Usai makan siang bersama dan membereskan sisa makanan, Tri langsung mencuci piring untuk meringankan pekerjaan kakeknya. Meskipun ada Emak Asih dan bibinya yang tiap hari menjenguk dan membantu pekerjaan rumah, Tri tak ingin merepotkan mereka. Selama ia berada di sana ia yang akan memgerjakan semua pekerjaan rumah tangga.
Gadis beetubuh mungil itu kembali ke dapur setelah menyelesaikan pekerjaannya. Ia bersiap untuk menunaikan ibadah sholat dzuhur. Tak disangka di dekat Nini Icih ada Emak Asih tengah duduk santai dan berbincang.
"Akhirnya kamu pulang juga ke sini." Emak Asih menatap putrinya. Entah sejak kapan ibunya itu ada bersama neneknya. Seharusnya ia mendatangi Tri ke bagian belakang dapur tempat dimana kamar mandi berada. Mak Asih terlalu cuek kepadanya, seolah kedatangannya tak berarti apapun untuknya.
"Iya, Mak. Maaf ya Tri langsung ke rumah Nini dan belum sempat ke rumah Emak, rencananya mau nanti sore." Tri merasa tak enak hati. Seharusnya ia langsung menemui kedua orangtuanya. Namun ia tak melakukannya sebab dari awal tujuan utamanya adalah menjenguk Nini yang tengah sakit. Mustahil ia pulang jika bukan atas permintaan sang nenek yang begitu dikasihi olehnya.
"Kamu mah Tri selalu saja beralasan." Ma Asih berujar dengan nada sinis.
"Mak, apa kabar?" Tri makin mendekat ke arah ibunya untuk mencium tangannya. Pertemuan terakhir keduanya di Depok berlangsung tak menyenangkan karena mereka berdebat tentang perjodohan Tri dengan Juragan Kardi Kartarajasa yang memiliki dua istri. Kejadin itu berakhir dengan kaburnya Tri dari rumah sang kakak. Pertemuan pertama hari ini pun dirasa Tri kurang nyaman.
"Alhamdulillah sehat." Wanita berdaster abu itu memberikan jawaban datar. Tak ada rasa rindu yang terlihat di sinar matanya layaknya seorang ibu kepada anaknya. Wanita bernama lengkap Asih Kurniasih itu terlalu asing bagi Tri. Kesalahan Tri yang kecil saja selalu dibesar-besarkan.
Sebenarnya Mak Asih belum lama pulang ke kampung, lebih tepatnya baru sekitar empat hari. Hampir sebulan ia berada di Depok untuk mengurus menantunya yang baru melahirkan.
"Alhamdulillah kalau sehat, bagaimana Bapak?" Giliran Bapak Ujang yang ditanyakan olehnya.
"Alhamdulillah sehat juga. Sekarang dia lagi ke kolam." Emak Asih memberikan informasi tentang ayahnya Tri.
"Syukurlah ada Tri ya Mak, jadi Asih teh ga usah repot lagi bolak balik kesini apalagi kalau malam hari." Mak Asih tampak lega. Wanita itu sepertinya malas merawat ibunya.
Mendengar penuturan dari anaknya, Nini Icih hanya bisa tersenyum. Ia sudah hafal tabiat anak sulungnya itu.
"Tri kamu ga usah balik lagi ke Jakarta, kasihan atuh Nini tidak ada yang mengurus!"Emak memberikan saran. Tri yakin perkataan nininya tadi juga atas saran dari ibunya.
Seharusnya Mak Asih tak perlu berkata demikian karena menjaga dan mengusrus Nini yang tengah sakit adalah kewajiban anak-anaknya juga bukan hanya Tri.
"Nanti Tri pikirkan lagi." Tri menjawab asal.
"Emak tuh kesal dan gemas sekali sama kamu. Berani meninggalkan rumah Tama tanpa pamit." Emak Asih mengungkit kejadian sebulan lalu.
Nini Icih tak ikut dalam percakapan. Ia hanya menjadi pendengar setia.
"Ma, sudahlah tidak perlu membahas masalah yang sudah berlalu, lagipula kehadiran Tri di rumah A Tama juga tak penting." Gadis yang hobi membuat kue itu melakukan pembelaan.
"Tapi kan kamu bisa bantu-bantu di sana, ngasuh Lily dan menemani shinta yang sedang butuh dukungan." Mak Asih malah memojokkan Tri. Semua yang disebutkan olehnya tak masuk di akal dan terlalu mengada-ngada.
"Tri mohon Emak tidak perlu berlebihan. Terus terang Tri tidak suka dan tidak betah." Gadis itu mengungkapkan rasa kesalnya.
Tri berharap ibunya tak lagi bersikap aneh. Perhatian terhdap kakaknya terlalu berbihan. Ia tak sadar jika Tri tersakiti dengan segala prilakunya.
"Kamu teh sebagai seorang adik harus berusaha selalu berbuat baik kepada kakak kamu." Emak Asih memberikan nasihat.
Tri terdiam. Berbuat baik untuk alasan apa? Kakaknya itu tak pernah memberikan bantuan apapun untuknya dan Tri tak berhutang budi apapun.
Mendengar semua ucapan Mak Asih yang menyudutkan Tri, Nini Icih tak kuasa untuk melakukan pembelaan.
"Sudah kalian jangan berdebat! Pertemuan ini seharusnya semakin mendekatkan hubungan kalian sebagai ibu dan anak bukannya semakin menjauhkan masing-masing dan membuat keributan. Asih, kamu teh harusnya memperlakukan Tri dengan baik. Baru bertemu malah beradu mukut." Nini Icih memgomel. Ia tamoak sedih.
Mak Asih tak berkata apapun lagi, ia malah berdiri lalu pulang ke rumahnya tanpa pamit.
***
Tri memijat bagian kaki Nini yang sudah keriput hanya terbungkus kulit dan daging. Ia balur dengan kayu putih. Dulu hampir tiap malam ia memijat nini dan aki sampai mereka tertidur.
"Nini segera sembuh ya, Tri sedih lihat Nini seperti ini." Tri mencium pipi nini yang sudah peyot. Ia sama sekali tak merasa jijik.
"InsyaAlalh Nini sembuh." Nini tersenyum memperlihatkan giginya yang ompong. Kehadiran cucu kesayangannya membuatnya bahagia dan yakin akan segera sembuh.
Hanya Tri yang selalu menjadi kebanggaannya dan membuatnya nyaman.
Berbeda dengan perlakuan kepada cucu-cucunya yang lain. Perlakuan Nini yang terlalu menunjukkan rasa sayangnya itu juga yang membuat Tri dibenci oleh saudara dan sepupunya yang lain.
Bagaimana Nini tidak sayang Tri selalu rajin membantunya ke ladang, membereskan pekerjaan rumah meskipun prestasi akademik Tri tak sepintar cucu yang lainnya. Bahkan Tri pernah tak naik kelas.
"Tidurlah! Sudah malam." Nini memberikan perintah. Tadi siang Tri tidak tidur malah membantu Nini beres-beres rumah dan masak untuk makan malam.
"Iya, Ni. Eh Tri mau tidur di sini saja sama Nini. Lagian si Aki jug sudah tidur di tengah rumah." Tri meminta izin.
"Baiklah." Tri pun berbaring di samping Nini.
Tak butuh waktu lama keduanya langsung terlelap.
***
Pagi pertama di Dusun Katumbiri, Tri langsung turun ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Nini harus segera mengisi perutnya, karena ia harus segera minum obat. Aki juga sudah mandi dan siap dengan baju dinasnya. Bukan kemeja berdasi melainkan, baju butut, topi, sepatu boot dan juga beberapa perkakas untuk bekerja di ladang.
Berbeda dengan di rumah kontrakannya, ia tak pernah sarapan dan masak dipagi hari. Kecuali hari minggu, itu pun ia lakukan karena permintaan Adam dan Engkong Udin. Tri biasa sarapan di luar.
"Ni, Tri mau ikut Aki ke kebun ya. Nini sama Bi Isah dulu ya." Tri butuh udara segar. Ia ingin menikmati pemandangan indah di pagi hari yang sulit di dapatkannya ketika berada di kota.
"Iya, pergi saja." Nini Icih tak melarangnya. Sejak kemarin cucunya itu menjaganya dengan baik dan belum sempat pergi kemana pun. Tri butuh refresh.
"Kamu mau lama tinggal di sini?" Nini memastikan cucunya tinggal lebih lama. Syukur-syukur sampai dirinya
"Paling seminggu." Tri tak ingin lebih lama dari itu.
"Baiklah." Nini tak bisa memaksa.
Usai sarapan ia pun pamit.
"Tri berangkat ya! Assalaualaikum." Ia pamit
"Waalaikumsalam." Jawab Nini.
Tri dan Aki Somad berjalan melewati jalan desa, dalam waktu sepuluh menit mereka tiba di simpang jalan lalu menyusuri jalan setapak.
Di tengah jalan, di sebuah tanah lapang keduanya berhenti karena tiba-tiba ada yang menghadang mereka.
"Wah...wah..wah...tidak disangka ada putri cantik jelita yang turun dari kahyangan." seorang pria tua dengan topi koboy di kepala serta sebuah tongkat di tangannya berujar ditujukan ke arah Tri.
Tri dikejutkan dengan sapaan seseorang yang sangat ingin dihindari olehnya itu.
Dia adalah Juragan Kardi Kertarajasa, pria tua berusia enam puluh tahun yang telah beristri dua berdiri tak jauh darinya. Pri itu juga yang berniat menyunting Tri.
"Juragan!" Aki somad tampak ketakutan. ia tak ingin berhubungan lagi dengan pria di hadapannya apalagi urusa utsng piutang. Dia bukan rentenir namun tabismatnya dipenuhi oleh keburukan.
"Apa kabar Tri?" Juragan Kardi menatap gadis cantik incarannya itu. Ia mengulurkan tangannya, sayangnya
"Alhamdulillah baik, maaf juragan saya permisi." Tri segera menghindar dan berusaha untuk segera pergi dari tempat itu.
"Eits, tunggu..tunggu...mau kemana? Kenapa kamu terburu-buru. Kita bisa berbincang dulu sebentar sambil menikmati secangkir teh." Pria perlente itu mencoba membujuk Tri.
"Maaf, Juragan, saya dan aki harus pergi sekarang."
Tri tak menggubris dan memilih mempercepat langkahnya. Ia takut anak buah juragan kaya raya itu mengejarnya.
Beruntung Juragan Kardi tak menguntit atau menahan Tri, ia biarkan gadis pujaannya berlalu dari hadapannya. Sebab ia yakin tak lama lagi Tri tak akan bisa pergi darinya dan akan selamanya bersama menjadi miliknya.
Perjalanan Tri yang dibayangkan akan dilalui dengan indah tak menjadi kenyataan. Apapun yang dilihatnya sama sekali tak menarik sebab bayangan Juragan Kardi Kertarajasa terus memenuhi isi kepalanya.
Membayangkan apa yang akan Jurangan Kardi lakukan, bulu kuduk Tri mendadak merinding. Dari sekian banyak spesies laki-laki, mengapa bukan yang muda dan tampan yang menggoda dirinya.
***
Bersambung