

1130 Words
“Sugar! Gunakan senjatamu!” Bahkan teriakan Ginger tidak bisa mengalihkanku dari rasa takut dimangsa. Macan itu semakin mendekat. Namun, saat dia melompat siap menerkam, sesosok tubuh menghantamnya dari samping. Keduanya terpelanting. Aku baru menyadari kalau sosok itu adalah Ginger. Sementara Cinnamon terlihat berputar-putar di atas mereka yang sedang bergumul. Dalam pergulatannya, Ginger masih berusaha memintaku untuk menembak harimau itu. “Sugar! Pakai senjatamu, bodoh!” Tanganku gemetar, menyentuh kedua pistol yang menggantung di pinggang. Aneh, begitu keduanya tergenggam, aku merasakan perasaan terisi. Maksudku seperti perasaan yang semula kosong menjadi penuh, atau ketika kau kehilangan sesuatu dan tiba-tiba menemukan apa yang hilang itu. Yah, seperti itu. Kedua benda ini seolah memang disiapkan untukku. Tanpa rasa canggung aku membidik, gerakan pergumulan antara Ginger dan harimau yang begitu cepat sama sekali tidak mengganggu. Aku menembak dengan pasti, letusan yang hanya seperti bunyi “blup” mengiringi terlontarnya dua peluru ke arah mereka. Terlihat lambat di mataku. Bahkan ketika pergulatan antara Ginger dan binatang liar itu terhenti, aku masih menembak sekali lagi. Keduanya mematung, aku tahu pasti siapa yang tertembak. Harimau itu roboh meninggalkan bunyi gedebum yang keras. Aku berlari mendekati Ginger. “Bodoh! Kau nyaris menembakku!” teriaknya. Kesal selalu dianggap bodoh, aku menempelkan salah satu pistol ke dadanya yang basah … dan telanjang. “Sekali lagi kau bilang aku bodoh, aku akan menembakmu” kataku mengancam. “Bodoh!” seringainya geli. Dan, aku lupa bagaimana cara menembak seperti tadi. Kembali terpana melihat senyum mengejek yang diperlihatkan pria itu. “Lupa cara menembak, Sugar?” Ginger menyingkirkan pistolku, berjalan ke arah sungai, kembali masuk ke air. Mentari sudah berada di atas kepala, sinarnya yang terik menyilaukan menimpa tubuh ramping berotot yang sekarang sedang mengapung di atas air. Aku mengembalikan kedua pistol ke tempatnya, mendengus kesal. Merasa memang bodoh karena begitu mudah dibodohi. Melirik sekali lagi pada harimau yang sudah mati, aku menghampiri pohon yang paling rindang, berbaring di bawahnya. ***** Sepertinya aku tertidur, saat membuka mata melihat Ginger berdiri dekat api—yang entah sejak kapan dibuatnya—dengan potongan-potongan besar daging panggang di atasnya. Dugaanku itu harimau yang kutembak tadi. “Makanlah!” kata Ginger tanpa menoleh. Dari mana dia tahu aku sudah bangun? Aku bangkit, beringsut duduk di sampingnya. Ginger menyodorkan satu tusukan daging yang terbesar. Aku hanya menatap ragu, daging kelinci atau rusa masih bisa ditolerir, tapi daging harimau?! Yang benar saja. “Coba dulu dan jangan makan kalau kau tidak suka.” Terpaksa aku mencoba memakan daging panggang itu, tanpa berani membayangkan wujud binatang yang hampir menerkamku tadi. Ternyata rasanya hampir sama seperti daging-daging lainnya. “Itu daging rusa, aku memanahnya tadi.” ­Ah. “Bangkai harimau tadi ke mana?” tanyaku. “Aku kubur,” jawab Ginger. “Daging harimau mungkin juga bisa dimakan, tapi berbahaya karena akan menghasilkan panas pada tubuh kita. Aku tidak mau ambil resiko.” Aku hanya mengangguk-angguk. Setidaknya, kini daging panggang ini terasa sangat lezat. Aku melirik Ginger, memperhatikannya dari samping. Sepertinya dia tahu banyak tentang Mate Sphere. “Ginger, ceritakan apa yang kau tahu tentang Mate Sphere,” pintaku meletakkan ranting bekas menusuk daging yang sudah kosong. “Tidak. Setiap Pencari Mate harus menemukan jawabannya masing-masing. Jika sudah waktunya kau juga akan tahu.” “Pencari Mate? Apa itu?” Ginger berdiri. “Lupakan. Sebaiknya kau mandi.” Aku tidak mungkin bisa mendesak pria itu untuk bercerita. Jadi, sementara ini, bersabar adalah pilihan terbaik. “Aku mau mandi di ujung sungai sebelah sana,” kataku menunjuk ke arah barat—menurutku. “Tanpa ada yang mengawasi? Silahkan saja jika kau ingin memancing binatang pemangsa lain untuk menerkammu.” Seketika aku bergidik ngeri, mengurungkan niat. “Aku tidak melihat Cinnamon, ke mana dia?” tanyaku mengalihkan topik. Untuk mandi di hadapan pria ini juga bukan pilihan. “Dia pergi, nanti juga kembali,” jawabnya. “Aku mau tidur, Sugar. Itu kalau kau tidak mau mandi,” kata Ginger membaringkan tubuh. “Tidurlah.” Tak berapa lama dengkuran halus pria itu sudah terdengar. Aku diam-diam memperhatikannya, memang benar, Ginger sangat tampan. Hidung ideal, alis tebal yang menaungi mata hitam pekat—jika ia sedang tidak terpejam—dengan sorot mata memabukkan. Kemudian, bibir bawah yang terbelah pada tengahnya. “Jangan tergoda dengan ketampanan seorang pria, dia bisa saja menipu.” Aku terlonjak, berbalik dan spontan menyentuh pistolku. “Aku bukan musuh, jika itu yang ingin kau tahu,” kata seorang wanita dengan T-shirt dan celana panjang berwarna abu-abu yang kini berdiri di hadapanku. Di bahunya tersampir kulit binatang selebar telapak tangan orang dewasa. Ada kantung-kantung kecil menempel mengelilingi, dan belati terselip di setiap kantung itu. “Siapa kau?” “Salt.” “Siapa Salt?” “Sama sepertimu dan pria itu. Pencari mate.” Pencari mate? Kalimat itu lagi. Sebenarnya apa itu Pencari Mate. “Ceritakan padaku, apa itu Pencari Mate?” “Kau akan tahu dengan sendirinya.” Wanita itu menatapku tajam, tapi sama sekali tidak menunjukkan permusuhan. “Okay,” kataku menyerah, mulai relax. “Katakan apa tujuanmu ke sini.” “Tidak ada. Hanya harus merasa ke sini.” Jawaban macam apa itu? “Izinkan aku bergabung, bukankah lebih banyak orang akan lebih mudah?” “Kau pikir begitu?” Aku tidak tahu sejak kapan Ginger terbangun. Kini dia membidikkan panahnya ke arah Salt. Salt dengan cekatan meraih sebuah belati dan menodongkannya pada Ginger. Reflek aku mengeluarkan salah satu pistol dan mengarahkan tembakan ke arah Salt. Posisi yang sering kulihat dalam film-film. Kami bergeming dalam posisi seperti ini selama beberapa saat, sampai aku merasa konyol dan tertawa sendiri. “Okay, kenapa tidak kita letakkan senjata masing-masing dan mencoba berbicara,” kataku mencoba menengahi. “Berbicara apa?” tanya Salt. “Aku sudah menawarkan itu tadi.” “Aku tidak yakin kau bukan mata-mata.” Ginger menimpali. “Aku bukan mata-mata. Sudah kubilang aku sama seperti kalian. Pencari mate.” “Ginger, turunkan panahmu!” perintahku tegas. Ginger menurunkan panahnya perlahan. “Sekarang kau, Salt.” Salt memasukkan kembali belatinya ke kantung kulit. Aku mengembalikan pistol ke tempatnya semula. “Sekarang duduk dan mari bicara.” Kami duduk mengelilingi api yang kini hampir padam. Tiba-tiba, entah dari mana, Cinnamon terbang mendekat dan bertengger di lututku. Aku mengelus kepala Cinnamon. Salt menatap burung itu curiga. “Dia Cinnamon, teman kita,” beri tahuku. Salt hanya mengangkat bahu. “Jadi, kita sepakat untuk bersama?” tanyanya. Aku mengangguk meski belum tahu ada misi apa di balik perjalanan ini. Ginger menyusul mengangguk, bahkan Cinnamon ikut mengangguk-angguk. “Seharusnya kalian memberitahuku apa misi kita,” kataku mencoba mengorek keterangan. “Tidak, Sugar. Kau tahu itu.” Ginger melirikku tajam. “Terserahlah. Biarkan saja aku jadi orang buta di antara kalian,” sungutku kesal, lalu beranjak meninggalkan mereka. Cinnamon mengikuti dari belakang. Aku menuju aliran sungai yang agak jauh dari mereka, namun tidak terlalu jauh. Dengan perkiraan jarak, mereka masih bisa mendengar jika aku berteriak. Aku ingin mandi. Meloloskan pakaian dan senjata, kupinta Cinnamon menjaga semuanya. Dia hanya menggerak-gerakkan leher tanpa mau melihatku. Menggulung rambut di atas kepala, aku berlari ke arah sungai, melompat ke dalamnya. Airnya terasa sejuk dan menyegarkan. Aku memuaskan diri berenang dengan jarak pendek-pendek. Kadang membiarkan diriku terapung beberapa saat. “Bodoh!” Suara yang sekarang terdengar familiar mengagetkan. Reflek membuatku menenggelamkan tubuh hingga sebatas leher. Menatap garang pria yang kini berdiri sambil berkacak pinggang di tepi sungai. “Kau lupa, airnya terlalu bening untuk menutupi kepolosanmu, Sugar?” Aku terbelalak. Melihat ke bawah, dan … benar saja. Usaha menyembunyikan diri sia-sia. Wajahku memanas oleh rasa malu. Ginger berbalik tanpa ekspresi, mengambil semua perlengkapanku dan meletakkannya di tepi sungai, lalu membelakangiku. “Pakai semuanya secepatnya atau jangan tanya apa yang akan terjadi jika aku berbalik dan masih melihatmu dalam keadaan telanjang,” gumamnya datar. Kali ini sekujur tubuhku yang memanas, kalau ada cermin di hadapanku, bisa kupastikan bayangan seorang gadis dengan wajah merah padam yang terpantul di dalamnya. Ginger sialan!   Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD