Lalu, Bagaimana Denganku?

1231 Words
"Kau akan menyesali ini Rose, kami adalah satu-satunya keluarga mu sekarang. Aku bisa jalan sendiri!" Donis menghindari tangan dua penjaga yang hendak menyentuhnya. "Apa kau pikir bisa hidup sendirian selamanya? Bukankah alasanmu merebut tunangan Laura karena kau kesepian." Dia melirik sinis pada Dion. "Tapi sesuatu yang kau dapatkan dengan cara seperti itu tidak akan menjadi milikmu sepenuhnya." Dion mengepal, dia paling tidak suka jika seseorang memperlakukannya seperti barang yang bisa berganti kepemilikan. Tapi memang benar dia masih tidak memiliki kekuatan untuk menantang kata-kata seperti itu. "Terima kasih atas nasehatmu tuan." Rose tersenyum tipis, dia sadar bahwa Donis sedang menghina Dion, tapi dia sedang tidak ingin membela pria itu mengingat semua hal yang terjadi adalah akibat dari mulut embernya, sekarang dia sepertinya harus membayar lebih untuk keamanan rumah agar para tungau ini tidak bisa masuk sembarangan dan merusak suasana hatinya. "Tapi berkatmu dan keluargamu, aku sudah terbiasa kehilangan sesuatu." Rose tidak menunggu Donis masuk ke dalam mobilnya ketika masuk ke dalam gerbang. Dion mengejarnya dengan cepat. "Rose, ayo bicara. Aku yakin bukan Laura yang memberitahunya tentang alamat mu." Rose tidak menoleh maupun mengurangi kecepatan langkah kakinya, langsung menaiki tangga dan berbelok ke arah kamarnya di lantai dua. Dion dengan cepat meraih tangan Rose begitu memiliki kesempatan dan menarik gadis itu berbalik ke arahnya. "Bisakah kau setidaknya mendengar penjelasan seseorang? Sampai kapan kau akan terus seperti ini?" "Alasan seperti apa yang ingin kau jelaskan?" Bulu mata Rose bergetar setiap kali gadis itu berkedip, bibirnya bergetar tapi nada bicaranya masih setenang biasa. "Bahwa bukan dia yang memberitahu ayahnya tentang alamatku atau dia memiliki alasan lain untuk memberitahunya." "Rose, kau sendiri tau keadaan dia di rumah itu tidak terlalu baik." "Lalu apa aku harus bersimpati padanya walaupun hal seperti ini terjadi?" Rose menampakkan senyum tipis. "Lalu bagaimana denganku? Aku sudah menoleransi kalian selama ini, tapi hal seperti ini selalu terjadi. Dan kau selalu berada di pihaknya Dion." 'Jika kau juga memintaku untuk bersimpati dan memaklumi tindakannya, lalu bagaimana denganku? Siapa yang akan bersimpati untuk dampak yang dia sebabkan dalam hidupku?' batin Rose pedih. Dion mengepal. "Tapi kau yang lebih dulu memaksaku menikah, jadi wajar saja jika dia marah dan melakukan kesalahan... "Jadi kau mengakui bahwa hal ini adalah bentuk dendam karena aku memaksamu menikah." Dion tercekat. Dia ingin menyangkal dengan cepat, tapi ketika dia memberitahu Laura tentang alamat baru Rose, dia memang sedang tersulut amarah karena pernikahannya. Melihat reaksi itu Rose tiba-tiba tertawa, memegangi perutnya dan membungkuk hingga wajahnya tersembunyi. "Benar, aku seharusnya memperkirakan ini akan terjadi sebelumnya. Bagaimana pun, kau tidak pernah sekalipun berada di pihakku. Benarkan, Dion?" Dia memiringkan kepala. "Rose... Rose menghempaskan tangan Dion, cengkeraman itu tidak keras, tapi seperti duri menjalar yang terhubung ke hatinya. rasanya sakit, begitu menyakitkan. Dia berbalik cepat namun tiba-tiba jatuh ke lantai. "Rose!" "Jangan mendekat!" Langkah Dion membeku. "Apa kau baik-baik saja?" "Jangan mendekat dan jangan menyentuhku." Rose sekuat tenaga menopang tubuhnya dan berdiri dengan stabil, tapi dari tempat Dion, dia masih bisa melihat bahu gadis itu yang bergetar. "Apa kau sakit? Haruskah kita ke rumah sakit?" Rose mendengus pelan. Kekhawatiran Dion padanya selalu datang hanya di saat seperti ini, saat dia merasa bersalah karena apa yang Laura lakukan. Betapa mirisnya karena hal yang selalu dia dambakan hanya datang di saat dia tidak menginginkannya. Rose pergi tanpa berbalik, membanting pintu kamarnya dengan keras. Setibanya di dalam, semua tenaga yang dia gunakan untuk berdiri dengan stabil habis dan dia kembali jatuh ke lantai. Rasa sakit yang sudah dia rasakan semenjak bertengkar dengan Donis di gerbang semakin menjadi hingga dia kesulitan untuk hanya menggerakkan jemarinya. Dengan tenaganya yang tersisa, Rose merasa mengambil obat dari dalam tasnya akan sulit, apalagi meminumnya sendiri, lagipula rasa sakit dan sesak napas yang sekarang dia rasakan tidak akan selesai hanya dengan makan obat. "Adam." Rose berbisik, menggunakan kekuatan terakhirnya untuk menarik ponsel dari saku pakaiannya dan menekan angka satu. "Adam... Ponselnya baru saja mengeluarkan satu kali nada sambungan dan orang di seberang telepon sudah menjawab. "Rose?" "Sakit sekali, Adam." Rose menarik napas, mencoba untuk mengurangi sedikit suara mengi akibat napasnya yang tidak stabil. "Tolong aku... "Rose! Aku akan kesana sekarang! Jangan bergerak dan coba untuk bernapas lebih pelan." Terdengar suara beberapa benda terjatuh ke lantai di seberang telepon, setelah itu suara napas Adam yang terdengar memburu entah mengapa membawa sedikit ketenangan untuknya. "Kau di mana?" tanyanya. Rose menjawab dan memeluk ponselnya seperti penyelamat hidup, bahkan ketika rasa sakit menyiksanya hingga seperti ini, dia sama sekali tidak meneteskan air mata. "Adam, apa aku akan mati sekarang?" "Tidak. Berhenti memikirkan hal seperti itu." Suara Adam begitu tenang dan lembut. "Sebentar lagi aku akan sampai." Senyum tipis muncul di bibir pucat Rose yang terbuka, sesak napasnya mulai berkurang tapi rasa sakitnya semakin terasa, hingga Rose tidak bisa lagi merasakan anggota tubuh lainnya selain lokasi rasa sakit itu. Dion masih berdiri di tempatnya semula, menatap nanar pada pintu yang tertutup rapat tak jauh darinya. Dulu, dia memiliki hubungan yang sangat baik dengan Rose, hingga orang-orang di sekitar mereka berpikir bahwa keduanya akan sulit dipisahkan bahkan ketika dewasa. Lalu sejak kapan hubungan mereka berubah? Benar, semenjak ibu rose meninggal dan Donis membawa pulang keluarga barunya, saat itu juga Laura masuk ke dalam kehidupan Dion. Dion tidak tau bagaimana, tapi sebelum dia bisa mencegahnya, dia telah jatuh cinta pada gadis itu. Meski tau bahwa keluarga Deborah itu seperti duri dalam daging untuk kehidupan Rose, tapi Dion juga tidak bisa mengontrol perasaannya sendiri. Lagipula, Laura tidak bersalah, yang berselingkuh adalah ibu dan ayahnya. Kenapa dia harus menanggung kebencian dari Rose juga? Bang... Pintu yang terbuka dengan bantingan keras di lantai satu mengejutkan Dion, dia dengan cepat turun untuk melihat dan menemukan pria tinggi masuk dengan tergesa. Adam, pria itu adalah pria yang sangat dekat Rose, Dion pernah mengira pria ini adalah kekasih Rose, tapi sepertinya hubungan mereka tidak sejauh itu mengingat pria ini juga menghadiri pernikahan Rose tanpa membuat keributan. "Bagaimana kau bisa masuk?" Dion berdiri di tengah tangga, dia yakin keamanan rumah yang Rose miliki cukup tinggi untuk dibobol sembarang orang. Gerbang dan pintu rumah mereka dilengkapi kunci sensor, yang akan segera mengeluarkan suara jika orang yang tidak memiliki akses masuk tanpa izin. Jadi, pria ini, apakah punya akses masuk dengan bebas ke dalam rumah? Tak lama kemudian, Dion menemukan jawabannya. Adam hanya melirik Dion sekilas, naik ke lantai dua tanpa halangan seolah dia pemilik rumah itu. "Hey! Di mana sopan santunmu? Menerobos masuk tanpa izin seperti itu?" Dion menyusul dengan cepat dan melihat pria itu berhenti di depan pintu Rose. Kemudian menggunakan sidik jarinya untuk membuat pintu. Dion membelalakkan mata, bukan hanya gerbang dan pintunya, tapi Adam juga memiliki akses untuk masuk ke kamar pribadi Rose, yang bahkan belum tentu dia miliki. 'Jadi mereka benar-benar sepasang kekasih? Lalu mengapa Rose menikah deng... Sebelum Dion bisa berpikir lebih jauh, dia melihat Adam keluar bersama Rose dalam gendongannya, tapi Dion tidak bisa melihat wajahnya karena gadis itu memeluk leher Adam dengan sangat erat dan menyembunyikan wajahnya di perpotongan leher pria itu. "Apa yang terjadi?!" Rose buka seseorang yang mudah memperlihatkan kelemahannya di depan orang lain. Jadi menemukannya di gendong seperti itu, membuat Dion cemas. "Bukan urusanmu, minggir!" Dion berpikir bahwa Donis sudah cukup tinggi dan akan sulit menemukan sosok yang lebih tinggi darinya selain di dunia hiburan, tapi hari ini Dion menyadari bahwa Rose selalu dikelilingi orang-orang yang luar biasa. Sekali lagi, Adam melewati Dion seperti bukan apa-apa, meninggalkan rumahnya dengan bunyi bantingan pintu yang sama ketika dia datang. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD