Bab VIII

1351 Words
Seorang pria berdiri tak jauh dari pelabuhan. Pria itu mengenakan jubah kehitaman. Sebilah pedang dengan lilitan kain tergantung pada sisi kiri pinggangnya. Pria itu mengamati ombak di lautan nan jauh sejauh matanya mampu menjangkau pemandangan yang sudah ia lihat bertahun-tahun di tempat itu. Pemandangan yang membuatnya melupakan kesedihan, pemandangan yang mampu membuatnya bertahan. Juga pemandangan yang seharusnya tak ia lihat jika dirinya tumbuh di tempat yang seharusnya ia berada. "Fergus." Mendengar suara lirih di balik punggungnya, pria bertubuh tinggi tegap itu memutar kepala ke belakang, menoleh pada asal suara. Kini, Fergus sudah berusia tujuh belas. Sudah sepuluh tahun semenjak ia merencanakan hal besar di masa lalu, tepat ketika fakta keluarganya dan fakta tentang Kota Simia terungkap. Rencana besar itu tak pernah ia ceritakan sampai detik ini, meskipun banyak orang yang sudah mengetahui jati diri Fergus dan memutuskan untuk mendukungnya. Namun pergerakan Fergus hanya berpusat pada dirinya. Ia tak ingin membawa orang Simia lebih jauh dari ini. Inilah saatnya ia mencari dukungan di kota lain. Pasti, akan ada paling tidak, satu orang gila yang penuh hasrat untuk mengubah kepalsuan di Meronia sama seperti dirinya saat ini. Rambutnya yang hitam kelam perlahan terhembus oleh angin. Wajahnya dulu dan sekarang benar-benar memiliki banyak perubahan. Rahangnya tegas, netranya yang coklat kehitaman mampu membius banyak orang, terutama kaum hawa. Ia memiliki paras bangsawan. Seperti yang seharusnya. Melihat siapa orang yang telah memanggilnya itu, Fergus langsung berjalan mendekat. "Oh, Rio." Rio juga sama. Ia tumbuh besar hampir setinggi Fergus. Pada dasarnya Rio bukanlah laki-laki yang mementingkan penampilan. Namun setelah mengetahui sendiri bagaimana wanita, baik muda maupun dewasa, kegirangan melihat Fergus, ia tahu bahwa penampilan memang yang utama. "Kau akan pergi? Tanpa berpamitan?" Rio menatap tajam. "Kami menunggumu." Fergus menyeringai puas. "Yah.. aku gagal pergi diam-diam." "Kenapa kalian menungguku?" tanya Fergus. "Sudah jelas bukan!" pekik Rio. Tatapan mata laki-laki layaknya singa yang mengamuk. Seharusnya Fergus tahu alasan dibalik perbuatan banyak orang yang mendukung dirinya. "Kau teman, tidak, kau.. kami mengkhawatirkan kau, Fergus." "Setelah tumbuh mengetahui fakta bahwa kau de Charles yang itu, aku tidak tahu harus berbuat apa selain melihat punggungmu perlahan menjauh." Rio mendecih. Ia menghela napas kasar. Kata-katanya pun kembali dilanjutkan, "Benar. Kau berbeda dari kami semua." "Tapi.. kita besar bersama. Haruskah kau pergi sendirian?" Kini Rio sedikit menurunkan pandangan. Menunggu jawaban Fergus. Fergus mengangkat kepalanya ke atas, membiarkan semilir angin yang semakin kencang meniupnya. Langit saat itu berwarna kelabu. Awan mengarak dari arah barat. Sepertinya hujan akan segera turun. Tapi tidak sampai terjadi badai. "Aku tidak bisa menyeret kalian ke dalam masalah ini," gumam Fergus pada akhirnya mau membuka mulut. Mengatakan hal terdalam di hatinya. Rio mengibaskan tangan. "Omong kosong! Kau tidak bisa apa-apa jika kami tidak membantu! Tuan Reid dan Tuan Deus, kau yang selama ini mengubah cara mereka berpikir!" "Mereka sudah diam-diam mendukungmu di balik raja!" Fergus menggaruk kepala. "Aku masih sulit mempercayai fakta itu." "Paling tidak seharusnya kau mengatakan pada kami bahwa akan pergi! Jangan diam-diam saja!" Fergus melangkah maju. Tangannya terulur ke depan. Kedua pundak Rio pun dipegangnya kuat-kuat. "Jaga Kota Simia ya." "Aku berjanji, ketika aku kembali nanti, Meronia telah berubah." Fergus tersenyum tulus. "Lalu orang-orang Meronia tak perlu mendapat perlakuan kasar. Kita semua.. berhak pergi kemanapun bagaikan burung. Yang perlu kuperbuat hanyalah mencari suara di kota lain." Setelah mengatakan itu, Fergus menghilang. Cara dirinya bisa pergi tanpa diketahui adalah adalah teknik yang Fergus pelajari dari Reid selama bertahun-tahun. Itu adalah teknik bayangan bagi pengguna pedang. Semua teknik yang tidak sembarangan. Ketika Reid mengerti bahwa anak yang dulunya berusia tujuh tahun ketika memintanya menjadi guru ternyata adalah seorang de Rasel, ia langsung mengajarkan semua hal paling penting untuk keselamatan Fergus. Rio sampai tak bisa mengikuti jejak Fergus lagi. Seolah-olah, Fergus lenyap terbawa angin. "Dia benar-benar.. hebat." Dari kejauhan seorang wanita berlari. Napasnya terengah-engah. Wanita itu menghampiri Rio dengan raut cemas. "Bagaimana dengannya?!" "Percuma saja, Mary," ujar Rio lembut. Ia menoleh dengan tatapan hampa. Suaranya terdengar menyesal. "Kita tak bisa menghentikannya." "Tidak mungkin.. ia sudah pergi?" tanya Mary sekali lagi. Matanya berkaca-kaca. Kali ini Rio menjawab hanya dengan anggukan. Deru ombak semakin kuat terdengar. Hujan gerimis mulai turun. Mau mencari pun percuma. Fergus menyimpan tujuannya seorang diri. Tak ada pilihan lain, mereka kembali ke pemukiman. Dan disana, Reid dan Deus Cahrles tengah berdiri menanti mereka. Banyak orang pun tahu bahwa Fergus melarikan diri tanpa meninggalkan kabar atau pesan. "Biar kutebak. Fergus sudah menyusup ke kapal?" Deus melipat tangan. "Seharusnya aku tidak mendengarkan kalian. Sekarang reputasiku akan terancam." Reid memukul bahu putranya. "Reputasi itu yang membuat aku ada di sini. Jangan memikirkan harta, anak itu telah melakukan yang tepat." "Kau sebenarnya sudah sangat yakin bukan? Kalau Simia juga harus bisa maju seperti kota lain?" tanya Reid melempar Simia sebagai umpan. Deus tersenyum miring. Hanya satu sudut bibirnya yang terangkat. "Mengharapkan keadilan? Kita yang buangan di kota ini? Lebih baik melindungi nyawa daripada macam-macam, Ayah." "Tapi, kau tetap mendukungnya," guman Reid menekankan. "Kenapa?" "Karena dia seorang de Charles, keturunan yang disembunyikan. Menghilang dalam pencarian." Deus mengerucutkan bibir. "Aku hanya mendukungnya karena dia kerabat raja terdahulu. Aku hanya mempercayai catatan buku saku wanita itu." "Kalau saja nasibnya memang membalikkan tahta dan membuka mata Meronian dari sejarah yang salah, aku hanya ingin nyawaku selamat." "Bekerja di antara dua pihak tak ada salahnya." Reid tertawa. "Terserah padamu, asalkan kau sudah tahu, tidak apa." Deus melirik ke arah Rio dan Mary. "Jadi, kalian tahu tujuannya? Apa dia akan ke pulau Simia yang lain? Atau..?" Rio menggeleng. "Fergus tidak mengatakan apapun." "Ia hanya mengatakan bahwa akan mencari suara di tempat lain." Dari rumah Fergus, Sarah keluar. Ia tahu anak itu pergi pagi-pagi buta tanpa memberi kabar. Dan ia tidak tertekan. Itu memang sudah sepantasnya terjadi. "Jangan mencarinya.." Sekarang banyak pasang mata yang melihat ke arah Sarah. "Jangan mencarinya," ulang Sarah terpaku. Suaranya tercekat. "Nyonya Veronica de Rasel menitipkan pada saya, jika suatu saat Fergus ingin tahu, saya harus menceritakan semua. Lalu jika Fergus menginginkan sesuatu, ia harus hidup memperjuangkan keinginannya." Deus tidak memedulikan Sarah. Ia kembali mencerna perkataan Rio sebelumnya. "Nak," panggil Deus, "katamu dia pergi 'mencari suara' di tempat lain? Itu sungguh perkataan anak lancang itu?" Rio mengangguk pelan. Detik berikutnya, ia ternganga. Matanya membulat sempurna. Dalam satu kalimat sederhana itu, Fergus telah mengatakan tujuannya. "Dia pasti ke Hacres," Deus menjentikkan jari, "lalu Syre, berikutnya.." "Lydei," ujar mereka membeo. Reid menyangga kepala. "Apa dia berniat membunuh raja tanpa rencana?" "Dia tidak bodoh," gumam Deus berpikir. "Sejak dulu, anak itu cerdik. Suara.. ya." "Aku mengerti." Deus berdiri di tengah, mengambil atensi penuh. "Fergus berusaha membuat pasukan revolusioner. Dengan kata lain.." Rio, Mary, Sarah, Reid, laku semua orang Simia yang sempat berkumpul untuk mengetahui masalah tentang Fergus, tiba-tiba saja merasakan mual dan pusing yang luas biasa. "Pemberontakan." "Tapi kenapa kami tak boleh ikut?!" protes Rio, juga Mary. Paman Hyke, Nenek Sola, dan beberapa pemuda mengepalkan tangan. "Itu berbahaya. Ide Fergus sungguh berbahaya." Semua berpikiran sama. "Kalian tidak akan bisa mengikuti rencana Fergus," kata Deus tegas. "Karena kalian adalah seorang Simia." "Tapi, Fergus memiliki bukti tertulis." Deus menghampiri Sarah. "Buku itu di rumah, atau tidak ada." "Fergus mengambilnya." Sarah menundukkan kepala. "Itu akan menjadi bukti nyata." Reid menghela napas. "Dia sudah menyiapkan diam-diam sejak lama. Sejak semua orang mengetahui siapa dirinya." "Pantas saja, dia bilang mau berlatih pedang untuk melindungi semua orang." "Karena memang itu tujuannya." [Anak itu bersungguh-sungguh sejak dulu hingga sekarang. Naif dan pemberani. Kecerdasannya hanya nilai tambah.] Reid tertawa di balik kecemasan hatinya. [Tetaplah hidup sampai akhir, Fergus! Kunantikan hasilmu.] *** Fergus saat ini tengah berada di sebuah dek kapal. Ia tentu menyamar. Apalagi mengetahui fakta bahwa ia menyusup ke dalam kapal yang mengarah ke Kota Hacres. Ingat, kapal yang berlabuh menuju Simia tak pernah menambatkan tali ataupun berhenti terlalu lama. Setelah meletakkan semua barang, mereka akan langsung kembali ke kota asal. Entah itu Hacres atau Syre, mereka akan langsung kembali begitu saja. Dan Fergus menyamar menjadi salah satu pekerja kapal. Awan semakin kelabu. Hujan semakin deras seiring ombak mengombang-ambingkan kapal. Fergus telah membulatkan tekad, sehingga menjadi perjalan yang panjang sekalipun bukan apa-apa. "Demi semuanya." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD