First Kiss

1922 Words
“Gab, elo dijemput tuh,” ujar Sonya, salah satu teman kuliah Gabby. Gabby yang sedang mengerjakan tugas di kantin, mengangkat wajah dan menatap bingung pada Sonya. “Jemput gue? Siapa?” Sonya duduk di seberang Gabby, mengangkat bahu tidak peduli dan kembali berujar. “Gue juga nggak kenal, tapi orangnya masih muda, dan ganteng pula.” Gabby mengernyit mendengar perkataan Sonya. Siapa kira-kira yang menjemputnya. Rasanya mustahil kalau Levin, karena kekasihnya pasti masih bekerja di toko, dan belum waktunya pulang. “Rambutnya?” tanya Gabby mencoba mencaritau siapa yang menjemputnya. Sesaat, dia berharap itu adalah Alex. Sonya mencoba mengingat pemuda yang berbicara padanya dan menanyakan Gabby. “Pendek dan rapi. Pokoknya keren abis lah.” Sonya mengacungkan kedua ibu jarinya ke arah Gabby. Gabby langsung mengerti siapa orang yang datang ke kampus dan menjemput dirinya. “Mau ngapain Levin ke sini? Dia kan tau gue bawa mobil. Nggak bener nih kalo begini.” Gabby berbicara sendiri dengan suara pelan. Gabby membereskan barang-barangnya dan bergegas meninggalkan kantin. Dia harus secepat mungkin mendatangi Levin supaya pemuda itu tidak marah. Gabby berlari secepat yang dia bisa menuju halaman kampus, di mana Levin menunggu. Gabby melihat Levin berdiri di taman kampus dengan kedua tangan diselipkan ke dalam saku celana. Dia menghampiri pemuda itu yang berdiri membelakangi dan berdiri di samping Levin. “Kenapa kamu ke sini?” Levin menoleh dan tersenyum saat melihat Gabby datang. “Mau jemput kamu, emang mau apa lagi.” Levin memamerkan senyum lebar yang dia tahu selalu mampu membuat Gabby senang. “Tapi aku kan bawa mobil dan bisa pulang sendiri? Lagian motor kamu gimana? Nggak mungkin ditinggal di sini kan? Mobil aku juga nggak mungkin.” Senyum Levin semakin lebar mendengar perkataan Gabby. Sebenarnya, dia memang sudah merencanakan hal ini sejak beberapa hari. “Kamu tenang aja,” ujar Levin lembut. “Aku sengaja pulang cepet dan nggak bawa motor biar bisa pulang bareng kamu.” “Eh?” Gabby terkejut mendengar penjelasan Levin barusan. Dia tidak menyangka, demi bisa pulang bersama, kekasihnya sengaja pulang cepat dan rela mengeluarkan uang lebih untuk membayar kendaraan umum. Semua hanya supaya bisa pulang bersama. Hati Gabby meleleh menyadari betapa besar cinta Levin untuknya. “Bukan aku nggak mau pulang sama kamu Lev,” ujar Gabby merasa bersalah. “Masalahnya, aku masih ada tugas dan mau ngerjain bareng temen-temen. Jadi pasti bakalan lama, mungkin malem baru pulang.” “Nggak masalah,” sahut Levin lembut. “Aku bisa nunggu di sini. Kamu santai aja dan selesaiin aja tugas kamu.” “Yakin gapapa?” tanya Gabby terkejut karena Levin sama sekali tidak gusar ataupun marah dengan ucapannya barusan. “Iya.” Levin mengangguk untuk meyakinkan Gabby kalau dirinya tidak masalah menunggu gadis itu. Gabby tersenyum mendengar perkataan Levin. Hatinya lega karena dia tetap bisa menyelesaikan tugas bersama teman-temannya. “Ya udah, kalo gitu aku balik ke dalem dulu.” Gabby berbalik dan meninggalkan Levin yang tetap berdiri di tempatnya. Sebenarnya, Levin sangat gusar karena Gabby lebih memilih tetap berada di kampus dan mengerjakan tugas ketimbang pulang dengan dirinya. Namun, demi dapat pulang dengan gadis itu, dia rela menunggu, walaupun itu akan memakan waktu yang cukup lama. Levin bersikeras menunggu Gabby karena dia ingin merasakan naik mobil Gabby. Bahkan, jika memungkinkan, Levin akan membujuk kekasihnya untuk mengijinkan dia mengemudi. Dia ingin menikmati sensasi memegang kemudi dengan tangannya sendiri. Tidak masalah jika tidak memiliki mobil karena memang tidak mampu untuk membeli barang mewah seperti itu. Toh, sekarang dia memiliki seorang kekasih yang berasal dari keluarga berada. Dia bisa memanfaatkan Gabby untuk menikmati kemewahan yang belum pernah dicicipi seumur hidupnya. Karena itu, dia akan bersikap sebaik mungkin pada Gabby supaya dapat memenuhi keinginannya. Levin mengembuskan napas dan berjalan ke arah bangku taman. Dia duduk di sana, dan tidak mempedulikan keadaan sekitar. Untuknya, suasana sepi dan hening sangatlah menyenangkan. Dia dapat memikirkan banyak hal, serta menyusun rencana lain supaya dapat terus bersama Gabby untuk waktu yang sangat lama. Levin menunggu di taman selama hampir tiga jam tanpa melakukan apapun, selain berdiam diri dan berpikir. Dia juga tidak ambil pusing saat beberapa orang yang lewat dan menatapnya dengan pandangan aneh. Sekitar pukul tujuh malam, Gabby berlari kecil menghampiri Levin dan berdiri di hadapan kekasihnya. “Lev, maaf banget ya. Kamu cape? Maaf banget aku lama, soalnya tadi mesti nunggu temen dulu.” Levin memandang Gabby dan tersenyum lembut pada kekasihnya. “Gapapa, aku beneran nggak masalah. Kamu udah selesai?” “Udah, dan langsung ke sini, takut kamu bosen.” Levin berdiri dan meraih Gabby ke dalam pelukannya. Dia mengelus lembut punggung kekasihnya. “Aku beneran gapapa By.” Levin mengurai pelukan dan mengecup kening Gabby. “Kita pulang sekarang? Kamu laper? Mau makan dulu?” Gabby tersenyum lebar mendengar perkataan manis Levin. Dia senang karena pemuda itu tidak marah padanya, bahkan pemuda itu sangat perhatian dan lembut. Gabby sangat menyukai jika Levin sedang bersikap ini. Semua terasa begitu manis dan menyenangkan, dan membuat dia ingin lebih banyak menghabiskan waktu bersama Levin. “Kamu mau makan apa?” tanya Gabby sambil menatap penuh cinta pada Levin. Levin terkekeh mendengar pertanyaan Gabby. “Kok nanya aku? Mestinya aku yang nanya kamu mau makan apa? Kalo aku kan bisa makan segala jenis makanan, beda sama kamu. Jadi, mending kamu yang tentuin mau makan apa.” Levin mengelus pipi Gabby dengan lembut. Gabby tersipu menerima perlakuan manis dari Levin. Dia memegang tangan Levin yang masih berada di wajahnya, kemudian menatap pemuda itu. “Aku boleh bilang sesuatu nggak?” “Kamu mau bilang apa?” “Aku seneng banget kalo kamu manis dan lembut kayak gini. Bisa nggak kalo kamu kayak gini terus?” Levin tersenyum lembut mendengar permintaan Gabby. “Aku bisa kok kayak gini terus asal kamu selalu nurut sama aku.” Gabby mengerucutkan bibir mendengar perkataan Levin. “Emang pernah aku nggak nurut?” Levin menjawil puncak hidung Gabby dengan gemas. “Kamu itu hobi ngebantah omongan aku, dan aku nggak suka.” Gabby menepis tangan Levin dan menjawab perkataan Levin. “Ye, kan kalo aku bener, ya harus ngomong lah. Nggak mungkin ngikutin semua omongan kamu kalo itu nggak bener.” Seketika, Levin gusar mendengar jawaban Gabby yang jelas-jelas menentang keinginannya. Namun, dia berusaha menahan amarahnya dan mencoba tetap bersikap hangat dengan terus memikirkan apa yang akan didapatkan dari Gabby. “Iya, iya, tapi kalo mau protes, ngomongnya baik-baik ya, bisa kan? Jangan ketus kayak biasanya.” Gabby meringis mendengar sindiran Levin. “Aku coba ya,” ujar Gabby sedikit manja. “Tapi kalo lagi lupa, ya maapkan aja. Dari dulu kan aku emang udah begini, jadi susah kalo langsung berubah.” Levin mengangguk pelan, mencoba untuk bersikap pengertian pada Gabby. “Iya By. Sekarang kita ke mobil kamu terus nyari makan, oke?” *** “Lev, kamu mau langsung pulang, apa mau masuk dulu?” tanya Gabby setelah Levin memarkir mobil di pekarangan rumahnya. “Kalo boleh, aku masih mau ngobrol sama kamu By,” ujar Levin lembut. “Kita udah lama juga kan nggak ada waktu buat berduaan.” Gabby langsung tersenyum lebar mendengar perkataan Levin yang ternyata sesuai dengan yang diharapkan. “Kamu tau aja kalo aku masih kangen sama kamu. Kalo gitu turun yuk, kita ngobrol di teras.” Gabby membuka pintu dan turun dari mobil sambil tersenyum lebar. Dia berjalan ke teras dan memilih duduk di undakan supaya dapat berdekatan dengan Levin. Tidak lama kemudian, Levin datang dan duduk di samping Gabby dan menyerahkan kunci mobil pada gadis itu. Tanpa ragu, dia melingkarkan lengan di punggung Gabby dan menarik gadis itu supaya lebih mendekat, dan akhirnya merangkul kekasihnya. “By, aku boleh tanya sesuatu?” ujar Levin setelah saling diam selama beberapa saat. “Tanya aja,” ujar Gabby. “Kalo bisa aku jawab, pasti aku jawab.” “Setelah lulus kuliah kamu mau gimana? Kerja di hotel? Kafe? Atau gimana?” “Belum tau,” sahut Gabby santai. “Aku sih punya mimpi pengen punya toko kue sendiri, tapi itu kan butuh modal yang lumayan gede. Mungkin, aku bakal kerja dulu sementara waktu sambil ngumpulin uang. Kenapa gitu?” “Kenapa nggak minta aja sama papa kamu? Aku yakin, papa kamu lebih dari mampu buat ngasih toko ke kamu.” Gabby mengerucutkan bibir mendengar ucapan Levin. “Aku nggak mau selalu minta bantuan papa. Untuk masalah toko, aku mau itu semua jadi karena jerih payah aku sendiri.” “Tapi itu susah loh,” ujar Levin tidak sependapat dengan pendapat Gabby. “Kamu perlu waktu bertahun-tahun buat bisa punya uang yang diperluin buat beli tempat buat dijadiin toko kue.” “Aku tau kok,” sahut Gabby tenang. “Tapi aku nggak mikir langsung beli. Aku maunya sewa tempat dulu sambil ngumpulin uang. Kalo misalnya nanti kebeli dan jadi punya aku ya bagus. Tapi kalo enggak pun, nggak masalah kan nyewa terus.” Levin merasa tidak puas mendengar jawaban Gabby. Tadinya, dia berharap kalau gadis itu akan meminta bantuan pada Abimanyu. Dengan begitu, dia akan membujuk Gabby untuk membiarkan dirinya yang mengawasi pembangunan toko, sehingga dapat menikmati sedikit keuntungan. Namun, rencananya kembali gagal karena ternyata Gabby memiliki pemikiran sendiri. Gabby yang merasa aneh dengan pertanyaan Levin, tanpa segan bertanya pada kekasihnya. “Ngomong-ngomong, kenapa kamu pengen tau tentang rencana aku?” Levin tersenyum kikuk dengan pertanyaan yang diajukan Gabby. Dia berpikir cepat mencari jawaban yang tepat supaya gadis itu tidak curiga. “Gapapa kan kalo aku tau tentang rencana kamu. Kan aku ini pacar kamu, jadi nggak ada salahnya kan buat tau?” “Iya sih, cuma kan aneh aja,” sahut Gabby masih belum puas dengan jawaban yang diberikan Levin. “Lagian aku ini kan baru masuk kuliah, jadi masih rada lama buat mikirin itu. Yang harusnya kamu tanyain itu, aku mau praktek kerja di mana.” “Emang kapan kamu praktek? Bukannya masih lama?” “Nah itu tau,” ujar Gabby. “Maksud aku itu, mending nggak usah bahas tentang toko kue dulu, tapi mikirin satu-satu aja, bertahap. Toh, kalo udah waktunya, baru dipikirin dan dijalanin.” Untuk sesaat, Levin menatap tajam ke arah Gabby yang berbicara seenaknya. Setelah itu, dia bersikap biasa lagi seperti semula. “Maaf ya kalo aku nanyanya kelewatan,” ujar Levin dengan nada menyesal. “Aku tuh cuma seneng aja karena pacar aku bisa kuliah dan bisa wujudin mimpinya, nggak kayak aku yang harus kerja buat nyukupin kebutuhan di rumah. Harus berhenti berharap karena nggak ada biaya buat kuliah.” Gabby merasa tidak enak mendengar perkataan Levin barusan. Dia melepaskan tangan Levin yang berada di bahu. Sebagai gantinya, Gabby memeluk lengan Levin dengan erat. “Maaf, udah bikin kamu sedih. Aku nggak maksud bikin kamu jadi sedih karena nggak bisa kuliah. “Gapapa By, aku gapapa kok,” ujar Levin dengan suara lembut. Dia melepaskan tangan Gabby dan kembali mendekap gadis itu. “Aku udah ikhlas kok, dan udah ngerelain mimpi aku. Toh sekarang aku juga udah kerja di kitchen toko kue, seperti yang aku mau. Jadi, sama aja kan? Aku malah bisa banyak belajar di sana.” Dalam pelukan Levin, Gabby menengadah dan menatap Levin. Kebetulan, pemuda itu juga menundukkan kepala sehingga wajah mereka jadi sangat dekat, sehingga dapat mendengar napas masing-masing. Levin yang melihat sebuah kesempatan,perlahan mendekatkan wajah dan mengecup lembut bibir ranum Gabby. Gabby terdiam dalam pelukan Levin, terkejut denga perbuatan kekasihnya. Saat sadar, dia menarik kepalanya dengan wajah panik. Gabby memegang bibir yang habis dikecup Levin. “Kamu jaat ih,” gerutu Gabby. “Kenapa?” tanya Levin tanpa merasa bersalah. “Kenapa nggak bilang mau nyium? Ini first kiss aku tau, dan kamu ngambil nggak bilang-bilang dulu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD