Dendam

1248 Words
"Jika ingin mengatakan sesuatu, katakan saja. Untuk apa menatapku terlalu lama?" Rose menggigit bibir. "Kau mau pulang?" "Tentu saja." Adam menutup tirai jendela selagi menjawab, "Walaupun aku suka bekerja, tapi belum mencapai keadaan di mana aku tidak mau meninggalkan tempat kerja lagi." Rose mengangguk mengerti dan mengayun-ayunkan kakinya. "Tapi, apa kau benar-benar akan meninggalkan ku sendirian di sini?" "Apa maksudmu sendirian? Ratusan orang menginap di sini. Perawat juga akan datang secara berkala untuk memeriksa kondisimu." Rose cemberut dan menatap Adam dengan sengit. "Berhenti pura-pura! Aku yakin kau sudah tau maksudku bertanya seperti itu!" "Apa?" Adam mengantongi salah satu tangannya dan menghampiri Rose. "Bukankah karena kamu takut kesepian di sini?" Rose mengangguk dengan cepat. "Aku juga mau pulang." "Tidak bisa." "Kenapa tidak bisa? Keadaan ku sudah membaik sekarang." Rose turun dari ranjang. "Lihat, aku bahkan bisa melompat turun tanpa merasakan apa-apa." "Tetap saja tidak bisa." Adam menekan pundak Rose agar gadis itu duduk kembali. "Kamu tidak boleh meninggalkan rumah sakit sampai bibi Daisy kembali." "Apa! Bibi Daisy baru kembali dua hari lagi, kau mau menahanku selama itu di sini?" "Benar!" "Tidak! Aku aku pulang!" Membayangkan menghabiskan satu malam di rumah sakit saja sudah membuat frustasi, apalagi tinggal dua hari. Rose memegang tali infus, mencoba untuk melepaskannya. "Jangan macam-macam." Adam lebih cepat menarik tangan Rose. "Meskipun kau merasa lebih baik, tapi kondisimu belum stabil sepenuhnya. Sedikit saja makan makanan yang salah, kau akan sakit lagi." Adam menyipitkan mata. "Rose, kau ini terlalu lalai dengan kesehatanmu sendiri, aku tidak bisa tenang jika tidak ada yang merawat mu." "Kalau begitu kenapa meninggalkanku sendirian di sini?" "Tidak sendirian, perawat akan menangani semua makananmu." "Tapi aku kuliah. Besok aku harus masuk ruang praktik." Adam tau bahwa salah satu hal yang sangat Rose hargai di dunia ini adalah lukisan, alasannya untuk tetap berkuliah meski sudah mapan juga karena dia merasa berbaur dengan orang yang memiliki hobi yang sama, lebih menyenangkan dari pada sendirian. Adam menghela napas. "Besok aku akan datang lalu mengantarmu, jam berapa kau harus berangkat?" "Tidak!" Rose bersedekap. "Pokoknya aku tidak mau menginap di sini." "Rose... "Bagaimana kalau aku kerumahmu saja?" Rose tiba-tiba punya ide. "Apa?" "Dengan begitu kau bisa merawatku secara langsung kan?" "Jika dulu, menginap di rumahku tidak masalah, tapi sekarang..." Adam melirik. "Kau sudah menikah," katanya. Rose menatap datar. "Kamu sendiri tau kalau pernikahan ku ini bukan pernikahan yang sebenarnya." Dia mendengus. "Aku bahkan tidak tau apakah dia ada di rumah atau tidak." "Baiklah, baiklah. Ayo kita pulang." Adam menyadari suasana hati Rose yang memburuk dan memutuskan untuk tidak membahas pernikahan lagi dengannya. Lagi pula, membahas hal itu juga seperti menaburkan garam pada luka hatinya yang masih menganga. Bahkan jika pernikahan itu palsu, tapi janji suci mereka tetap nyata. "Yeey! Dokter, kau yang terbaik!" Rose melompat turun dan mengulurkan tangannya, meminta Adam agar cepat-cepat melepaskan jarum infus yang masih melekat di punggung tangannya. "Tunggu sampai habis dulu, setelah itu baru kita boleh pulang." Adam mulai mengemasi beberapa barang keperluan Rose. *** Dion turun dari mobil dan memeriksa ponselnya. Setelah memastikan masih belum ada balasan dari Laura, dia segera menelepon. Tapi hingga panggilan ke tiga, Laura masih tidak mengangkat, Dion mulai diliputi kecemasan. 'Laura, aku di depan rumahmu sekarang, mengapa kau tidak mengangkat teleponku?' Dion mengirim pesan seperti itu dan masuk kembali ke dalam mobil untuk menunggu. Di sisi lain, Laura sedang duduk di tengah kamarnya yang gelap gulita, hanya cahaya ponsel yang saat ini berkedip-kedip memperlihatkan wajahnya yang sembab dan bengkak. Ketika ponselnya berdering dan mati sebanyak tiga kali, Laura pikir Dion akan berhenti menghubunginya, jadi saat melihat ada pesan yang masuk, dia akhirnya meraih ponsel. Siapa yang tau, pesan yang dia dapatkan cukup mengejutkannya. Laura bangkit dengan cepat dan berlari menuju pintu balkon, begitu menyingkap tirai, dia benar-benar melihat mobil Dion sedang terparkir rapi di bawah. 'Aku akan turun segera.' Setelah mengirim pesan balasan, Laura berbalik menuju pintu, tapi begitu melewati cermin, dia berhenti. Melihat penampilannya yang berantakan, dia menyeringai. "Well, bukankah penampilan menyedihkan ini terlalu sayang jika tidak digunakan?" ujarnya seraya membelai tulang pipinya yang sedikit membiru. Laura kemudian mengoleskan obat merah di ujung bibir dan pelipisnya, membuat memar kebiruan di tubuhnya menjadi ungu dan membuat rambutnya semakin berantakan. Dion yang melihat Laura berlari keluar dengan penampilan seperti itu terkejut. "Laura! Apa yang terjadi?" Laura tidak berkata apa-apa dan langsung menenggelamkan diri di dalam pelukan Dion. "Aku tidak apa-apa, ini hanya luka kecil." "Bagaimana bisa luka kecil? Lihatlah, kau bahkan berdarah." Tangan Dion bergetar dan tidak berani menyentuh luka itu. "Siapa lagi yang memukulmu?" Laura menunduk. "Ayah hari ini bertemu dengan Rose dan gagal mendapatkan mensionnya." Dion langsung mengingat kejadian tadi siang dan bertanya. "Apakah ayahmu yang memukulmu?" Jika dipikir-pikir lagi, Rose juga sepertinya pernah menjadi korban kekerasan Donis, tapi karena karakter Rose jauh lebih tangguh, dia bisa menekan ayahnya setelah dewasa. Tapi Laura berbeda. "Laura, bagaimana jika kau meninggalkan rumah ini saja? Kau sudah dewasa, jadi mereka tidak bisa berkata apa-apa jika kau mau hidup mandiri." "Tidak bisa, walaupun mereka keras terhadapku, mereka tetap saja keluarga ku, bagaimana bisa aku meninggalkan mereka begitu saja." "Laura, tapi aku tidak tahan jika kau hidup seperti ini terus." Dion mengeratkan pelukannya. Masalahnya, ini bukan pertama kalinya Laura dipukuli, tapi dia masih saja menolak untuk pergi dari rumah. "Aku baik-baik saja. Mereka hanya memukul jika sedang kesal." Laura mendongak dan memperlihatkan senyumnya. "Jadi jangan khawatir. Tapi jika kau benar-benar cemas, kau bisa membantuku agar kemarahan ayah dan ibu bisa reda." "Katakan, apa yang bisa aku bantu?" Laura menunduk kembali dan menyandarkan kepalanya ke d**a Dion, menyembunyikan kilau dingin di matanya. "Mensionnya, jika ayah mendapatkan. Dia akan berhenti marah." Dion menegang, perasaan gelisah mulai menjalar di hatinya. "Laura, Mension itu milik keluarga Miller dan bibi Rosaline tinggal di sana selama hidupnya, Rose tidak mungkin memberikannya untuk putra hasil...kau tau maksudku kan? Bukannya aku menghina keluarga mu, tapi kau tau sendiri... "Aku tau. Tapi Rose menjualnya kan? Bukankah itu artinya dia tidak terlalu menghargai mension itu?" Laura mengeratkan pelukannya. "Aku tidak memintanya dengan gratis, aku akan berupaya mendapatkan uang untuk membelinya, setidaknya bujuk dia agar menjualnya sedikit lebih murah, bagaimana?" "Bahkan jika seperti itu, aku tidak punya hak, hubunganku tidak begitu baik dengannya." "Oh, baiklah. Aku mengerti." Laura menghela napas dan melepaskan pelukannya. "Lagipula aku sudah terbiasa, beberapa pukulan lagi tidak akan membunuhku." "Laura! Bagaimana bisa kau berkata seperti itu?" "Lalu aku harus bagaimana? Masalah mension itu sudah membuatku dipukuli beberapa kali." Dion terdiam, dari tubuhnya yang tegap dan tegang, Laura tau bahwa hati pria itu sudah goyah. Jadi, sebagai sentuhan akhir, dia harus membuatnya khawatir sepanjang malam. "Dion, kau boleh pulang sekarang. Aku tidak bisa menemuimu terlalu lama. Jika ayah dan ibu tau, mereka akan marah." Dia memeluk kedua lengannya sendiri. "Mereka terus mengatakan bahwa hubungan mereka dengan Rose semakin buruk karena aku berpacaran denganmu." "Omong kosong! Kenapa mereka dengan tidak tau malu menempatkan kesalahan mereka di kepalamu? Jelas-jelas..." Jelas-jelas, Rose membenci mereka karena perselingkuhan mereka yang bahkan menghasilkan putra sulung yang tiga tahun lebih tua dari Rose. Tapi tentu saja, Dion tidak bisa mengatakan itu, karena Laura sendiri, hampir seumuran dengan Rose. Laura tersenyum tipis. "Sudahlah, waktunya kau pulang. Sampai jumpa di kampus." Dia berjinjit dan menempatkan kecupan kecil di pipi Dion sebelum berlari masuk ke pekarangan rumah. Setelah Laura masuk, Dion tetap berdiri beberapa saat di depan gerbang keluarga Deborah sebelum akhirnya pulang. Dari balik pintu balkon, Laura melihat mobil Dion menjauh dengan senyum tipis dan tatapan dingin. "Maaf Dion, tapi aku tidak bisa meninggalkan rumah ini sampai aku merebut semua yang mereka miliki," bisiknya pelan sebelum menutup tirai. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD