Tri terus berjalan tergesa menyusuri jalan setapak menuju ladang Aki Somad, sesekali ia menoleh ke belakang karena khawatir jika Juragan Karta mengikutinya. Kekhawatirannya bukan tanpa alasan, pria itu orang yang sangat licik dan bisa melakukan apa saja yang dia inginkan.
Aki Somad yang berjalan di belakang membuntuti cucunya turut dilanda kegelisahan. Semua orang tahu siapa itu Juragan Kardi Kartarajasa. Pria itu mengingatkan kepada tokoh antagonis pria di sinetron.
"Semoga ia tak mengikuti kita!Aki sudah dengar rencana perjodohan kamu dengan pria tadi." Aki Somad mengangkat tema percakapan tentang Juragan Kardi, melihat sikap Aki sepertinya tak setuju dengan rencana emak dan bapak.
"Entah apa yang ada di pikiran kedua orang tuamu, hingga mereka berbuat kegilaan," lanjut pria bertopi bambu itu.
"Itu salah satu alasan Tri mengapa malas kembali lagi ke kampung. Sebulan yang lalu Emak dan Bapak sengaja menemui Tri untuk menyampaikan niat pria tua takntahu malu itu." Tri memberikan penjelasan, emosi menguasai dirinya.
"Si Kardi memang sudah gila. Aki tidak ikhlas jika kamu harus bersanfing dengannya." Aki Somad menggerutu.
"Emak sama bapak bilang jika mereka berhutang banyak kepada Juragan Kardi. Tri seolah-olah dijual kepada lelaki tua itu." Tri mengungkapkan alasan kedua orang tuanya mau menerima lamaran pria beristri dua itu.
"Iya Aki tahu. Orang tua kamu itu bodoh, ceroboh dan tidak tahu diri. Anak sendiri dijadikan tumbal keegoisan dan keserakahannya. Kamu yang sabar ya dalam menghadapi mereka. Aki sudah memberikan bagian harta warisan kepada ibumu, tapi malah dijual dan digadai, lihat saja bagaimana nasib bapak kamu yang jadi kuli di sawah Juragan Kardi. Ia seolah menjadi budaknya." Aki Somad memberikan informasi penting tentang orang tua Tri yang hanya memgandalkan penghasilan dengan menjadi buruh Juragan Kardi.
"Tentu saja Tri tidak akan menerimanya. Tri punya cita-cita dan ingin memilih jodoh sendiri." Gadis bercelana panjang itu memberikan penegasan. Ia tak mau jadi istri ketiga. Pernikahan poligami bukanlah cita-citanya.
"Kamu harus menolaknya. Aki kasihan sama istri-istrinya yang tak berdaya."Aki Somad menghela nafas panjang. Ia tahu banyak hal tentang Juragan Kardi.
"Tentu saja, Ki." Tri sudah sejak awal memberikan penolakan, namun kedua orang tuanya bersikeras ingin agar Tri bersedia menerima pinangan pria bangkotan itu, sialnya lagi kedua kakaknya malah memberikan dukungan.
"Dari dulu Kardi selalu berbuat curang dan egois. Ningsih itu sebelumnya akan Aki lamar namun Kardi menikungnya. Ia memanfaatkan Ningsih yang saat itu berstatus janda kaya. Tanpa istri pertamanya dia tak akan seperti ini. Ia menikahi Mimin dengan alasan ingin punya anak." Aki Somad tahu benar masa lalu Pria yang selalu ingin dipanggil Juragan oleh warga sekampung.
Fakta baru yang Tri dengar istri pertamanya itu janda kaya dan tak punya anak. Juragan Kardi menikah lagi karena ingin punya keturunan. Terus sekarang ingin mendapatkan istri baru entah apa tujuannya, pria itu tak tahu diri karena slah satu anaknya ada yang menjadi teman SD Tri. Apa jadinya jika ia menerima pinangan lelaki tua yang lebih pantas menjadi kakeknya. Tri bergidig ngeri.
Tak terasa berjalan jauh sambil berbincang membuat keduanya terasa lebih cepat tiba di tempat tujuan. Sebuah lahan luas yang ditanami sayuran dan palawija. Di sana aja sebuah gubuk kecil.
Keduanya beristirahat sejenak untuk melepas penat sambil menikmati bekal air yang dibawa Aki Somad.
Tri menyimpan makanan rantangan sebagai bekal makan siang kakeknya di pojok gubuk.
"Kamu pulang saja, tidak usah bantu Aki, Aki pulangnya sore." Aki Somad yang dulu galak setelah Tri tak tinggal bersama berubah menjadi baik dan penuh perhatian. Tentu saja Tri terharu, sikap itulah yang ingin ia terima dari kedua orang tuanya. Sayangnya semua hanya angan semata.
"Iya Ki, tapi Tri mau main dulu sebentar." Tri ingin menikmati udara dan pemandangan di sana.
"Iya." Aki Somat setuju.
Pria itu mengambil cangkulnya dan mulai bekerja membersihkan rumput yang tumbuh di kebun palawijanya, sementara Tri asyik melihat pemandangan sekitar dan mwngabadikannya melalui kamera ponsel.miliknya. ia akan mengirimnya kepada Adam. Pemuda itu harus tahu keindahan alam kampung halamannya.
Saking betahnya gadis itu lupa waktu. Ia baru pamit kepada Aki saat jam menunjukkan pukul sebrlas. Ia pulang membawa jagung, tomat dan dan cabe.
"Tri, hati-hati pulangnya, jangan lewat jalan tadi!" Aki Somad memperingatkan.
Tentu saja Tri tak bodoh ia tak akan mau melewati lahan milik Jurangan Kardi. Ia pasti masih ada di sana mengawasi para pekerjanya.
Gadis itu berjalan menyusuri jalan setapak, beruntung di jalan ada tetangganya hendak pulang sehabis mencari kayu bakar di hutan.
Tri tak terlalu waswas akan gangguan Juragan Kardi yang memiliki banyak anak buah.
***
Pulang dari ladang, Tri duduk sebdntar di teras belakang. Di sana ada Bi Nining, adik Mak Asih yang bungsu tengah menjaga Nini Asih sejak pagi.
"Gimana kabar Nini?" Tri menatap neneknya khawatir. Nini Icih sepertinya baru selesai dipijat karena tercium aroma minyak urut yang sangat menyengat di indera penciuman Tri.
"Alhamdulillah Tri, Nini berjemur lumayan lama dan mulai belajar berjalan, selangkah dua langkah mah bisa." Bi Nining terlihat gembira.
"Alhamdulillah, Ni." Tri ikut senang. Ia berharap saat kembsli ke Jakarta kondisi Nini sudah pulih dan bisa berjalan kembali seperti sedia kala.
"Tri tinggal dulu ya, mau mandi sebentar." Tri berlalu dari kedua wanita beda generasi tersebut.
Ia lanjutkan aktifitasnya dengan mandi karena akan menunaikan ibadah sholat dzuhur. Panas terik matahari yang membakar tubuhnya membuat sekujur badannya terasa lengket dan harus dibersihkan.
Setelah itu ia lanjutkan makan siang bersama Nini. Tentu saja Tri yang menyuapi Nini.
"Ni, Nini istirahat dulu!" Usai makan lalu minum obat, setelah itu Nini diantar Tri ke kamarnya. Sejak setengah jam yang lalu, Bi Nining sudah pamit pulang.
"Tri, tadi jalan-jalan kemana saja kamu teh?" Nini Icih bertanya. Kini ia berbaring ditemani Tri di sampingnya.
"Ikut Aki saja ke ladang, Tri mah ga kemana-mana lagi. Tidak berani sebab tadi teh ada Juragan Kardi." Tri menceritakan sedikit pengalaman tidak menyenangkan yang terjadi tadi pagi.
"Euleuh-euleuh, kamu tidak apa-apa?" Nini tampak khawatir.
"Tidak, dia tidak berani mengganggu." Tri sedikit berbohong.
"Syukur Alhamdulillah atuh, Nini mah teu ridho, teu ikhlas kalau si Kardi memaksa nikah sama kamu." Nini tampak marah.
"Sudah, Nini. Nini istirahat saja, tentang Juragan Kardi biar nanti kita cari solusi untuk membatalkan niat gilanya itu." Tri tak mau jika Nini terlalu banyak pikiran apalagi memikirkan dirinya.
Terlihat Nini Asih memejamkan matanya. Tak lama terdengar suara dengkuran halusnya, artinya ia sidah benar-benar tidur.
Nini sudah tidur jadi Tri pun bangkit. Ia keluar kamarbdan diduk di ruang tengah untuk bersantai sejenak sambil menghubungi Adam. Ia ingat hari ini sahabatnya itu tak ada jadwal kuliah. Baru dua hari satu malam berjsuhan saja Tri kangen brondong manisnya itu.
Ia meraih gawainya dan mencari kontak Adam kemudian melakukan panggilan melalui video.
"Hai Dam, apa kabar?lagi ngapain.?" Di layar Tri melihat Adam tengah berada di kios.
"Baik. Ini lagi di Pasar. Engkong ga enak badan. kamu gimana?" tanya Adam terputus-putus, signal di kampung Tri kurang bersahabat.
Ia pun langsung menggantinya menjadi panggolan suara.
"Emang Engkong sakit apa? Saya mah alhamdulillah sehat walafiat, Nini juga kondisinya perlahan membaik." Tri melaporkan informasi terkini tentangnya.
"Alhamdulillah kalau kalian baik-baik saja. Kalau Engkong, encoknya kambuh. Akunsuruh istirahat. Kamu do sana aman dari bandot tua itu?" Pemuda bernama lengkap Adam Arifin itu mengorek informasi tentang Juragan Kardi. Sejak awal keberangkatan Tri ke kampung halamannya, Adam merasa tak tenang.
"Gawat, tadi saya ketemu sama bandot tua itu." Tri memberitahukan Adam tentang pertemuannya dengam pria tua yang mencoba melamar dirinya.
"Terus, bagaimana? Kamu tidak diapa-apin kan?" Adam khawatir.
"Enggak." Tri merasa beruntung.
"Kalau ada apa-apa jangan sungkan hubungi aku biar aku segera meluncur ke sana dan jemput kamu.." Adam siap sedia untuk menjadi pelindung bagiTri.
"Oke, makasih banyak ya, Dam."Tri senang ada teman berbagi kisah.
"Ya, sudah atuh, saya mau tidur dulu sebentar. Ngantuk berat. Kamunselamat bertugas dan semoga jualannya laris manis." Tri menutup panggilannya.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Setelah itu ia menutup semua pintu dan memejamkan matanya di kursi panjang yang ada di ruang tengah. Tri lelah.
***
Bersambung