Hadiah Membawa Keributan

2086 Words
“Kak! Kak Gabby! Bangun!” Reni mengetuk pintu kamar Gabby dengan keras. Dia menunggu sebentar sambil menempelkan telinganya ke daun pintu. Karena tidak ada sahutan dari dalam, Reni kembali mengetuk pintu, kali ini lebih keras dari sebelumnya. “Kak Gabby! Bangun Ih!” Gabby yang belum sepenuhnya bangun, mengambil bantal dan menutup telinganya. Saat hampir terlelap kembali, terdengar jelas suara pintu digedor dari luar, disertai teriakan Reni. “Kak! Buruan bangun!” Gabby membuka matanya yang masih terasa berat sambil menggerutu. “Duh berisik banget sih itu anak!” Gabby yang gusar karena tidurnya terganggu, melempar bantal dan beringsut bangun. Dengan terpaksa, Gabby turun dari tempat tidur dan berjalan ke pintu. “Apaan sih?! Berisik tau! Teriak-teriak nggak jelas! Kamu mau apaan?!” Gabby menyemprot Reni dengan omelan begitu pintu kamar terbuka. Reni meringis mendengar omelan Gabby. “Jangan marah dulu,” ujar Reni sambil meleletkan lidahnya pada Gabby. “Kakak ke depan gih, liat ada apa di sana. Kalo udah liat, pasti nggak akan marah lagi.” Reni berbalik dan meninggalkan Gabby yang masih berdiri dengan mata mendelik. Dia memilih ke dapur untuk menemani Helen yang sedang membuat kudapan. Sambil mengentakkan kaki, Gabby berjalan keluar untuk melihat apa yang dimaksud oleh adiknya. Di teras, Gabby tertegun saat melihat sebuah mobil sedan kecil berwarna abu-abu metalik dan tampak masih baru terparkir dengan cantik. Dia menuruni undakan dan mengelus bagian kap mobil dengan hati-hati. “Kamu suka nggak?”Terdengar suara lembut Abimanyu dari belakang bertanya pada Gabby. Gabby menoleh dan melihat Abimanyu tersenyum lebar ke arahnya. “Ini mobil siapa Pa?” “Suka nggak?” Abimanyu tidak menjawab pertanyaan Gabby, malah balik bertanya pada putrinya. Gabby tersenyum lebar mendengar pertanyaan Abimanyu. “Suka banget, warnanya juga warna kesukaan Gabby. Ini tuh punya siapa Pa? Kenapa diparkir di sini?” “Menurut kamu, itu punya siapa? Nggak mungkin kan ada orang titip di sini? Apalagi kata kamu, itu warna kesukaan kamu.” Gabby memandang Abimanyu, mencoba mencerna perkataan ayahnya. Dia memerlukan sedikit waktu untuk akhirnya menyadari maksud ucapan Abimanyu. “Ini punya Gabby?” tanyanya dengan mata berbinar. “Hm.” Abimanyu mengganguk pelan. Kedua bola mata Gabby terbeliak lebar melihat anggukkan Abimanyu. Dia masih belum percaya sepenuhnya pada ucapan ayahnya dan bertanya sekali lagi untuk menegaskan. “Papa serius? Ini buat Gabby? Dalam rangka apa? Ultah Gabby kan masih lama?” Abimanyu terkekeh melihat antusias di kedua bola mata putri sulungnya. “Nggak dalam rangka apa-apa,” sahut Abimanyu tenang. “Menurut Papa sama mama, emang udah waktunya kamu punya kendaraan sendiri. Kamu kan sekarang udah kuliah, dan nggak mungkin dianter jemput terus sama mama. Jadi, Papa sama mama sepakat ngasih kamu itu.” Gabby berlari ke arah Abimanyu dan memeluk ayahnya dengan erat. Dia tidak menyangka jika kedua orang tuanya akan membelikan sebuah mobil baru untuk dirinya. “Makasih Pa.” Gabby mengecup pipi Abimanyu sambil tersenyum lebar. “Hadiah kejutannya bagus banget, dan Gabby beneran suka.” Abimanyu mengelus sayang kepala Gabby. Kebahagiaan putrinya adalah segalanya untuk Abimanyu. Dia memang bekerja keras untuk mencukupi semua kebutuhan keluarga kecil miliknya. Apapun akan dia lakukan untuk bisa memberi kehidupan yang layak bagi istri dan kedua putri kesayangannya. “Makasihnya jangan cuma sama Papa, tapi ke mama juga.” “Siap.” Gabby masuk ke dalam rumah sambil berlari kecil menuju dapur. Tiba di dapur, Gabby melihat Helen sedang mengaduk sesuatu di pantry. Dengan langkah ringan dia berlari dan memeluk Helen dari belakang dengan erat. “Mama cantik, makasih ya hadiahnya.” Helen tersenyum lebar mendengar perkataan Gabby. Timbul niat untuk menjaili putrinya. “Kalo lagi seneng hatinya, bilang Mama cantik. Coba kalo lagi kesel? Kamu bilang Mama apa?” Gabby mengerucutkan bibir mendengar ledekan Helen. Dia semakin mengeratkan pelukannya dan menjawab Helen. “Tetep cantik dong, itu nggak akan pernah berubah.” “Bisa aja kamu By.” Helen memandang putrinya dari samping. “Udah dicoba belum mobilnya?” Gabby menggeleng lesu. “Belum, emang mau dicoba ke mana? Lagian mau sama siapa?” Dengan tangan kirinya, Helen menjawil puncak hidung Gabby. “Kenapa nggak keluar sama Alex? Biasanya kan sama dia.” “Ah, betul juga.” Gabby mengecup kilat pipi kanan Helen, kemudian bergegas meninggalkan dapur untuk berganti pakaian dan membasuh wajah. Selesai berganti pakaian dan menggosok gigi, Gabby berlari ke sebelah untuk menemui Alex. Di teras, dia melihat Simon dan Tanti sedang bersantai berduaan. Dia mendekat sambil tersenyum lebar pada orang tua Alex. “Pagi Pi, Bun.” Melihat kedatangan Gabby, Simon langsung bertanya. “Pasti mau nyari Alex, iya kan?” “Kok Papi tau aja sih?” Gabby meringis malu mendengar ledekan Simon. “Tau dong, masa iya kamu mau cari Papi atau Bunda, nggak mungkin banget kan?” Tanti tertawa mendengar gurauan suaminya yang memang sangat menyayangi Gabby dan sudah menganggap gadis itu seperti anaknya sendiri. “Alex ada di belakang, lagi mandiin Snowy. Kamu ke sana aja.” “Siap Bun.” Gabby berlari masuk ke dalam rumah, langsung menuju ke halaman belakang. Dari teras belakang, dia dapat melihat Alex yang baru selesai mengeringkan tubuh Snowy. “Snowy!” seru Gabby sambil melambaikan tangan ke arah anjing peliharaan Alex. Mendengar panggilan Gabby, Snowy, anjing jenis Samoyed milik Alex langsung melepaskan diri dan berlari ke arah gadis itu. Gabby memeluk Snowy dengan erat dan membiarkan anjing itu menciumi wajahnya. “Ngapain ke sini?” tanya Alex sambil membawa handuk milik Snowy. “Mau ngajak elo jalan-jalan,” sahut Gabby sambil terus mengelus Snowy. “Temenin gue yak, mau kan?” “Mau ke mana emang?” tanya Alex sembari duduk di samping Gabby. Alex sama sekali tidak keberatan diminta untuk mengantar, menjemput Gabby, atau melakukan semua keinginan gadis itu. Baginya, Gabby akan selalu menjadi prioritas utama dalam hidupnya, dan tidak akan pernah berubah. “Entah, muter-muter aja, sambil nyoba mobil dari papa.” Alex mengernyit mendengar ucapan Gabby. “Mobil? Papa Abimanyu beliin kamu mobil?” “Hm. Kenapa?” Gabby menatap Alex sekilas. “Gapapa,” sahut Alex tenang. “Levin tau kamu punya mobil?” lanjutnya pada Gabby. “Belum lah, kan gue dapetnya juga baru. Nanti aja ngasih taunya pas dia dateng. Kenapa gitu?” Alex menggeleng pelan. “Gapapa, cuma tanya aja.” Setelah berkenalan langsung dengan Levin, dan melihat sendiri bagaimana sosok pemuda yang menjadi kekasih Gabby, Alex merasa khawatir jika hadiah pemberian Abimanyu akan menjadi permasalahan antara gadis itu dengan Levin. Alex merasa jika Levin tidak akan suka mengetahui kalau Gabby sekarang memiliki kendaraan sendiri. Mengingat bagaimana posesifnya pemuda itu pada Gabby, kemungkinan besar, Levin akan marah karena tidak dapat memonopoli waktu gadis itu lagi seperti biasanya. “Semoga aja nggak akan jadi masalah,” gumam Alex sambil berdiri. “Barusan elo ngomong apaan?” tanya Gabby yang tidak dapat mendengar ucapan Alex barusan. “Nggak ada,” sahut Alex tenang. “Aku mandi bentar, kamu main aja sama Snowy.” *** Levin : By, ntar kuliah jam berapa? Levin : aku jemput ya? Gabby : nggak usah Gabby : aku pergi sendiri aja Levin mengernyit tidak suka membaca pesan balasan dari Gabby. Tidak biasanya gadis itu menolak diantar olehnya. Penasaran, Levin kembali mengetik pesan untuk kekasihnya. Levin : kamu mau pergi sama siapa? Levin : sama tetangga kamu?! Gabby mengembuskan napas keras membaca pesan Levin yang terkesan mencurigai dirinya. Gabby : nggaklah Gabby : kan alex juga kuliah Gabby : aku pergi sendiri Levin semakin gusar membaca pesan Gabby. Hatinya menjadi tidak tenang dan berpikir yang tidak-tidak mengenai kekasihnya. Untuk membuktikan kecurigaannya, dia menekan nomor kontak Gabby. “Jujur sama aku, kamu kuliah sama siapa? Dianter sama siapa?!” Tanpa mengucapkan salam seperti biasanya, Levin langsung bertanya pada Gabby. Gabby mengembuskan napas mendengar nada suara Levin yang terdengar ketus di telinganya. “Aku pergi kuliah sendiri Lev.” Gabby berusaha sabar menghadapi sikap Levin yang terkadang tidak masuk akal. “Naik apa?! Kendaraan umum?! Daripada mesti desek-desekan, mending kan sama aku!” “Kata siapa aku naik kendaraan umum. Aku pake mobil.” “Mobil?!” Kening Levin berkernyit semakin dalam saat mendengar jawaban Gabby. “Mobil siapa?! Mama?” “Bukan, mobil aku sendiri. Kemarin Papa ngasih aku mobil, jadi ya aku pake lah,” sahut Gabby santai dan tidak merasa curiga sedikitpun dengan pertanyaan Levin. Levin mengepalkan sebelah tangannya mendengar perkataan Gabby. Wajahnya mengeras, sorot kebencian terpancar jelas dari kedua bola mata Levin. Seharusnya, dialah yang menikmati semua kemewahan yang diterima oleh Gabby, bukannya gadis itu. Tanpa mengatakan apa-apa, Levin memutuskan sambungan telepon. Gabby mendengkus gusar saat menyadari sambungan sudah terputus. “Ini anak, kadang pengen banget dah gue jitak! Kelakuannya kadang ajaib banget sih?!” Gabby melempar ponsel miliknya ke tempat tidur. “Nggak ada angin, nggak ada hujan, telepon marah-marah! Untung pacar, kalo bukan udah gue ocehin deh!” Gabby mengambil handuk dan berjalan ke kamar mandi. Tidak lama kemudian Gabby mulai bersiap untuk pergi kuliah. Setengah jam kemudian, dia keluar dari kamar dan berjalan ke depan. Tiba di teras, dia melihat Levin duduk di atas motor di depan pagar rumah. Gabby berjalan menghampiri Levin, membuka pagar dan berdiri di hadapan kekasihnya. Karena masih kesal dengan sikap Levin tadi, nada bicara Gabby sedikit ketus saat bertanya pada Levin. “Mau ngapain ke sini?! Kan aku bilang pergi kuliah sendiri! Masih nggak percaya?!” “Iya! Aku nggak percaya kamu mau pergi pake mobil, makanya aku ke sini. Siapa yang tau kalo ada cowok lain yang dateng terus jemput kamu!” Gabby mengentakkan kaki mendengar jawaban Levin. Tadinya dia tidak percaya dengan ucapan Alex tentang Levin yang pencemburu dan posesif. Namun, sekarang, mau tidak mau Gabby harus mengakui kalau perkataan sahabatnya itu benar. “Kamu tuh nggak percayaan banget sih jadi orang?! Kamu pikir aku cewek apaan yang gampang banget nerima dianter jemput sama orang lain?! Cemburu boleh Lev, tapi jangan keterlaluan banget deh!” Levin memperhatikan dengan seksama wajah Gabby yang dengan berani menentang matanya. Dia melihat kalau Gabby mengatakan yang sebenarnya. Levin berpikir cepat untuk mengubah topik pembicaraan. “Dalam rangka apa papa kamu ngasih mobil?” tanya Levin dengan nada biasa. “Mana aku tau,” sahut Gabby seenaknya. Dia tidak ingin memberitahu Levin alasan Abimanyu menghadiahi mobil untuknya. “Pokoknya papa bilang itu buat aku, dan aku nggak nanya-nanya juga. Yang penting buat aku itu, sekarang kalo mau kuliah, nggak perlu lagi ngerepotin mama.” “Tapi kan harusnya kamu bilang sama aku,” ujar Levin masih berusaha mengontrol emosinya mendengar jawaban Gabby yang tidak memuaskan rasa ingin tahunya. “Buat apaan?” Gabby menatap bingung pada Levin. “Nggak ada kepentingannya juga kan aku bilang ke kamu. Gunanya buat apaan? Ntar yang ada, aku malah dibilang sombong ke kamu.” “Tetep aja kamu harus kasih tau aku! Aku ini pacar kamu By, jadi aku berhak tau semuanya tentang kamu!” “Ih, aneh banget sih kamu Lev.” Gabby benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Levin saat ini. “Kalo kita udah nikah, iya aku harus selalu laporan sama kamu. Kan kita sekarang masih pacaran. Aneh banget kalo semua mesti bilang sama kamu.” “Jadi kamu nggak mau nurut sama aku?!” Levin mendelik tajam pada Gabby. Dia tidak dapat menerima bantahan kekasihnya, serta cara bicara Gabby yang terdengar ketus. Melihat tatapan mata Levin yang seperti itu membuat gabby tiba-tiba merasa takut. Tanpa disadari, Gabby mundur dua langkah ke belakang. Saat ini, Levin tampak sangat menyeramkan. Matanya seolah mau keluar dan berwarna merah. Wajahnya juga menjadi dingin dan menakutkan. “Kamu marah?” tanya Gabby dengan suara lirih. Mendengar suara Gabby, Levin tersadar dan seketika tatapan mata Levin berubah menjadi lembut kembali. Dia pun tersenyum manis pada Gabby yang terlihat sedikit gemetar. “Maaf, aku kebawa emosi By.” Levin maju mendekat untuk mengusap kepala kekasihnya. Namun, Gabby yang masih syok, tanpa sadar mundur lagi ke belakang, menghindari tangan Levin yang terulur ke arahnya. “Kenapa By? Kok kamu mundur begitu?” tanya Levin bingung. Gabby semakin terkejut melihat sikap Levin yang bisa berubah drastis hanya dalam hitungan detik. “G-gapapa,” sahutnya gugup. “Aku mesti jalan sekarang. Kamu juga mesti kerja kan?” “Hm.” Levin tersenyum lebar pada Gabby seolah-olah tidak ada sesuatu yang terjadi. “Kalo gitu aku kerja dulu ya. Kamu hati-hati nyetirnya. Kalo udah sampe kampus, jangan lupa kabarin aku.” Gabby tetap berdiri diam, walaupun motor Levin sudah hilang dari pandangan. Tubuhnya menggigil seketika saat teringat sorot mata Levin yang tampak menakutkan. “Sebenernya Levin kenapa? Kok tadi mukanya nakutin banget? Terus berubah jadi biasa lagi? Apa ada yang salah sama dia?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD