Bab7 - Terbayang

1648 Words
Melihat di mata arah tatapan Va’as, Caca langsung menutup kedua pahanya. Tangannya menarik kain jaket yang dia pakai agar menutup paha putihnya yang terlihat sampai ke bagian atas, paling atas dan mentok sana. Jelas sekali jangkun Va’as bergerak naik turun dengan kedua mata yang tak kedip. Untuk pertama kalinya di melihat barang itu secara nyata dan di depan mata. dulu zaman masih sekolah dia sering menonton vidio blue bareng sama teman-teman dan berakhir nyolo. Dan sekarang, dia melihat jelas seperti apa bentuknya. Ya, itu tadi, cukup nyata. “Kurasa kamu memang menggodaku,” kata Va’as setelah menit berlalu hanya saling diam. Caca beranjak berdiri, tangannya menarik jaket untuk menutup bagian depannya. Dia menggelengkan kepala dengan wajah malu dan tak nyaman. “Tidak, Pak. Maaf,” katanya, dia menundukkan kepala. Va’as melangkah mendekat, berhenti ketika jarak hanya beberapa kilan saja. tatapannya terarah pada bagian d**a Caca yang terlihat memuncit. Lalu bagian paha putih yang begitu kentara. “Ca, kamu istriku, kan?” Pertanyaan yang membuat Caca mendongak dengan cepat. “Tapi kita sama-sama tidak memiliki perasaan. Dan—” “Kemarin aku memberimu dua ratus juta, kan?” Kedua alis Caca menukik. “Pak ….” Dia mundur saat Va’as semakin mendekat. Tangannya memegangi tepian pantry yang ada di belakang. “Melihat yang tadi, membuatku penasaran ingin menyentuhnya.” Caca menggelengkan kepala. “Pak, saya bisa teriak!” ancam Caca. Satu alis Va’as tertarik ke atas. “Aku bisa membungkam.” Wajah Caca seperti teremas mendengar sahutan itu. “Saya akan menendang pak Jalvas kalau sampai menyentuh saya!” “Aku bisa mengikat kedua kakimu di ranjangku dan membuatku lebih leluasa melakukan apa pun.” Caca frustasi. Dia menahan nafas ketika tubuhnya sudah dipepet, membuang muka tak mau menatap Va’as yang tubuh tengahnya sudah menyentuh bagian perutnya. “Pak, ingat, Pak. Tolong diingat, Pak,” kata Caca, menahan debar ketakutan yang muncul di d**a. “Saya ini jelek, Pak. Saya nggak cantik, saya Cuma OB.” Kening Va’as jadi berlipat mendengar runtunan kalimat yang memang nyata. Iya, itu kenyataan. Caca memang OB dan tidak cantik seperti anak teman-teman maminya. Tapi … wajah alaminya begitu manis dan menarik. Gara-gara liat bagian bawah Caca tadi, Va’as jadi lupa kalau dia pernah mengatai Caca itu jelek. Hiish! Kena sekarang! Va’as memejamkan kedua mata dalam, berusaha membuang jauh bayangan yang tadi itu, tapi … nggak bisa. Bayangannya terlalu nyata dan kentara karna nggak ada penutupnya. “Pak Jalvas kan enggak mungkin menjilat ludah sendiri. Sudah ngatain saya jelek, masa’ masih mau menyentuh saya?” Tak mengatakan apa pun, Va’as balik badan dan melangkah pergi menjauh dari dapur. Melihat suaminya itu pergi, Caca menghela nafas penuh kelegaan. Tangannya menekan d**a yang detaknya luar biasa cepat. Merasa sangat beruntung karna Va’as bukan lelaki yang nafsuan seperti lelaki b***t lainnya. Va’as uring-uringan sendiri selama berjalan menuju ke basemen apartemen. Dia yang memang normal, benar-benar merasa terpancing dan merasa kepanasan. Berusaha menghapus bayangan yang tadi itu dan fokus pasa masalah bisnisnya yang sekarang lebih penting. ** Mobil merahnya memasuki kawasan pinggir hutan yang sudah lama menjadi tempat paling kotor. Gudang gelap yang gerbangnya sudah ditumbuhi rumput menjalar dan tentunya besinya sudah berkarat. Tidak akan ada satu pun orang yang tau jika gedung lawas ini masih digunakan. Seseorang membuka gerbang itu dari dalam, dia melangkah keluar dan menerima kunci mobil. membiarkan Va’as melangkah masuk dan dia menutup gerbangnya. Setelahnya dia menggantikan Va’as, melajukan mobil untuk tak meninggalkan jejak yang mencurigakan. Melihat Va’as melangkah masuk, pintu tinggi yang terbuat dari besi itu terbuka. Seseorang yang diikat di tengah ruangan mengangkat kepala. Kedua matanya menyipit, menajamkan penglihatan untuk melihat siapa yang datang. “Pak Va’as,” lirihnya dengan kedua mata yang melotot, terkejut. Va’as duduk tepat di depan seorang lelaki yang kali ini menjadi targetnya. “Jadi … jadi pemilik barang itu … itu anda?” dia menggeleng kecil, terlihat sangat tak percaya. Va’as hanya menyunggingkan senyum tipis. Tangannya menerima sebatang rokok yang sudah menyala. Santai Va’as menjatuhkan punggung ke sandaran kursi, menyesap rokok dalam lalu mengepulkan asap dengan begitu pelan melalui mulut dan hidung. Va’as mengangkat satu kaki, menyilangkan kaki itu ke satu kakinya yang lain. “Seharusnya anda bodoh selamanya.” Tangan si lelaki mengepal, dadanya bergerak naik turun sesuai dengan amarah yang ingin sekali dia luapkan. “b*****h! Ternyata anda sangat kotor! Anda tak layak menjadi lelaki terhormat yang dipuja oleh banyak orang! Anda lebih kotor dari pada ludah anjingg! Cuuih!” “Hahah ….” Va’as justru tertawa mendengar makian serta umpatan yang … ya, memang benar seperti itu. “Cuiih!” detik kemudian dia meludah, tepat mengenai kaki seorang lelaki yang sempat menjadi kepercayaannya. “Yang membunuh ayahku itu … anda?” pertanyaan yang hanya perlu lebih yakin. Karna sesungguhnya dia juga sudah mengetahui. Hanya saja, dia belum tau siapa boss besar dibalik pembunuhan itu. Va’as menyunggingkan senyum lagi. Lalu menarik punggung dengan siku yang bertumpu di kedua kaki. Lekat dia menatap kedua mata lelaki di depannya ini. Kedua mata yang jelas terlihat jika ada kekecewaan dan dendam. Bayangan pak Susilo yang memperkosa salah satu karyawan kebun terlintas di kepala Va’as. Pak Susilo memiliki kelainan, semacam penyakit yang tidak akan puas jika lawan mainnya tidak menjerit kesakitan. Dan kejadian itu bukan pertam akalinya Va’as melihat. Salah satu karyawan kebun ada yang sampai gila dan tidak bisa lagi bekerja. Awalnya tak percaya jika pelakunya adalah pak Susilo dan setelah yang kedua ini, Va’as menyuruh anak buahnya membakar Susilo. Ya, menghabisinya setelah memaksa orang tua itu menandatangani penjualan tahan itu. “Ya, aku yang membunuhnya.” Aku Va’as. “b******n!” lelaki bernama Unang, anak kandung Susilo yang sekarang mengetahui pekerjaan kotor Va’as yang menciptakan produk-produk palsu yang dicampur dengan bahan berbahaya itu meradang. Andai tubuhnya tidak diikat dia sudah beranjak dan menghajar Va’as. “Katakan keinginan terakhirmu. Aku akan mengabulkannya.” Kalimat bernada dingin dan sarkas sebuah informasi jika dia tidak akan diijinkan untuk hidup. “Kebun the milik ayahmu itu, sudah dijual padaku. Dia sudah menandatangani surat penjualannya padaku sebelum aku membakarnya.” “Anda … aagh! Bangsad!” rahang Unang semakin mengeras. Otot-ototnya sampai terlihat ingin keluar. Menit kemudian tubuhnya berguncang. Dia menangis smapai tergugu. “Jangan berharap aku akan melepaskanmu setelah apa yang kamu lihat. Aku tidak akan percaya segala janji itu.” Va’as kembali berucap. Mungkin setengah jam lebih beberapa menit, Unang mulai mengangkat kepala dengan wajah pasrahnya. “Berikan uang penjualan itu pada istriku. Jangan berikan itu ke ibuku.” Satu alis Va’as terangkat, dia belum paham. “Istriku, Uva. Dia bekerja sebagai OB di kantor anda. Sekarang dia sedang hamil muda. Ini adalah anak pertama yang begitu kami tunggu setelah tiga tahun pernikahan. Saya ingin dia baik-baik saja menjalani kehidupan. Melahirkan anak kami dengan selamat dan tidak kekurangan apa pun.” Bulir menetes mengalir di pipi Unang setelah mengatakan kalimat panjang itu. Va’as melirik pada anak buahnya yang berdiri di samping Unang. “Matilah dengan tenang. aku akan menjamin kehidupan istri dan anakmu.” Dia beranjak dari duduk, balik badan dan melangkah pergi. Cruus! Kampak yang digenggam anak buah Va’as sudah mendarat. Tak ada rasa sakit yang tertinggal karna dia sudah profesional membunuh manusia. Va’as sedikit menoleh, melirik darah yang mengucur menetes di lantai. “Bersihkan.” “Siap, boss!” patuh anak buahnya. Va’as melangkah keluar setelah mengatakan itu. ** Dengan didampingi Johan Va’as keluar dari hutan. Mereka menelusup mencari jalan yang aman dan tentu yang tidak menimbulkan kecurigaan terhadap beberapa oknum yang mengawasi. “Arven benar-benar diikuti oleh orang-orang Enderland, pak,” kata Johan lirih. Va’as meliriknya sebentar. Dia tak merespon karna sudah mengetahui itu. “Mobilmu di mana?” “Saya titipkan di rumah sakit X, Pak.” Va’as menongolkan kepala, memerhatikan keadaan jalanan yang sepi. Ya, ini sepi tetapi keadaannya terasa mencekam karna dari pihak lawan bisnis Va’as yang dua bulan lalu kalah tander memburunya, mencari celah untuk menjatuhkannya. Johan menatap jam yang melingkar di lengan kiri. Di sana sudah menunjuk di angka dua malam. “Pak, besok pagi jam delapan ada pertemuan clien dari Spanyol di caffe Red.” “Suruh Nino keluar.” “Baik, Pak.” Johan merogoh saku jaket, mengambil hp dan mengusap layarnya. ** Pukul 3.30am Va’as melangkah masuk ke dalam apartemennya dengan keadaan selamat. Tetapi tubuhnya cukup kelelahan karna harus kejar-kejaran dengan orang-orang lawannya. Dia melepaskan jaket biru tuanya dan menyampirkannya di badan sofa. Tatapannya tertuju ke arah pintu kamar yang dihuni Caca. Dia meneguk ludah ketika bayangan yang beberapa jam itu terbayang di kepala. Tangannya bergerak meraih handle pintu, memutar dan mendorong pintu itu pelan. Begitu pintu terbuka, tatapan Va’as tertuju ke arah ranjang bersprai putih yang tentu saja ada penghuninya. Dia melangkah masuk, menutup pintu dan mendekati ranjang. Va’as diam, memerhatikan Caca yang tidur terlelap dengan posisi miring. Tanpa sadar sudut bibir Va’as terangkat ke atas, menciptakan sebuah senyuman. Wajah manis Caca yang alami dan sangat polos membuatnya kagum. Senyum manis Caca yang sekali dia lihat di kantor itu terlitas. Tiba-tiba keningnya berlipat melihat jaket hitam yang menutupi tubuh Caca. Va’as jadi menatap ke arah lemari baju yang ada di kamar ini. ‘Oh, dia tidak bawa baju ganti. Jadi ….’ Batin Va’as dengan kedua mata yang mendekik. Perlahan tangan Va’as memegang pinggiran selimut lalu menyingkap selimut itu sampai tubuh Caca terlihat. Jangkun Va’as kembali bergerak naik turun melihat pemandangan indah yang tidak mungkin akan dia lewatkan. Va’as mengusap barangnya yang terasa bergerak sendiri. ‘Sialan!’ umpatnya. Kesal, tapi tak mau melewatkan yang ada di depannya. Rasanya begitu penasaran. Ada keinginan yang tak bisa dia jelaskan. Tangannya terasa sangat gatel pengen menyentuh, lalu … melanjutkan pada permainan yang sudah pernah dia lihat di vidio. “Eeggh ….” Caca melengkuh pelan. Dia berpidnah posisi menjadi tidur terlentang. Jaket yang memang hanya menutupi di paha atas itu tertarik ke atas, memperlihatkan sesuatu yang Va’as inginkan. ‘Ca,’ seru Va’as dalam hati. Dia benar-benar tak tahan. ‘Aku ingin yang itu.’ lanjutnya dan mulai naik ke atas ranjang. . 03/09/2023-17;32
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD