Dua Takdir Menyedihkan

1063 Words
Laura kembali dengan langkah gontai, setiap tulang-tulangnya terasa sakit karena perenggangan yang terlalu lama, bahkan pergelangan kakinya terasa nyeri. Dia meletakkan sepatu dan menggantinya dengan sandal, melirik ke kiri-kanan di ruang tamu, memastikan tidak ada orang sebelum melangkah masuk. Bang... Laura berjengit dan berbalik, begitu melihat wajah masam ayahnya yang baru masuk ke dalam rumah, wajah Laura berubah pucat. "Honey? Kau sudah pulang." Suara lembut terdengar dari lantai dua, bersama dengan langkah kaki tergesa menuruni tangga. "Bagaimana? Apakah Rose memberikan mensionnya?" Laura meremas tali Sling bag yang melintang di dadanya, setiap kali pulang ke rumah, dia selalu berharap tidak berpapasan dengan orang rumah. Tapi sepertinya hari ini adalah hari ketidakberuntungannya, karena dia harus berpapasan dengan dua orang sekaligus, terlebih dengan nama Rose diantaranya. "Dia bahkan tidak membiarkanku masuk ke pekarangan rumahnya." Donis berdecih, melempar kunci mobilnya ke sembarang tempat dan berjalan melintasi bahu Laura seolah tidak melihat siapa-siapa. "Aku yakin, menjualnya hanya alasan agar kita tidak mengejar mension itu lagi." "Lalu bagaimana dengan Deniel?" Laudya adalah wanita dengan tubuh seksi, tidak terlalu tinggi namun dengan ukuran d**a dan pinggang yang menggiurkan. Bahkan setelah melahirkan satu putri dan dua putra untuk Donis, dia masih bisa mempertahankan bentuk tubuhnya. "Keluarga Mecklain hanya mau menerima pertunangan jika kita menjadikan mension itu sebagai mahar." "Apa yang bisa aku lakukan? Rose bahkan tidak ingin bertemu denganku lagi?" Donis memijat kepalanya. "Kau tidak tau betapa memalukannya ketika anak itu mengusirku di depan orang banyak!" Melihat kedua orang tuanya memperdebatkan sesuatu, Laura menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri, bahkan jika nanti salah satu dari mereka menyadarinya, selama dia naik tangga lebih dulu, dia bisa langsung melarikan diri ke dalam kamar. "Mau kemana kamu?" Langkah kaki Laura terhenti, tubuhnya berubah kaku dengan jantung yang berdetak kencang. Deg... Deg... Lari! Laura dengan cepat mencengkeram pembatas tangga, namun sebelum dia bisa menaiki anak tangga, seseorang dari belakang sudah menarik rambutnya dengan keras. "Aghhh... Bruk.. Laura jatuh dengan keras ke lantai, karena rambutnya masih tercengkeram erat di tangan Laudya, kepala Laura tidak terbentur, tapi sebagai gantinya, Laura merasakan sakit seolah kulit kepalanya terkelupas. "Aghh...Ibu, ibu sakit... Bukannya melepaskan karena erangan keras putrinya, Laudya justru menariknya lebih keras agar Laura bisa mendongak ke arahnya. "Apa kau tidak dengar ucapan ayahmu? Dia dipermalukan di depan orang banyak! Menurutmu gara-gara siapa semua itu terjadi?" "Ibu...ibu...aku tidak tau, lepaskan. Aku mohon, sakit...hiks." Donis bersandar di sofa dengan santai, menyalakan rokok dan TV, menambah volumenya hingga suara erangan Laura tidak terdengar begitu kentara. "Semuanya gara-gara kamu! Jika saja kau tidak bersikeras untuk berpacaran dengan Dion, Rose tidak akan semarah itu dengan keluarga kita." Seolah tidak cukup, Laudya mulai menggunakan tangannya untuk memukuli Laura. "Kau ini sudah menjadi beban, seharusnya kau tau diri dan tidak menjadi sumber masalah lagi!" Donis menghembuskan asap rokok melalui mulut dan hidungnya sebelum memencetnya di atas asbak. "Hentikan, besok dia masuk kuliah. Reputasi keluarga kita bisa semakin tidak baik jika orang melihat bekas lukanya." "Baiklah, honey." Laudya langsung melepaskan kedua tangannya dari Laura dan berlari ke pelukan suaminya. "Lalu apa yang harus kita lakukan? Jika terus seperti ini, pertunangan Deniel bisa batal." "Tenang saja, aku akan mencari jalan keluarnya." Donis membelai pipis Laudya dengan sayang. "Kau hanya perlu bersosialisasi dengan baik dengan Mrs. Mecklain dan memastikan putrinya jatuh cinta kepada Deniel." "Uh, baiklah. Walaupun Mrs. Mecklain cukup menyebalkan, tapi demi putra kita aku akan berusaha dengan keras." Laura bangkit dengan susah payah dari lantai, tertatih-tatih menaiki tangga. Setibanya di atas, dia bertemu pandang dengan topik utama yang sedang orang tuanya bahas. Deniel, Putra sulung keluarga Deborah, sekaligus anak kebanggaan yang membayangi penderitaannya. Deniel mewarisi gen ibu dan ayahnya dengan sempurna, wajah yang menawan dari ibu dan tubuh tinggi nan atletis dari ayah. Mungkin karena itulah Deniel sangat disayangi. Deniel mengamati penampilan berantakan Laura tanpa ekspresi. "Tidak berguna," bisiknya begitu melewati bahu adiknya. *** Begitu Rose membuka matanya kembali, ruangan serba putih yang familiar menyambutnya, bau disinfektan yang mengganggu bagi banyak orang sudah menjadi bau yang biasa untuk yang sering mengunjungi rumah sakit. Suara pintu yang terbuka menarik perhatian Rose, yang langsung mengubah raut wajahnya begitu melihat Adam masuk dengan wajah masam. Rose menyambut dengan senyuman dan mengulurkan tangan. "Aku mau bangun," ujarnya lemah. Adam memutar mata dan menyambut tangan gadis itu. "Berhenti pura-pura, apa kau pikir aku akan termakan sikap itu dan melepaskanmu." Rose meringis, dan bersandar dengan nyaman. "Aku tidak pura-pura, aku benar-benar sangat lemah, kau tidak tau rasa sakit seperti apa yang aku alami." "Tentu saja kau akan merasa sakit." Adam menyentuh dahi Rose dengan telunjuknya dengan sebal. "Sebenarnya makanan seperti apa yang kau makan selama bibi Daisy libur?" "Makanan apa?" tanya Rose dengan polos. "Tentu saja makanan manusia." Adam menyipitkan mata, rambutnya yang sedikit lebih panjang terikat dengan rapi, dengan sedikit rambut yang membingkai wajahnya yang tampan. "Haruskah aku membuat surat rekomendasi agar kau libur dari semua kegiatan dan menahanmu di rumah sakit." "Hey! Kau tidak memiliki hak melakukan itu!" Rose menggembungkan pipi. "Apa kau ingin aku terkurung di dalam ruangan membosankan ini sampai mati?" "Tentu saja aku punya hak." Adam tersenyum miring. "Aku dokter pribadimu, demi menjaga kesehatanmu, aku tentu saja bisa menahanmu di sini." "Dokter~ Jika orang lain melihat, tidak akan ada yang percaya bahwa seorang Rose yang lebih baik menendang s**********n seorang pria yang melecehkannya akan merengek di hadapan orang lain di bawah ancaman. "Lalu kenapa kau sangat keras kepala?" Adam menghela napas berat dan mulai membantu Rose mengupas apel, dengan telaten membentuk seperti kelinci. Rose mengambil potongan apel yang baru selesai di potong dan memasukkannya ke dalam mulut. "Aku hanya tidak bisa menahan napsu makanku ketika berhadapan dengan makanan menggiurkan. Kau tau, aku selalu berpikir jika aku tidak makan sepuasnya dan tiba-tiba berhenti bernapas beberapa menit kemudian, aku pasti akan sangat menyesalinya." "Bisakah kau sedikit saja memiliki semangat untuk hidup?" Rose mengambil potongan lain dan memasukkannya ke mulut Adam tanpa peringatan. "Jika aku berharap terlalu banyak dan pada akhirnya kecewa, bukankah akan lebih menyakitkan?" Dia tersenyum dan menoleh ke arah jendela. "Jadi selagi berjuang, aku akan menerima keadaanku seolah aku bisa berhenti bernapas kapan saja. Jika suatu saat aku benar-benar bisa sembuh, maka itu adalah hadiah yang sepadan dengan ketabahanku bukan?" Langit biru tampak begitu jernih, sedangkan awan selembut kapas bergantung di samping matahari. Adam menatap gadis yang dia pikir cukup dia cintai hingga tidak memiliki kemampuan jatuh cinta lagi, tapi pada akhirnya dia menemukan bahwa setiap tindakan Rose selalu bisa membuatnya takjub dan terjatuh lebih dalam. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD