Pagi menyapa.
“Mi, aku dan Caca akan tinggal di apartemen.”
Kalimat dari Va’as yang membuat tangan mami Iren berhenti mengegrakkan sendoknya. Mami jadi mengangkat kepala untuk menatap anak lelakinya yang duduk tepat di depannya sana. detik kemudian tatapannya beralih ke Caca yang ada di sebelah Va’as.
“Kenapa? Tidak betah tinggal sama mami?” pertanyaan yang ditujukan ke Caca.
Caca jadi melirik suaminya.
“Bukan begitu, Mi.” Va’as menyahuti. “Aku dan Caca … kita … kita butuh … uumm, butuh ….”
“Baiklah.” Putus mami yang seakan paham maksud Va’as. “Mami akan memberikan kalian ruang untuk selalu berduaan. Ya … pengantin baru memang butuh privasi.” Mami menyuapkan sepotong sandwick ke mulut.
Va’as terlihat menghela nafas penuh kelegaan. Dia kembali menikmati sarapan paginya, begitu juga dengan Caca yang mulai terlihat lega.
Mami Iren jadi diam, mengamati kedua anak yang terlihat … ada keanehan. “Ehhm!” dia berdehem sebelum memasukkan makanan ke mulut lagi. “Mami tunggu satu bulan.”
Va’as dan Caca sama-sama mengangkat kepala mendengar kalimat ambigu itu.
“Satu bulan kalau belum ada kabar kehamilan, kalian berdua harus tinggal seatap sama mami, di sini.”
Caca langsung meraih gelas air putih dan meneguknya pelan-pelan.
Sedangkan Va’as memilih menunduk dan berpura menikmati makanannya. Hatinya ngedumel, ngomelin maminya. Kemarin dipaksa suruh buru-buru nikah, setelah sudah menikah, sekarang dipaksa harus membuat istrinya hamil dalam waktu sebulan. Kenapa orang tua hidupnya rumit banget?
Mobil merah Va’as keluar dari gerbang rumah. Melaju pelan menuju ke jalan raya yang pagi ini sudah sangat ramai. Mobil itu berhenti tepat di samping halte, tak lama Caca turun dan membiarkan mobil suaminya pergi meninggalkan dirinya di sini.
Masih terlalu pagi, dia masuknya jam setengah delapan. Masih ada waktu setengah jam untuk bersantai. Sekarang Caca duduk di halte menunggu angkot yang biasa dia naiki.
Baru beberapa menit duduk, sebuah motor matik berhenti tepat di depan Caca. Seorang lelaki yang mengendarainya membuka kaca helm dan tersenyum manis.
“Ca,” sapa si lelaki ini.
Caca membalas senyumnya. “Mas,” balasnya menyapa.
“Ayok barengan,” ajak si lelaki yang bernama Ruri.
“Uumm, aku … aku nunggu angkot aja, Mas. Harusnya bentar lagi datang.” tolak Caca yang nggak enak hati karna ada salah satu temannya yang menyukai Ruri.
“Cckk, jangan nolak lah, Ca. Berapa kali coba kamu selalu nolak tiap aku kasih tebengan? Kamu jijik sama aku? Kaya’nya anti banget.”
“Bukan, Mas. Enggak begitu.” Sekarang Caca yang jadi tak enak hati.
“Yaudah kalau gitu. Ayok naik,” bujuknya.
Karna nggak enak hati, Caca beranjak dari duduk. Dia naik ke boncengan motor Ruri dengan terpaksa. Motor melaju pelan setelah yakin jika Caca nyaman membonceng.
“Aku tuh Cuma pengen banyak teman, Ca. Enggak ada maksud apa-apa,” kata Ruri dengan sedikit menoleh agar Caca yang di belakangnya mendengar.
Caca tersenyum canggung. Ya, dia memang membatasi pertemanan pada lelaki. Enggak ada alasan yang pasti, hanya saja Caca ingin fokus bekerja dan menemukan kebahagiaannya saja. Dan Ruri ini, dia bukan type cowok yang Caca suka.
Motor Ruri berhenti di parkiran khusus para karyawan. Keduanya melangkah barengan masuk ke kantor. Antri di absensi finger, tepat sebelum jari manis Caca menyentuh mesin, lengan tangannya ditarik Ruri.
“Ada boss,” bisik-bisik ini membuat semua yang berada di ruangan jari menghadap ke arah boss dan membungkukkan sedikit badan. Memberi hormat pada atasan mereka.
Va’as melangkah masuk ke dalam gedung. Tatapan mata di balik kaca mata hitam yang bertengger di hidung itu tertuju pada Caca yang lengannya sempat di pegang oleh Ruri. Lalu awas menatap Ruri yang berdiri tepat di sebelah Caca. Setelahnya dia bersikap seperti semestinya, cuek dan tak peduli dengan beberapa karyawan yang menyapa kedatangannya.
Va’as melangkah masuk ke dalam pintu lift yang baru saja terbuka. Tatapannya tetap tertuju pada Caca yang terlihat dari tempatnya sini. Tiba-tiba dia merasa tak suka melihat Caca yang tertawa kecil ketika berbicara dengan Ruri.
‘Dia bisa tertawa?’ batinnya, karna sejak pertemuan pertama Va’as belum pernah melihat tawa Caca.
“Bagaimana yang semalam?” tanyanya pada Johan begitu pintu lift tertutup rapat.
Johan yang berdiri di belakang Va’as menyerahkan hp yang menayangkan sebuah vidio. “Dia mati, seperti yang pak Va’as inginkan. Tanpa ada jejak sedikit pun.”
Va’as menyunggingkan senyum melihat tayang vidio pembunuhan yang dilakukan oleh anak buahnya. “Tanahnya?” tanyanya sembari mengembalikan hp.
Johan menerima hp dan menyimpannya di saku celana. “Agil sedang proses, Pak.”
Ting!
Pintu lift terbuka.
“Aku tidak pernah mau ada kata gagal.” Suara yang terdengar dingin dan mengharuskan.
Johan membungkukkan kepala. “Kami tidak akan mengecewakan pak Va’as.”
Va’as melangkah keluar setelah mendengar jawaban itu. Langsung masuk ke ruangannya dan melepaskan kaca mata. Dia mendudukkan diri di kursi kebanggaan dengan sentaan nafas kasar. Dengan tiba-tiba dia merasa benci melihat Caca yang tadi tertawa dengan lelaki di lantai bawah sana.
Lalu kalimat Caca yang mengatakan jika dirinya bukan type cowok idaman, terlintas. Dia jadi membandingkan dirinya dengan lelaki tadi.
‘Bukankah aku lebih tampan?’
‘Haah! Dia katarak!’ makinya dalam hati, mengungkapkan kekesalannya pada Caca.
Va’as mulai menegakkan tubuh dan membuka laptopnya. Ada yang mengganjal di kepala, rasanya begitu penasaran dengan lelaki tadi. jarinya menekan telpon yang ada di atas meja.
“Hallo, Pak,” suara Birea yang menjadi asistennya di kantor terdengar di sana.
“Suruh hrd mengirimiku data karyawan OB. Cowok dan cewek.” Tak butuh jawaban apa pun dan dia memang tidak peduli dengan jawabannya. Va’as langsung mematikan panggilan.
Menit kemudian dia mulai sibuk mengamati layar laptop. Mencari tau nama karyawan cowok yang sepertinya begitu dekat dengan Caca. Setelah mengetahui semuanya, Va’as tertawa sendiri karna tentu saja dia jauh bertentangan dengan Ruri. Hanya saja … Ruri lebih muda dari dirinya.
“Cckk, aku lebih segalanya,” gumamnya puas.
**
Istirahat siang.
“Ca, gantiin Uva buat lembur ya.” Pak Beni yang menjadi atasan OB menyerahkan kertas lemburan ke Caca untuk ditanda tangani.
Caca menatapnya, lalu menganggukkan kepala tanpa banyak mikir. Dia menandatangani persetujuan lembur dan kembali pada makanan di tray.
“Apa aku bilang. Aku ijin, pasti yang suruh gantiin kamu.” Uva yang duduk di sebelah Caca berkomentar.
Caca memasukkan makanan ke mulut. “Va, katanya kalau hamil muda itu rentan banget lho. Kamu nggak disuruh resign sama suamimu?”
Uva menggelengkan kepala. “Kalau akku nggak kerja, kita nggak akan punya tabungan buat bikin rumah impian.”
“Tapi suamimu kan juga kerja, Va.” Caca menanggapinya.
“Suamiku kerjanya dikebun, Ca. Gajian perbulannya nggak menetap. Lebih gede gajiku di sini.” Wajah Uva jadi cemberut dengan decakan lirih. “Belum lagi adik iparku yang sering banget minta uang ke suamiku. Yaampun … aku kesel.”
Caca mengusap lengan bahu Uva. “Mertuamu masih suka marahi kamu?”
Uva mengangguk tanpa ragu. “Semalam aku dimarahi karna nggak ngasih duit ke adik iparku. Aku bosen juga dimarahin mulu.”
“Padahal kamunya sedang hamil cucunya. Kok masih aja marahin kamu sih?”
Kedua bahu Uva mengedik, tanda jika dia pun nggak tau. “Kamu gimana? Udah berani ngelawan mama tiri sama si bawang merah?”
Caca tertawa kecil. Ingatannya jadi kembali ke hari kemarinnya yang melawan mama Tari sampai dia diusir dari rumah.
“Eh, iya. Kamu nggak masuk dua hari kamarin alasannya sakit. Sakit apa?” tanya Uva, penasaran.
Caca jadi mengerjap cepat. “Uuumm … aku kesleo kemarin. Hari ini udah mendingan.”
Lalu mereka berdua makan dengan obrolan ringan tentang curhatan Uva yang membuat Caca semakin tak mau tinggal seatap dengan maminya Va’as. Kalimat tadi pagi yang mengharuskan dia hamil bulan depan, masih terngiang sampai sekarang. Lalu bayangan dia yang akan dikurung di dalam kamar bersama Va’as untuk cetak anak, makin membuatnya merinding.
Iya, kan bisa saja begitu. Apa lagi wajah mami Iren yang kelihatannya ingin cepet-cepet punya cucu.
**
“Ca, ke lantai tujuh. Bersihkan ruang meeting.” Suruh seniornya.
Caca mengangguk patuh. Dia mengambil alat pel dan pergi menuju ke lantai tujuh di ruangan meeting. Beberapa menit setelah Caca keluar dari lift beberapa orang keluar dari ruangan meeting karna acara meeting mereka sudah selesai. Menunggu semua keluar, Caca memilih menuju ke toilet dulu dan meninggalkan alat kerjanya di lorong.
“Aku hamil, Mas.”
Suara dari dalam toilet yang membuat Caca melotot dan mengurungkan kaki melangkah memasuki toilet.
“Aku nggak mau tau ya, Mas. Aku bakalan datang ke rumahmu dan ngasih tau istrimu kalau kamu udah ngehamilin aku!” wanita ini merengek, membuat Caca benar-benar mengurungkan kaki.
Caca memilih balik badan dan menjauh dari toilet. Dia berdecak dengan gelengan kecil. Begitu berbelit masalah orang-orang dan semua orang memiliki masalahnya sendiri.
Caca membuka pintu kaca buram ruangan meeting. Dia terpaku saat Va’as dan Johan yang masih duduk berdiskusi menatap padanya. Buru-buru dia membuangkukkan badan. “Maaf, saya nggak tau kalau masih belum selesai. Parmis—”
“Ke sini kamu!”
Caca mengangkat kepala mendengar perintah dengan suara lantang itu. Johan pun terlihat mengerutkan kening sembari melirik boss-nya yang memerhatikan Caca.
Ragu tapi tetap memenuhi perintah Va’as. Caca melangkah mendekat dan berdiri tak jauh dari kursi yang Va’as duduki.
Va’as melirik Johan yang berdiri memerhatikan Caca. “Ehhm!” dia berdehem karna Johan sampai tak kedip menatap wajah Caca yang berkeringat.
“Ah, iya, Pak, maaf.” Buru-buru Johan melangkah pergi, keluar dari ruang meeting untuk memberikan ruang pada boss-nya.
“Pulang sekarang. Tunggu aku di basemen.” Suruh Va’as.
Caca mendekik mendengar perintah ini. Dia melirik ke arah jam yang melingkar di dinding. “Jam pulang saya masih setengah jam lagi, Pak.”
“Ijin mencret.”
Kedua bahu Caca melemah mendengar kalimat absurd yang Va’as lontarkan. “Pak—”
“Yasudah, pulang saja ke rumah mamiku.” Va’as memotong kalimat yang dia sudah tau jika itu berupa penolakan.
Bibir Caca jadi terkatup dengan muka ngampet kesal. Dia memilih balik badan dan membawa alat kerjanya keluar. Dari pada tinggal seatap sama mertua, dia memilih ijin mencret saja.