“Caca,” pekik Bu Bonita ketika melihat Caca masuk ke dalam ruangan khusus para karyawan OB.
Wanita yang menjadi senior Caca ini buru-buru merapikan diri dan melangkah mendekati Caca yang terpaku di depan pintu.
Caca sampai tak kedip melihat Pak Sigit yang buru-buru menyelinap di balik loker sana. Uumm, sepertinya sedang merapikan diri juga.
“Lihat apa kamu?” tanya bu Bonita dengan d**a yang bergerak naik turun.
Caca beralih, memerhatikan Bu Bonita. Jelas sekali jika leher wanita ini mengeluarkan keringat. Detik kemudian Caca menggelengkan kepala. “Enggak lihat,” jawabnya, mencari aman.
Bu Bonita menuding tepat di wajah Caca. “Awas kalau sampai ada yang tau. Kamu yang pertama akan saya gantung!” ancamnya.
Caca menunduk, memang nggak melihat apapun sih. Cuma lihat kalau Bu Bon duduk menyandar di pinggiran lemari, tarus pak Sigit yang ada di depannya. Pantatnya kelihatan sambil gerak nggak tau ngapain.
“Kamu kenapa sudah ke sini?” tanya Bu Bon, terdengar ketus.
Caca meneguk ludahnya. “Saya … uumm, saya ijin pulang awal, Bu.”
Bu Bonita memicing. “Pulang awal?” tanyanya tak percaya. “Kenapa? Kamu kan tercatat lembur, gantiin Uva. Udah tanda tangan persetujuan, nggak ada yang maksa kamu.”
Caca mengusap perut. “Saya mencret, Bu. Tadi di atas udah ke toilet, sekarnag kerasa lagi. Uumm, belum jadi ngepel, tapi udah ke toilet mulu,” katanya dengan meringis. Berakting nahan sakit.
Bu Bonita melirik ke perut Caca. “Ambil obat di Cs sana. Minum obat dan pulang.”
Caca menganggukkan kepala. “Makasih ya, bu Bon.”
Caca melangkah ke loker untuk ambil tasnya lalu melangkah keluar dari ruangan ini untuk pulang. Santai dia melangkah menyusuri lorong menuju basemen. Dia celingukan mencari mobil suami yang tentu saja ada di gedung bawah sini. Melihat ada orang lain di sini, Caca langsung mengendap, dia jongkok tepat di samping ban mobil yang ada di sebelahnya.
“Hampir,” kata seorang lelaki dengan tangan yang memegangi hp di telinga. “Sebentar lagi. Dua bulan aku yakin akan mulai pembangunan gudang baru di kebun itu. Aku akan memberi kabar secepatnya.”
Caca hanya diam karna dia tidak tau apa yang sedang dibicarakan orang itu.
“Saatnya tiba, aku akan memberi kode untuk mengepungnya. Membuatnya menyerahkan diri tanpa perlawanan,” katanya dengan begitu yakin.
“Hhmm.” Dan lelaki itu menarik hp dari telinga. Dia celingukan menatap ke berbagai arah. Merasa jika aman dan tak ada seorang pun, dia mulai melangkah kembali masuk ke lorong gedung.
Caca beranjak berdiri, menatap punggung berlapis jas hitam yang sudah menghilang. ‘Bukannya itu … itu lelaki yang selalu ngikutin pak Jalvas, kan?’
Tak ingin terlalu pusing memikirkan sesuatu yang dia sendiri tidak mengetahuinya, Caca memilih melanjutkan langkah. Melangkah menuju ke mobil suami yang tidak terlalu jauh. Kedua matanya melebar saat melihat kaca mobil yang terbuka, suaminya sudah duduk di kursi kemudi.
“Pak, anda—”
“Cepat masuk,” suruh Va’as tanpa menatap Caca.
Caca menoleh ke belakang, lalu menatap ke kiri kanan. Buru-buru dia mengitari mobil dan membuka pintu. Caca menutup pintu setelah dia duduk di sebelah kursi kemudi. Dia menatap ke arah barang yang diulurkan Va’as.
“Pakai,” suruh Va’as.
Mobil merah Va’as melaju pelan keluar dari basemen. Tepat di lobby gedung sana, seorang lelaki yang tadi Caca lihat di basemen berdiri mengamati. Lelaki itu terlihat awas menatap ke arah Caca yang duduk di sebelah Va’as. Sadar jika sedang ditatap, Caca menarik tidung jaket yang tadi diberikan Va’as. Dia menutup kepala dengan tudung itu dan menunduk menyembunyikan wajah.
“Pak Va’as dengan siapa?” tanya si lelaki ini, menyenggol lengan tangan Johan yang tentu mengantarkan kepulangan boss-nya.
Johan sedikit menoleh. “Kekasihnya,” jawabnya singkat dan melangkah pergi meninggalkan partner kerjanya.
Namanya Wira, dia masuk ke perusahaan terhitung dua tahun. Bisa ada di sisi Va’as dan mengikuti polah tingkah Johan bukan hal yang mudah. Sampai akhirnya dia berada di titik yang sekarang ini.
**
Caca membuka tudung jaket setelah mobil melaju jauh dari kantor tempat kerjanya. Dia menoleh, menatap jalanan di belakang sana yang tidak ada apa pun. Ini jam setengah sembilan, seharusnya dia pulang jam sembilan, tapi karna permintaan suaminya Caca jadi ijin pulang lebih awal.
Dia menoleh, melirik Va’as yang fokus menatap jalan dengan wajah santai, tapi terlihat begitu dingin. Ingin menyapa, ingin mengajak bicara tetapi sadar jika mereka berdua tidak dekat. Jadilah Caca memilih diam dan menyandarkan punggung ke kursi belakang.
Sekitar tiga puluh menit mobil merah itu memasuki halaman gedung apartemen tempat tinggal Va’as yang sudah pernah Caca kunjungi sekali.
Caca turun dari mobil, melangkah mengikuti suami tanpa diminta. Lalu ikut masuk ke dalam apartemen.
“Pakai kamar yang itu,” suruh Va’as, menunjuk ke arah kamar yang dulu ditempati Caca. Setelahnya dia ngeloyor dan menjatuhkan p****t di sofa depan tv. Melepaskan jas dan mengendurkan dasinya.
Tak memedulikan suaminya, Caca memilih melangkah masuk ke kamar yang dikhususkan untuknya. Dia melemparkan tas kusamnya ke atas ranjang dan langsung berlari masuk ke kamar mandi. Dia udah ngampet pipis sejak di kantor tadi. karna merasa gerah, Caca sekalian mandi.
Cewek kalau mandi lama. Dan tentu saja ini berlaku untuk Caca juga yang setengah jam baru selesai membasuh tubuh. Begitu air shower mati kedua mata melotot melihat bajunya yang dia geletakkan ke lantai kamar mandi. Dia jongkok, memungut baju kerjanya yang basah dan tidak mungkin untuk bisa dipakai lagi.
Dia melangkah menuju ke pintu, membuka pintu kamar mandi pelan. Melirik keadaan kamar lebih dulu. merasa jika tak ada orang, Caca melangkah keluar kamar mandi dengan bertelanjang. Dia membuka lemari kaca yang memperlihatkan tubuh putihnya yang polos.
“Hah ….” Keluhnya saat melihat lemari yang kosong, tak ada satu pun helai baju di dalamnya.
Pulang ke sini kan tanpa ada rencana, karna semua baju ada di rumah mami Iren. Dia menggigit bibir, kembali menutup pintu lemari dan melangkah ke arah ranjang. Tangannya mengambil jaket warna hitam milik Va’as yang tadi dipinjamkan.
Caca memakai jaket itu, karna memang tak ada kain lain yang bisa dia pakai. Caca menunduk, menatap jaket yang hanya menutup pahanya saja. Dia mendesah kasar karna melupakan soal baju ganti ini. Memilih melangkah menuju ke meja untuk mencari sisir, tapi ternyata nggak ada.
“Astaga ….” Keluhnya.
Caca memijit kepala dengan bibir yang digigit. Akhirnya memilih duduk di tepi ranjang menatap kedua paha putihnya yang terpampang. Kain jaketnya nggak bisa menutup sampai lutut sana. Detik kemudian Caca mengusap perut yang terasa melilit. Dia belum makan malam. Seharusnya dapat nasi bok dari kantor, tapi karna ijin pulang sebelum nasi dibagikan, Caca jadi nggak dapat.
Caca menoleh, menatap ke arah pintu kamarnya yang tertutup rapat. ‘Sekarang jam berapa ya? Pak Jalvas sudah tidur belum?’ tanyanya dalam hati.
Di kamarnya sini nggak ada jam, dia sendiri nggak punya hp. Jadi dia buta jam.
Caca beranjak ke arah pintu. Tangannya memutar handle pelan, lalu melirik keadaan luar kamar. Karna tak melihat ada Va’as, dia menongolkan kepala. Ragu untuk keluar kamar, tapi tetap keluar karna dia lapar dan haus.
Berjalan pelan, sambil celingukan mirip seperti maling. Lalu masuk ke dapur dan mematikan lampu karna dia tak mau kalau Va’as melihatnya di sini. Caca malu karna dia nggak pakai dalaman atas bawah. Bahkan pantatnya akan kelihatan jika dia tidak bergerak dengan hati-hati.
Dan di kamar sini Va’as mengusap rambutnya yang basah. Dia baru saja keluar dari kamar mandi. Merasa cukup, Va’as melemparkan handuk kecil itu ke atas meja. Dia meraih hp yang berkedip di atas ranjang. Jari telunjuknya menggeser tombol dan menempelkan barang tipis itu ke telinga.
“Hhmm,” sapanya pada si penelpon.
“Anak pemilik kebun sudah ada di tagan kita, boss.” Suara seorang lelaki di seberang telpon.
Sudut bibir Va’as tertarik ke atas. “Aku ke situ.”
“Baik, boss.”
Va’as menarik hp dan mematikan panggilan. Dia melemparkan hp itu ke atas ranjang, mulai mengacak-acak rambutnya yang sedikit panjang. Va’as membuka lemari dan mengambil kaos. Cepat dia memakainya. Memasukkan hp ke saku celana, tak lupa dengan dompet dan kunci mobilnya. Tangannya menyambar jaket yang tercantel di samping lemari dan melangkah keluar dari kamar.
Langkah kaki yang hampir menjauh dari ruanga tengah ini terhenti saat mendengar suara di arah dapur sana. Va’as jadi melirik ke arah dapur yang gelap. Dia melemparkan jaket yang belum terpakai itu ke badan sofa, lalu melangkah pelan menuju ke dapur.
Kedua mata Va’as awas menatap seseorang yang jongkok di depan lemari yang ada di sebelah kulkas. Karna ini gelap, jadi ini hanya terlihat seperti bayangan. Terlebih jaket yang Caca pakai warnanya hitam polos. Dia jongkok nyari sesuatu yang bisa dimakan, makanya kulit putihnya nggak kelihatan.
Va’as mengambil tumbler karna barang yang paling dekat untuk diraih hanya itu.
Tangan Caca yang hampir mengambil mie instan dari lemari bawah berhenti bergerak. Dia melirik belakang karna ada sekilas bayangan yang membuatnya merasa diawasi.
“Aaaa!” jeritnya.
Tepat saat Caca menoleh, Va’as melemparkan tumbler itu ke Caca. Karna menghindari lemparan, Caca terpeleset. Dia jatuh ke samping dengan posisi punggung yang menyandar ke lemari.
Mendengar jeritan seorang wanita, Va’as menekan saklar lampu, membuat lampunya menyala terang. Kedua mata Va’as jadi tak kedip melihat yang sekarang bisa dilihat.
01/09/2023-11;09