Sudah sah secara negara dan agama, Caca dan Va’as duduk di tepi ranjang dengan bersebelahan. Sama-sama diam karna memang nggak ngerti mau ngomong apa. Sudah meminta untuk menetap di apartemen karna ingin bebas dulu, tapi mami Iren tidak mengijinkan dengan banyak alasan.
Caca memejamkan mata dengan nafas kasar yang keluar dari mulut. Bayangan omelan mertua dan segala yang tak mengenakkan mulai terlintas.
Teman kerja Caca yang bernama Uva pernah bercerita tentang kehidupannya yang satu atap dengan mertua. Dan dari situ bayangan neraka terasa ada di depan mata Caca.
Caca melirik Va’as yang diam dengan tatapan terfokus ke depan sana. “Pak,” panggilnya.
Va’as menoleh, menatap dengan tatapan yang terasa menusuk sampai ke manik mata sana. untuk sesaat mereka berdua saling beradu tatap tanpa ada sepatah kata pun.
Ddrtt … ddrtt ….
Getar ponsel disertai layar yang berkedip membuat Caca seperti terlepas dari kungkungan kedua mata tajam itu. dia mengalihkan tatapan dengan tangan yang meremas tangan sendiri.
Sementara Va’as mengambil hp-nya dan menggeser tombol. “Hallo,” sapanya seraya menempelkan hp itu ke telinga.
“Pemiliknya menolak tanda tangan, Pak.” Suara seorang laki-laki di seberang sana.
Caca memilih beranjak dari duduk dan melangkah masuk ke kamar mandi yang tentunya ada di dalam kamar.
“Bakar.” Satu kata perintah yang tidak membutuhkan jawaban atau pun penolakan. Va’as langsung menutup panggilan dan meletakkan hp-nya di atas kasur.
Dia melepaskan kancing jasnya, membuka dan meletakkannya begitu saja di tepi ranjang. Selanjutnya mulai menarik dasi dan membuka kancing kemeja. Hari ini dia mengosongkan jadwal jadi bisa dikatakan jika free. Tetapi seorang pebisnis dan pekerja keras tentu tidak sama seperti seorang pengangguran yang pemalas. Va’as melepaskan kemeja dan melangkah ke lemari untuk mengambil baju santai.
Ceklek!
Va’as menoleh ketika bunyi kunci pintu kamar mandi itu terdengar. Lalu di tempat yang tak begitu jauh darinya Caca menongolkan kepala.
“Aaa!” jerit Caca. Dia terkejut melihat Va’as yang tak pakai baju. Reflek banget tangannya kembali menutup pintu rapat, tapi tangannya terjepit di sana. “Aaa!”
Bhuk!
“Aagh ….” Rintihnya, karna teriakan keterkejutan itu membuatnya jatuh terpeleset.
Liat istrinya jatuh sampai kepalanya terpentok pintu dan menimbulkan suara gaduh, masa’ Va’as diam saja? Dia menghampiri, melangkah mendekat. Tangannya mendorong pintu kamar mandi yang sedikit terbuka itu. kedua matanya melebar, tak kedip melihat Caca yang ternyata hanya pakai celana dalam saja. Dua bulatan yang ada di d**a berkulit putih itu terpampang begitu nyata.
Melihat ada Va’as yang muncul di pintu, Caca yang masih mengusap p****t itu jadi beralih menyilangkan kedua tangan ke d**a. “Pak, jangan m***m!” peringatnya. Dia menarik pintu dan mendorongnya kuat untuk ditutup.
“Aaa!” gantian, sekarang Va’as berteriak karna kepalanya kejepit pintu. Tangan Va’as jadi mendorong kuat pintu agar kembali terbuka.
Dan beberapa detik berlalu keduanya saling rebutan pintu.
“Aaa!” teriak Caca karna Va’as yang sekarang terpeleset dan jatuh menimpa tubuh telanjang Caca. Enggak menyengaja, tapi kenyataannya d**a kotak-kotak Va’as menyentuh dua benda empuk itu dengan tanpa penghalang. “Paak! Aaggh!” lengkuh Caca dengan tangan yang berusaha mendorong tubuh besar itu.
Seperti ada sengatan ketika dua benda empuk itu menempel langsung. Va’as yang terbiasa sibuk dengan pekerjaan dan tidak sempat memikirkan wanita atau pun cinta, mendadak seperti tersetrum tegangan tinggi. Dia berusaha bangun, tapi kesusahan karna lantai yang dia jadikan tumpuan licin. Tubuh yang sudah sedikit terangkat itu kembali terjatuh di d**a Caca, membuat empuknya terasa lagi.
“Paak!” rengek Caca lagi.
Va’as jadi melirik pada wajah Caca yang bibirnya terbuka dan wajah basah karna habis mandi. Bibir yang asli berwarna merah muda, sedikit tebal dan begitu seksi.
“Pak,” panggil Caca lagi dengan bibir yang bergetar. Tangannya masih memegangi tubuh Va’as dengan mendorong tubuh besar itu. “Jangan macam-macam, Pak!” peringatnya kemudian.
Kalimat yang menyadarkan Va’as. Dia kembali menarik tubuh, sengaja melambatkan gerakan untuk melihat dua barang empuk itu dengan jelas.
Begitu terbebas dari tubuh Va’as, Caca langsung duduk membelakangi dengan kedua tangan yang menyilang di d**a.
Va’as sendiri kesusahan mengatur nafas sampai dadanya naik turun dengan kedua mata yang memejam. Sungguh, barang yang di d**a Caca tadi jadi tak mau pergi dari kepala.
“Kamu sengaja menggodaku?” tuduh Va’as setelah menit berlalu.
Caca pun menoleh, menatap Va’as yang masih berdiri di ambang pintu kamar mandi dengan celana yang basah. “Saya lupa nggak bawa handuk dan baju ganti. Saya pikir pak Va’as keluar kamar.”
“Cckk, alasan!” kesal Va’as. Dia melanjutkan kegiatannya yang tertunda. Mengambil baju ganti dan membawanya keluar dari kamar.
Caca mengerucutkan bibir mendengar bunyi pintu yang dibuka, lalu ditutup cukup kasar. Dia beranjak berdiri, celingukan lebih dulu sebelum keluar dari kamar mandi untuk mengambil handuknya dan baju ganti.
**
“As, malam-malam begini kamu mau ke mana?” tanya mami Iren, memerhatikan anaknya yang belum lama menuruni anak tangga.
Va’as meneguk ludah, berfikir dalam untuk mencari alasan yang pas. “Uumm, beli … beli obat nyeri,” alasannya.
Kening mami Iren berlipat. “Nyeri?” tanyanya, ingin meyakinkan.
“Hhmm. Tadi … tadi Caca terpeleset di kamar mandi. Jadi mau beli obat,” tuturnya seserius mungkin agar maminya percaya.
“Di kotak obat ada kok obat nyeri buat otot. Biar diambilkan sama bik Susi. Bik! Bik Susi!” panggil mami Iren dengan berteriak.
Va’as jadi ngedumel dalam hati, ngomelin maminya. Dia memang nggak betah di rumah, apa lagi di kamar yang tadi sempat membuatnya jantungan.
“Ambilin obat nyeri sekalian antarkan ke kamarnya Va’as.” Suruh mami Iren ketika bik Susi sudah muncul.
“Baik, Nyonya,” patuh bik Susi dan langsung melangkah pergi mengambil obat.
“Pengantin baru, baru tadi pagi sah. Pamali bepergian. Di rumah aja, temani istrimu sana.” mami Iren terlihat tak memberi ijin Va’as untuk keluar.
Tak ada lagi alasan, apa lagi kalau udah dibilang ‘pamali’. Va’as memilih balik badan dan ngeloyor menuju ke dapur. Dia membuka kulkas, mengambil sebotol air dingin dan meneguknya di sana. Wajahnya langsung terlihat memburuk dengan suasana hati yang kacau. Di luar ada pekerjaan yang menunggu untuk di selesaikan. Namun, melihat keadaan yang seperti ini sepertinya Va’as tidak akan bisa meninggalkan rumah sampai besok pagi.
Bik Susi menenteng kotak obat dan menyodorkannya ke mami Iren. “Yang mana, Nyonya? Saya kok rabun, nggak jelas bacanya.”
Mami Iren mengobrak-abik isi kotaknya, lalu mengambil plastik kecil yang masih ada dua tablet. “Ambil minyak urut sekalian, Bik. Nanti bantu Caca biar cepat sembuh nyerinya.”
“Baik, Nya.” Bik Susi pergi mengembalikan kotak obat, lalu mengambil minyak urut dan melangkah mengikuti mami Iren yang menaiki undakan tangga.
Di lantai atas sini hanya ada satu kamar. Ruang tengah yang luas yang menjadi tempat santai. Ada beberapa alat gym dan tv layar besar. Balkonnya pun luas dengan beberapa tanaman yang terawat.
“Caca,” panggil mami dengan tangan yang sudah memutar handle pintu.
Caca yang melamun sambil tiduran itu terlonjak. Dia beranjak bangun menatap ke arah pintu kamar yang terbuka. “Mami,” sapanya lirih. Dia masih canggung memanggil Iren dengan panggilan yang sama seperti Va’as.
“Mana yang kesleo?” tanya mami Iren.
“Hah?” pekik Caca dengan wajah bingung.
“Ini biar diurut sama bik Susi.” Mami menepuk punggung bik Susi yang ada di sebelahnya.
Caca terlihat gelagapan lalu menggeleng ragu. “Engg—enggak, saya—saya nggak kesleo kok,” katanya gagu.
Mami mendudukkan pantatt di tepi tempat tidur. “Nggak usah malu. Kalau sakit jangan dipendam. Bik Susi ini jago urut kok. Mami pernah kesleo, diurut sama bik Susi bisa langsung sembuh.”
“Tap—tapi saya beneran—”
“Kata Va’as tadi kamu kepleset di kamar mandi, kan?” tanya mami Iren, memotong kalimat Caca.
Kening Caca mengerut dengan bayangan kejadian beberapa jam yang lalu. ‘Astaga, Pak Jalvas! Anda bikin kebohongan apa lagi sih?!’ kesal Caca dalam hati.
“Udah sini. Yang nyeri tangannya? Kaki atau pantatnya?” tanya mami Iren.
**
Demi menyelamatkan kebohongan suaminya, Caca terpaksa berakting kesakitan juga. Akting kesakitan yang berakhir sakit sendiri. Dia kaya’ pengen nangis karna pinggang sampai kaki kirinya terasa panas dan malah jadi nyeri.
Iya sih tadi memang terpeleset, tapi itu nggak terlalu sakit dan nggak perlu diurut. Apa lagi harus minum obat nyeri segala. Tapi masih bisa dikata beruntung karna kebohongan Va’as kali ini nggak bikin Caca menelan obat mencret. Kan bahaya kalau sampai pencernaannya keganggu gara-gara kebohongan Va’as.
“Yaampun, pantatku kenapa malah jadi sakit begini,” keluh Caca, mengusap p****t sebelahnya yang tertutup rok warna putih tulang. “Sebenernya aku tuh beruntung apa buntung sih? Dapat suami CEO tapi kok hobi bohong. Huuftt ….” Dia membuang nafas kasar melalui mulut.
Ini sudah jam sebelas malam dan Caca belum bisa memejamkan mata. Padahal dia di kamar luas ini sendirian. Selain merasa asing, dia merasa panas dan sakit di separuh tubuhnya.
Ceklek!
Mendengar bunyi pintu yang dibuka, tatapan Caca reflek langsung terarah pada pintu kamar sana. Va’as melangkah masuk setelah beradu tatap beberapa detik.
Caca memutar bola mata, terasa malas melihat lelaki yang sah menjadi suaminya itu. Rasanya kepengen neriakin Va’as. Dia menggigit bibir menahan ringisan dengan tangan yang tetap mengusap-usap sisi pantatnya. Jadi posisi Caca tidur miring menghadap ke Va’as.
Va’as yang akan mengambil carger jadi diam memerhatikan wajah Caca yang seperti memancingnya. “Cckk, aku tidak akan tergoda!” katanya dengan begitu mantap.
Reflek banget Caca yang memejamkan mata itu langsung melotot tajam. Dia menarik nafas dan menuding ke arah pantatnya. “Pantatt saya ini awalnya nggak sakit, Pak. Dan gara-gara—”
“Aku tadi tidak akan jatuh menimpamu kalau kamu tidak menjepit kepalaku!” Va’as memotong kalimat Caca sebelum dia disalahkan.
“Tapi nggak harus ngarang cerita sama mamimu kan, Pak?” kesal Caca. “Aauuw ….” Dia meringis pelan, mengusap-usap pantatnya lagi. “Ini gara-gara saya nggak sakit tapi harus dipijat karna cerita karangan bapak!”
Kedua mata Va’as mengerjap-ngerjap mendengar keluhan Caca. Dia menatap pada pinggang Caca ke bawah. ‘Jadi dia tadi benar-benar dipijat dan dipaksa minum obat sama mami?’ batinnya.
Va’as menggaruk sisi kepala. Dia berdiri di tepi ranjang memerhatikan Caca dengan iba. “Uumm, jadi … jadi sekarang kamu benar-benar sakit?”
Caca menganggukkan kepala dengan wajah teraniaya.
“Boleh aku lihat pantatmu—aahh, bukan! Bukan itu maksudku!” katanya, terlihat gugup.
Va’as langsung balik badan dan memejamkan kedua mata. Raflek banget bayangan p****t putih Caca di kamar mandi itu muncul lagi. Padahal tadi dia sudah pergi menatap laptop pekerjaannya untuk menghilangkan bayangan tubuh telanjang itu. Cckk, masuk kamar ini, bayangannya kembali muncul lagi.
Caca malah jadi mendekik menatap polah suami yang aneh. “Sudah lah, Pak. Mending tidur saja. Besok sudah harus berangkat kerja, takut terlambat.”
Va’as menoleh, memerhatikan Caca yang pindah posisi tidur terlentang dan menarik selimut sampai menutupi separuh tubuh. ‘Maksudnya tadi mengajak tidur bersama, kan?’