Bab 3

873 Words
Cinnamon kini mengikutiku, menjadi teman perjalanan mencari jalan keluar dari tempat ini. Tapi, apa aku bisa keluar dari sini? Kenapa itu terdengar mustahil? Menjelang malam, aku berbaring di hamparan rumput di atas bukit. Ini kali pertama aku  tidur di alam terbuka. Menatap langit dengan bulan keperakan yang bersinar penuh. Bintang-bintang yang berkelap-kelip bertabur mengelilingi. Ini sangat indah. Cinnamon bertengger pada sebuah dahan pohon yang tidak jauh dariku. “Cinnamon, apa kau tahu kenapa aku bisa ada di sini?” Sunyi. Hanya ada suara binatang malam lainnya yang saling bersahutan. Aku mendesah. Teringat Jakarta dengan kepadatannya, lalu pekerjaanku dan rekan-rekan kerja yang tidak menyukaiku. Kesialan yang selalu mengikuti; rasa bosan dengan aktifitas yang ada. Sebenarnya, berada di sini pun tidak menjadi masalah buatku. Tidak akan ada yang merasa kehilangan. Melanglang dalam lamunan, hingga tanpa sadar aku sudah terlelap.   Sebenarnya apa yang paling kau inginkan, Sugar? Menikah. Memiliki suami dan anak-anak yang lucu. Tidakkah kau berpikir jika kau tidak pernah memiliki jodoh? Benarkah? Berapa umurmu, Sugar? Dua puluh enam. Bukankah di tempatmu tinggal usia 26 tahun  itu sudah terlalu tua untuk sendirian? Ya, beberapa orang berpikir seperti itu….   Langit gelap terlihat indah dengan taburan bintang dan bulan yang keperakan. Angin berembus pelan membelai anak-anak rambutku. Ah, ya … aku merasa sangat jelek dengan rambut kuning. Sayup, aku mendengar lagi alunan nada yang pernah kudengar saat pertama tiba di tempat ini. Bibirku bergerak mengikuti nyanyian itu, aku tersenyum, merasakan kedamaian.   Kata yang tak terucap Rasa yang tak teraba Semua kan menjadi lenyap Dengan tiba-tiba   Cinta dan pertarungan Kasih sayang dan ketamakan Benarkah itu tentang Menghancurkan….   Cahaya menyilaukan membuatku mengerjap, aku membuka mata, sontak terbangun. Teringat mimpi semalam. Mendesah, aku bangkit dan mencari Cinnamon yang tidak terlihat. Bahkan dalam mimpi pun, aku ingat dengan statusku yang perawan tua. Dan sepertinya, Sugar menjadi panggilanku di tempat ini. “Cinnamooonn…” panggilku. Aku mendengar suara gemerisik dari balik semak di sisi kiri, instingku menangkap bahaya. Aku bersikap waspada. Kepakan sayap terdengar dari arah lain, aku menoleh. “Cinnamon!” seruku senang. Cinnamon bertengger pada dahan pohon dan mematuk-matuk sayapnya. “Kau dari mana?” tanyaku berniat menghampiri. Namun, suara gemerisik dari semak terdengar makin keras. Aku berpaling, melihat seorang pria—yang sedang membidikkan panahnya ke arah Cinnamon—baru keluar dari balik semak. “Apa yang kau lakukan!” teriakku menerjang ke arah si pria hingga kami terjatuh, aku segera bangkit dan mengunci tubuhnya dengan lutut yang kutekankan ke perutnya. “Hei, lepas! Seru laki-laki itu dengan suaranya yang serak. “Tidak, sebelum kau berjanji tidak akan membunuh Cinnamon,” kataku dalam. “Siapa Cinnamon?” tanyanya mengernyit. Sungguh, jika tidak sedang dalam kondisi seperti ini aku akan terpukau dengan ketampanannya. “Burung itu,” jawabku menunjuk ke arah Cinnamon dengan dagu. Pria itu mendengus. “Aku tidak suka gagak panggang, bodoh.” “Hei!” aku memukulkan telapak tangan ke kepalanya mendengar dia menyebutku bodoh. Pria itu mengaduh. Aku bangun dan melepaskannya begitu merasa dia tidak berbahaya. “Sial! Kelinci buruanku kabur,” gerutunya kesal.  “Sorry,” kataku menyesal. Pria itu hanya mengangkat bahu, merapikan panah dan busur yang tadi terjatuh karena seranganku. Diam-diam aku memperhatikannya. Dia lumayan tampan—okay, sangat tampan sebenarnya. Kulitnya kecoklatan dengan bentuk tubuh yang ramping berotot. Garis wajah tegas yang terbingkai rambut ikal kecoklatan, ada cambang tipis di sekitar dagu dan pipinya. Dia mengenakan celana jogger kulit yang membungkus kaki panjangnya, kaos hitam dan jaket kulit. Dengan kantung tempat busur panah tergantung di punggung, dia terlihat seperti Robin Hood. “Ehm, sudah selesai mengamatiku?” Wajahku memanas. Sial, kenapa pikiranku seliar ini! Aku berani bersumpah tidak pernah mengamati seorang pria sampai seperti ini sebelumnya. “Apa maksudmu?” tanyaku pura-pura tidak mengerti, berpaling menyembunyikan wajah. Tapi, dia seolah tidak peduli. “Aku Ginger, siapa namamu?” ­Ginger? Aku berpaling cepat, kembali memperhatikan pria itu. Benar, dia  yang ada dalam mimpiku sebelum aku terdampar di tempat ini. “Sugar. Aku Sugar,” jawabku gugup. Apa ini hanya sebuah kebetulan belaka? Pria yang menyebut dirinya Ginger, mengernyit, tapi kemudian memalingkan wajah seolah tidak pernah melakukan gerakan simpel yang terlanjur membangkitkan tanya dalam hatiku. “Apa yang kau cari di sini?” Kali ini, giliran aku yang mengernyit. “Apa maksudmu?” Ginger menatapku tajam. “Apa tujuanmu ke sini?” “Aku tidak tahu, tiba-tiba berada di tempat aneh ini.” “Mate Sphere. Nama tempat ini Mate Sphere.” “Haa, sepertinya kau tahu banyak.” Ginger mengangkat bahu. “Tidak juga.” Lalu, dia melangkah menjauh. Jarak sepuluh langkah, dia berhenti dan bertanya, “Kau ingin mencari tahu tentang tempat ini sendirian?”  Aku berlari mendekat. “Hei, apa itu berarti kau mengajakku?” Dia diam, tapi aku yakin ucapannya tadi memang dimaksudkan mengajak. “Itu cara yang sangat tidak sopan untuk mengajak seorang gadis ikut bersamamu,” gerutuku. “Memukul kepala seorang pria pada pertemuan pertama, apa itu bisa disebut sopan?” Mau tidak mau aku tersenyum mendengarnya. Kami berjalan menyusuri pinggiran sungai, Cinnamon mengikuti dari belakang. Aku berkali-kali mencoba mengajak bicara Ginger, tapi bibir indahnya hanya suka membentuk garis lurus. Dia sama sekali tidak suka bersuara. Ketika matahari hampir di puncak kepala, Ginger berhenti. Dia menurunkan panah dan melepas jaketnya. Setiap gerakan lengan berototnya menarik perhatianku. Aku berpaling, merasa malu karena diam-diam memperhatikan bagian tubuh seorang lelaki, pada akhirnya aku melangkah menjauh dari pria itu. Mendengar suara kecipak air, aku yakin dia sudah melepas dahaganya dengan air sungai. Aku berbalik, tergoda untuk melakukan hal yang sama. Namun, sekali lagi terpana. Ginger, di dalam sungai, telanjang d**a dan terlihat indah. Tidak tahu berapa lama aku bersikap bodoh seperti itu, yang menyadarkanku kemudian adalah teriakan Ginger saat suara auman terdengar mendekat. Aku berbalik dan sangat yakin ingin pingsan kalau saja tidak ingat itu malah akan membuatku tercabik-cabik. Seekor harimau, aku yakin itu harimau. Besar dan loreng. Berjalan mendekat ke arahku, matanya tampak buas; moncongnya terbuka memperlihatkan taring yang berliur siap memangsa. Aku berjalan mundur, ketakutan. “Sugar! Gunakan senjatamu!” Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD