Girl's Time

2030 Words
Gabby sedang berbaring di tempat tidur sambil mengerjakan tugas kuliah saat ponselnya berbunyi. Dengan malas, dia meraih benda pipih yang terletak di meja nakas dan melihat siapa yang menghubungi. Saat melihat nama sahabatnya tertera di layar, dia menggeser layar hijau untuk menjawab panggilan. “Tumben telepon lo? Ada apaan?” “By, besok elo ada acara nggak?” tanya Devi setelah mendengar sapaan manis sahabatnya. “Belum ada, kenapa?” “Jalan yuk. Udah lama kan kita nggak ketemuan dan nongkrong bareng.” “Iya sih, kita udah sama-sama sibuk kuliah,” sahut Gabby membenarkan perkataan Devi. “Lagian, elo juga belagu Dev, mentang-mentang udah kuliah, nggak pernah kontak gue lagi.” Devi terkekeh mendengar omelan sahabatnya. Dia memang sudah berteman dengan Gabby sejak mereka di SMA. Jadi, dia sudah terbiasa mendengar ocehan sahabatnya. “Bukan nggak mau, masalahnya tugas kuliah gue kayak kerja rodi, banyak banget. Emangnya elo yang kuliahnya enak,” ujar Devi mencari pembenaran. “Lagian, gue tuh sekarang udah nggak tinggal bareng tante lagi. Gue sekarang ngekost.” “Oh ya? Kenapa? Bukannya lebih enak tinggal sama tante lo? Secara di sana nyaman, dan makan lo terjamin.” “Guenya nggak betah By, pengen belajar mandiri aja. Untung nyokap sama bokap ngijinin.” “Enak lo bisa tinggal sendiri. Kalo gue mana bisa begitu. Nyokap nggak akan ngijinin.” “Kalo gitu, elo nanti nginep aja di kost gue, gimana?” “Boleh juga tuh usul lo,” ujar Gabby antusias. “Nantilah, gua bilang sama nyokap dulu. Ngomong-ngomong, besok mau ke mana? Gue kangen makan mie baksonya Mas Kiran.” “Boleh juga, dari sana baru nyari tempat nongkrong, gimana?” sahut Devi bersemangat. “Bolehlah,” sahut Gabby. “Mau jam berapa?” “Dari pagi aja, biar bisa seharian.” “Oke, elo yang ke rumah gua, apa mau gue jemput?” Devi mendengkus geli mendengar perkataan Gabby. “Jemput? Gaya banget lo By, kayak yang punya mobil aja.” “Emang punya, makanya gue bisa ngomong,” sahut Gabby santai. Devi terdiam sejenak mendengar perkataan Gabby yang sangat di luar dugaan. Beberapa bulan tidak bertemu dan komunikasi, banyak hal yang sudah terjadi pada sahabatnya. “Ya kalo gitu, elo aja yang jemput gue. Lumayan banget bisa ngirit ongkos.” “Oke, jam sembilan gue udah di tempat kost lo ye. Habis ini kirimin alamat kost lo, oke?” “Sip.” Setelah memutuskan sambungan telepon, Gabby langsung mendapat pesan dari Devi berisi alamat kost sahabatnya. Dia tersenyum puas karena ternyata tempat tinggal Devi tidak terlalu jauh dari rumahnya. “Sekarang gimana caranya gue bisa pergi sendiri tanpa perlu ada Levin yang ngintilin.” Gabby mencubit dagunya dan memikirkan alasan yang tepat untuk diberikan pada kekasihnya, supaya pemuda itu tidak memaksa untuk ikut. Saat sedang berpikir, pintu kamarnya diketuk dari luar. “Siapa?!” teriak Gabby yang merasa terganggu. “Aku Kak,” sahut Reni dari depan kamar Gabby. “Masuk aja,” ujar Gabby sambil menyeringai lebar. Dia tidak perlu lagi mencari alasan untuk memuluskan jalan pergi bersama dengan Devi. Alasan itu datang dengan sendirinya ke sini. Gabby menatap Reni dengan senyum lebar menghiasi wajah cantiknya. “Kenapa?” Reni duduk di tempat tidur Gabby dan menatap kakaknya. “Kak, besok ada acara nggak?” “Kenapa?” Gabby semakin gembira mendengar pertanyaan Reni. dapat dipastikan, adiknya membutuhkan pertolongannya, dan itu dapat dijadikan alasan untuk membuat Levin percaya dan tidak menghalangi dia yang ingin pergi dengan Devi. “Tolong anterin aku nyari buku dong, mau nggak? Masalahnya besok mama ada arisan, jadi nggak bisa anterin.” “Elo mau nyari bukunya di mana?” tanya Gabby pura-pura tidak bersemangat. Namun, di dalam hatinya, dia bersorak kegirangan. “Bebas sih,” sahut Reni. “Kakak mau kan?” “Tapi ada syaratnya,” sahut Gabby cepat. “Apaan? Jangan yang aneh-aneh aja.” “Besok kan gue mau pergi juga sama Devi, elo ikut sekalian aja gapapa, tapi ….” Reni yang sejak tadi memperhatikan raut wajah Gabby, mulai merasa curiga dengan sikap kakaknya itu. “Kok aku ngerasa bakal dimanfaatin ya? Syarat Kakak nggak bakal bikin aku kena masalah kan?” “Nggaklah, tenang aja.” Gabby menyeringai lebar pada Reni. “Elo cuma perlu bilang sama Levin kalo besok mau minta dianterin nyari buku sama gue. Gampang kan?” “Emang nggak akan jadi masalah?” Reni sedikit keberatan dengan syarat yang diajukan Gabby. Bukan dia tidak mau, akan tetapi Reni tidak ingin terlibat masalah jika terjadi sesuatu antara Gabby dan Levin. “Kalo Kak Levin marah gimana?” Gabby berdecak gusar mendengar perkataan Reni. “Makanya elo yang kirim pesen, dan bilang ke dia.” Reni memandang kakaknya dengan seksama. Sejak awal, Reni sebenarnya kurang setuju Gabby menjalin hubungan dengan Levin. Entah mengapa, Reni tidak suka dengan tatapan mata pemuda itu, seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Namun, sebagai adik, dia lebih memilih diam dan tidak ingin mencmpuri urusan pribadi Gabby. “Kok Kakak betah sih pacaran sama orang kayak gitu? Apa nggak cape segala sesuatu mesti ngelapor?” Reni memang baru kelas sepuluh, akan tetapi dia juga tidak buta untuk bisa melihat kalau Levin itu adalah seorang pencemburu dan selalu mengekang kakaknya. Gabby mengangkat bahu tidak peduli dan berujar santai. “Namanya juga cinta, dan Levin takut gue pergi, makanya begitu.” “Ya tapi nggak sampe kayak gitu juga kali.” Reni membantah pernyataan yang diberikan Gabby. “Namanya juga baru pacaran Kak, belum ada hak juga kali ngekang sampe segitunya. Nanti ya, lama-lama, Kakak nggak diijinin pergi sama Kak Alex.” “Nggak mungkin lah,” sahut Gabby gusar. “Levin tau kok gue tuh udah sahabatan lama banget sama Alex, nggak mungkin ngelarang.” “Kalo ternyata ngelarang gimana?” tantang Reni. “Ya gua nggak mau lah,” sahut Gabby dongkol. “Gini-gini ya, gua tuh nggak sepenuhnya nurut sama Levin. Ada hal-hal yang kalo menurut gua masuk akal ya gue ikutin, tapi kalo nggak ya gue bantah.” “Baguslah kalo bisa gitu,” ujar Reni setengah percaya. Dia tahu seperti apa Gabby jika sudah berhubungan dengan masalah perasaan. Kakaknya akan seperti b***k yang menuruti semua permintaan orang yang disuka, entah itu teman atau bahkan hanya sekedar kenalan biasa. “Aku cuma nggak mau liat Kakak jadi berubah aja dan nggak punya jati diri karena ngikutin semua maunya Kak Levin.” “Iya, tenang aja. Gua juga tau kok mesti gimana.” Gabby mengambil ponsel milik Reni dan menyodorkan ke arah adiknya. “Nih, mending sekarang elo kirim pesen ke Levin.” *** “By, kamu jadi pergi sama Reni?” tanya Abimanyu yang sedang menonton berita di televisi di ruang keluarga. “Jadi Pa, ini udah mau jalan. Kenapa?” “Masih ada uang?” tanya Abimanyu lagi. “Masih sih,” sahut Gabby sambil meringis. “Tapi kalo Papa mau nambahin, Gabby nggak akan nolak, malah akan menerima dengan senang hati.” Abimanyu terkekeh mendengar ucapan putrinya. Sementara Helen hanya menggeleng pasrah melihat kelakuan Gabby. Dapat dipastikan, sebentar lagi Abimanyu akan memberikan apa yang diinginkan Gabby. Seperti dugaan Helen, suaminya berdiri dan berjalan ke kamar. Tidak lama kemudian, Abimanyu keluar sambil membawa uang di tangan dan memberikan pada Gabby. “Banyak amat Pa?” Gabby terkejut setelah menghitung jumlah uang yang diberikan ayahnya. “Bawa aja, dan seneng-seneng sama Reni dan Devi.” Gabby menyeringai lebar mendengar perkataan Abimanyu. Mana mungkin dia menolak rejeki mendadak yang diberikan ayahnya. Dengan senyum lebar menghiasi wajahnya, Gabby memeluk Abimanyu dengan erat. “Makasih Pa,” ujarnya samar karena berada dalam dekapan Abimanyu. “Papa memang yang terbaik.” Helen tersenyum kecil melihat kedekatan antara Gabby dan Abimanyu. Jika ada yang bilang ketika sudah beranjak dewasa, anak perempuan akan merasa malu dan risih saat bersama ayah, itu semua tidak berlaku untuk Gabby. Dia tetap manja dan tidak malu jika pergi berduaan saja dengan Abimanyu. “Kak, mau jalan sekarang?” tanya Reni yang baru datang dan berdiri di samping Abimanyu. Gabby menguraikan pelukan Abimanyu, akan tetapi tangannya masih melingkari pinggang ayahnya. “Emang elo udah siap?” “Udah.” Melihat Reni, Abimanyu melepaskan sebelah tangannya dan menarik bahu putri bungsunya. Dia memeluk kedua putrinya dengan erat sambil menciumi puncak kepala Gabby dan Reni secara bergantian. “Pelukannya udah dulu,” ujar Abimanyu setelah puas menikmati saat manis bersama kedua putrinya. “Kalian lebih baik berangkat sekarang. Nggak lama lagi jalanan pasti macet.” “Siap Pa,” sahut Gabby dan Reni bersamaan. “Ma, kita pergi dulu ya.” Gabby dan Reni pamit pada Helen sambil melambaikan tangan. Gabby dan Reni meninggalkan ruang keluarga dan berjalan ke depan. Setelah berada di mobil, Gabby mengendarai mobil menuju tempat kost Devi. Saat hampir tiba di rumah pondokan sahabatnya, dia melihat Devi sudah berdiri di tepi jalan. Gabby menghentikan mobil di samping Devi dan membiarkan sahabatnya masuk dan duduk di bagian belakang “Gile bener deh, ini beneran mobil lo By?” tanya Devi setelah mobil meninggalkan tempat kostnya. “Hm, kenapa?” “Baru? Orisinil dari dealer?” “Hm.” “Om Abi beneran keren banget dah,” ujar Devi tanpa menutupi rasa irinya. “Gue aja minta-minta ke bokap, kagak dibeliin, eh malah elo yang dapet.” “Gua sih nggak minta, tapi bokap yang langsung beliin.” “Enak banget ya jadi elo,” ujar Devi pelan. “Bokap sama nyokap sayang banget sama elo. Segala yang elo mau pasti dikasih. Gua kadang iri sama elo By.” Gabby memandang Devi melalui spion tengah. Dia iba melihat wajah sahabatnya yang berubah sedih. “Jangan gitu Dev, nggak semua yang gue mau selalu dapet kok. Kalo kata bokap, bersyukur aja buat semua yang udah kita punya.” Devi tidak menjawab perkataan Gabby. Dia memilih diam dan memandang keluar melalui jendela. Tidak ada lagi yang berbicara, semua sibuk dengan pikirannya masing-masing hingga tiba di mall. Hal pertama yang dilakukan Gabby adalah menemani Reni mencari buku yang diperlukan adiknya. Sementara Reni memilih buku, dia pergi ke bagian buku memasak dan melihat-lihat buku resep di sana bersama Devi. Setelah semua urusan selesai, mereka bertiga mendatangi food court untuk mengobrol sambil menikmati makan siang. “Gimana kuliah elo By? Lancar?” tanya Devi setelah mereka memesan makanan. “Lumayan lancar,” sahut Gabby sambil memandang sekeliling mereka. “Elo sendiri? Udah nemu gebetan?” “Ya lumayanlah, cuma stress aja, banyak tugas,” sahut Devi sambil tersenyum malas. “Terus gebetan? Udah ada yang diincer?” tanya Gabby lagi karena Devi belum menjawab pertanyaannya itu. “Ada sih, cuma gue juga belum banyak dapet info tentang itu orang. Tapi asli, kakak kelas gue ganteng banget.” Devi menangkupkan kedua tangannya di pipi sambil mengedip genit pada Gabby. “Genitnya kumat kan.” “Biarin amat, daripada elo masih ngejomblo terus sampe sekarang,” “Kata siapa?” sela Gabby cepat. “Eh? Elo udah punya gebetan?” “Bukan gebetan Kak Dev, Kak Gabby malah udah resmi pacaran.,” ujar Reni mewakili kakaknya. “Serius lo By? Kapan? Sama siapa? Edan banget sih, nggak ketemu sekian bulan, banyak banget kabar kejutan dari elo.” Devi menggeleng takjub dengan semua hal yang baru diketahui lagi tentang Gabby. “Elo nanya apa interogasi sih? Banyak banget, diberondong semua,” ujar Gabby dengan wajah tersipu. “Oke, kalo gitu gua nanyanya satu-satu,” sahut Devi yang tidak ingin melewatkan kesempatan mengetahui siapa pemuda yang dipacari sahabatnya. “Siapa nama pacar lo?” Devi menatap tanpa kedip pada Gabby. “Levin,” sahut Gabby yang tidak dapat menutupi rasa bahagianya. “Gue ketemu dia di tempat kursus bikin kue enam bulan yang lalu, dan pacarannya baru sekitar tiga bulanan lah.” “Edan!” Devi berseru takjub dengan informasi yang baru dikatakan Gabby. “Cakep nggak anaknya? Tapi kok cowok belajar bikin kue juga sih? Umurnya berapa?” Gabby mengambil ponsel dan menunjukkan foto Levin pada Devi. “Wuih …, cakep banget nih cowok,” ujar Devi. “Serius ini tuh pacar lo? Gua juga nggak nolak kalo dapet pacar yang model begini sih.” Mata Devi terpaku pada foto Levin yang terlihat sangat gagah serta tampan. “Kapan-kapan, boleh dong gue kenalan sama pacar lo?” tanya Devi dengan senyum penuh arti menghiasi wajahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD