11. Move On

1393 Words
Tak lama, Adhitya berpamitan pada Seo Jin untuk pulang lebih awal. Keluar dari pintu cafe, seorang gadis cantik menatapnya dengan serius. Berhenti sejenak, menikmati langkah Adhitya yang perlahan menghilangkan di kejauhan. Senyum di bibir cantiknya terukir, mendecak sebentar sebelum masuk ke cafe. Lambaian tangan pun dia berikan pada pria yang berdiri di sudut cafe. Kim Seo Jin menjadi tujuannya. "Seo Jin-aah!" Gadis itu duduk di depan Seo Jin. Menikmati indahnya senyuman pria itu sambil menyodorkan secangkir americano s**u padanya. "Kamu nggak bilang datang ke Jepang, Jin." Seo Jin tersenyum, mengusap manja puncak kepala gadis itu sambil berkata, "Untuk seterusnya, aku akan tinggal di sini. Sekarang pacarmu akan tinggal lebih dekat denganmu, Elsa!" Gadis cantik bernama Elsa itu tersenyum sinis, mengaduk pelan americano s**u itu sambil menyelipkan helai rambutnya di balik telinga. "Yang tadi itu Adhitya Kazuya, kan?" singgung Elsa. Seo Jin tersenyum heran, menggenggam satu tangan Elsa yang berada di atas meja. "Kamu tau dari mana?" Elsa tak menanggapi, tersenyum cuek sambil bangkit untuk lebih dekat pada Seo Jin. Dikecupnya sesaat bibir kelu pria itu, lalu berbisik mesra sambil mengusap pipinya. "Kita putus saja, Seo Jin!" Gadis cantik dengan tampilan modis itu meninggalkan Seo Jin yang tak bisa berkata apa-apa saat hubungan mereka diakhiri tanpa sebab. Dia bahkan tak punya tenaga untuk mengejar karena terkejut. Wanita itu berjalan masuk ke mobil mewah yang terparkir di sisi jalan. Elsa duduk santai sambil menekan nomor seseorang. Ayahnya. "Pikirkan caranya agar aku bisa bertunangan dengan Adhitya, Pa. Papa cukup akrab dengan Mr. Adira, kan?" Usai berbicara, Elsa membuka ponsel untuk menelusuri jejak kejayaan Adira Group. Perusahaan besar di Jakarta yang kini membuka cabang di Osaka. Adhitya Kazuya, satu-satunya putra konglomerat itu menjadi incaran gadis cantik dengan surai hitam pekat beriris cokelat itu. Elsa Gabriela, putri seorang pimpinan perusahaan besar di sisi kota Osaka. * Setahun kemudian. Adira terkejut saat putra tampannya itu masuk ke ruangannya sambil melemparkan sebuah surat kabar ke atas meja kerjanya. Fotonya terpampang jelas pada badan surat kabar itu, tepat bersebelahan dengan seorang gadis, putri dari GC Corp. "Ini maksudnya apa, Pa? Aku nggak ada bilang setuju bertunangan dengan Elsa!" kesal Adhitya. Adira belum menyahut. Putranya itu duduk di sofa, melepaskan jas dan melonggarkan ikatan dasinya. Segelas air di atas meja pun diteguknya untuk mengurai rasa kesalnya. "Tapi papa butuh bantuan dari papanya Elsa untuk melanjutkan ekspansi perusahaan kita. Juga ada project yang disepakati. Kamu baru duduk di jabatan setengah tahun terakhir dan papa nggak lihat perkembangan yang bisa kamu buat," tegur Adira. "Baru setengah tahun, Pa! Masa mau jual aku sama Elsa cuma buat bisnis, sih! Nggak usah ngadi-ngadi, deh! Ini bukan sinetron, Pa! Aku yang nentuin hidupku selanjutnya gimana!" rutuk Adhitya, kesal. "Lanjutin hidup gimana? Kamu masih mimpi buruk, kan?" Tegur sang papa membuat Adhitya bungkam. Dia mengambil posisi berbaring dan menjulurkan kakinya sepanjang badan sofa. Diletakkan lengannya di atas dahi. "Ini karena papa ngelarang aku pulang ke Jakarta. Aku harus tanya Ardhy kenapa dia ngelakuin itu dulu padaku. Aku juga belum tau di mana makam Luna," lirihnya. Tak ada sahutan lagi. Atensi mereka beralih pada seorang pria yang masuk dengan beberapa berkas di tangannya. Dia adalah Kim Seo Jin, teman Adhitya setahun tahun terakhir yang menemaninya atas perintah sang ayah. "Ini berkasnya, Pak. Anda bisa berangkat satu jam lagi ke bandara untuk meeting di Jeju," katanya. Adira mengamati berkas, lalu memasang kembali jas dan bersiap untuk pergi. Adhitya kembali duduk di sofa saat sang papa melemparkan penghapus pena di atas meja itu ke arahnya. Membentur pelan dahinya. "Aih, Pa!" gusar Adhitya. "Papa serius soal pertunangan itu. Bertunangan, dan paspormu akan papa balikin. Juga perusahaan ini," ujar Adira, serius. Mata Adhitya membola, bangkit untuk mendekati sang ayah. Paspor adalah hal yang diincarnya selama ini. "Se-serius?" cicit Adhitya, tak percaya. Adhitya terlihat sangat gembira, segera meloncat ke pelukan sang ayah hanya untuk melepas kebahagiaan. Sudah empat tahun dia tak pulang ke Indonesia. Adira merasa ini waktu yang tepat untuk Adhitya kembali. Walau dia belum mengatakan Luna masih hidup, Adira yakin Adhitya akan memulai semua dengan hati yang lebih kuat. Dirinya sudah berusia dua puluh empat tahun. Mulai melebarkan sayap di dunia bisnis, juga ada Kim Seo Jin yang selalu menemaninya. "Silakan urus pertunanganku, yang penting aku bisa pulang ketemu temen-temenku!" teriak Adhitya saat papanya berlalu dari ruangan. Pria muda itu duduk di kursi jabatan sang ayah, bersandar dengan senyuman tipis di bibirnya. Sementara itu, Seo Jin masih memandang foto di surat kabar yang berada di atas meja. Elsa, itu adalah mantan kekasih yang memutuskan hubungan dengannya satu tahun silam. Tanpa penjelasan apa pun. Adhitya pun tak tahu rahasia yang dibawa temannya ini. Seo Jin mengetahui bagaimana sulitnya Elsa berupaya untuk mendapatkan Adhitya. Mungkin sekarang dia sedang berpesta karena berhasil menaklukkan Adhitya. "Kamu bisa urus pertunanganku ini, Seo Jin?" tanya Adhitya. Seo Jin duduk di depan Adhitya yang tampak sumringah setelah sang ayah memutuskan agar putranya ini bertunangan dengan Elsa. Seo Jin tak pernah menyinggung hubungan lalunya dengan Elsa, demikian pula gadis itu. Pun wajah Adhitya ini bukanlah wajah seorang pria yang frustasi meski Seo Jin mengetahui masa lalunya dengan seorang gadis bernama Luna. "Kamu serius soal pertunangan ini, Dhit?" "Iya!" gumam Adhitya, terus bermain dengan aplikasi ponsel tanpa melirik Seo Jin. "Cuma tunangan doang, kan? Masih bisa putus. Santai aja! Bokap juga nggak bener-bener mau jerumusin gue, kan? Papa botak kesayanganku itu selalu tau apa yang terbaik buat anaknya ini." Selalu mengikuti peta yang dirancang sang ayah, Adhitya tak mengeluh apa pun. Demi paspornya, Adhitya harus menuruti pertunangan berbasis simbiosis mutualisme itu. Pasti ada nilai tukar bisnis di balik itu semua. Pria muda itu duduk di kursi jabatan sang ayah, bersandar dengan senyuman tipis di bibirnya. * Derai rintik hujan turun di luar ruang rawat sebuah rumah sakit di Bogor. Tahun begitu cepat berlalu. Si cantik Luna masih pulas tertidur. Apa yang berada di alam mimpinya? Itulah yang saat ini menari di pikiran Bintang. Empat tahun berlalu sejak insiden tragis itu, Bintang masih setia menemaninya. Cuaca dingin memeluk erat Bintang dalam balutan cinta setiap kali dia menatap Luna. Dengan sabar dia mengusap punggung tangan Luna dengan handuk basah. Beberapa menit berikutnya, Bintang memotong kuku jemari cantik itu dengan jepitan. Senyumnya tak henti terbias. Senyum cantik dari detak cintanya. "Luna, kamu kapan bangun? Tau, nggak? Kadang gini aja, aku bahagia banget. Di samping kamu setiap hari, ngeliat kamu setiap detik." Bintang terhenti mengusap lembut rambut legam itu, lalu turun membelai pipinya. "Kadang aku berharap kamu nggak pernah bangun, Lun. Karena saat kamu sadar nanti, aku harus lepasin kamu buat Dhitya." Itulah janji yang pernah ditukar Bintang demi biaya pengobatan Luna. Dering ponsel mengusik lamunannya. Pesan masuk dari Adira. Sang pemberi perintah yang selalu dia patuhi. [Aku sudah membayar lunas tagihan untuk bulan ini. Apa dia masih belum bangun?] Bintang tak segera membalas, meletakkan ponsel di atas meja. Disingkirkannya mangkok air dan handuk itu agar leluasa menggenggam jemari hangat kekasih hatinya itu. 'Aku nggak mau kehilangan kamu. Tapi apa alasan kamu belum bangun sampai detik ini, Lun? Apa kamu menunggu Dhitya? Apa kamu berpikir dia meninggal?' batin Bintang. Pemuda itu bangkit, bergerak menuju jendela untuk menatap gerimis yang jatuh di luar sana. Teringat akan kunjungannya beberapa hari lalu ke penjara. * Ini tahun keempat pria itu berada di jeruji besi. Ardhy, kakak kandung Luna yang merupakan dalang dari peristiwa tragis itu. Dirinya semakin menua, terlihat rambut putih dan juga janggut memenuhi dagu dan cambang di sisi rahangnya. "Luna gimana, Bin? Dia udah siuman, kan? Udah baik-baik aja?" tanya Ardhy, antusias. Bintang masih menatap dingin. Dia ingat Adira menuntut hukuman berat sebab percobaan pembunuhan yang dilakukan pada Adhitya. Hanya saja, Bintang tak mengetahui akar permasalahan saat itu. Hanya Luna, juga Adira yang menyaksikan sendiri betapa menggila cinta buta Ardhy. "Kalau Luna bangun, memangnya apa yang bisa kamu katakan, Kak Ardhy? Kenapa kamu berusaha membunuh suaminya? Kalau memang nggak merestui, kenapa bisa setega itu? Kamu bahkan nggak punya jawaban apa pun. Jadi, berhentilah berharap untuk bisa bertemu dengan adikmu lagi." Ardhy menangis pedih. Tak tahu kapan dibebaskan, dirinya tetap tak punya muka untuk bertemu dengan sang adik yang telah dia sakiti. * Rintik berganti curah hujan yang deras. Bintang kembali dari ingatan itu, lalu menatap serius tubuh terbujur Luna. Dia yang tidur tanpa lelah beberapa tahun ini. 'Kalau kamu tau Dhitya masih hidup, apa kamu akan bangun, Lun?' Luna membutuhkan Adhitya. Sang suami yang bertahan di sana meskipun setahunya, istrinya telah tewas pada malam mengerikan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD