Dalam kapal, Fergus mulai berpindah menuju ruang penyimpanan tong, dek bagian bawah. Walaupun dek bagian bawah adalah tempat yang rentan untuk terkena serangan mabuk laut, Fergus tetap harus berada di sana.
Lantaran situasi saat ini sangatlah tak mendukung.
Badai telah terjadi. Meskipun jarak Simia menuju Hacres tak terlalu jauh dan hanya butuh kurang lebih tiga hingga empat jam untuk sampai, ombak yang tinggi mampu menimbulkan bahaya besar. Melaju dengan kecepatan penuh menembus angin adalah kebodohan. Apalagi saat ini layar kapal tertiup sempurna.
Sayup-sayup terdengar suara teriakan awak kapal. Mereka hendak menggulung layarnya.
"Anginnya terlalu besar!"
"Kalau begitu gulung layarnya!"
"Kalau begitu kita akan terapung tanpa arah!!"
"Itu lebih baik daripada melawan angin!! Biarkan saja angin meniup kapal ini untuk sementara waktu!"
Dari apa yang Fergus tangkap, suara mereka terdengar panik. Ia sendiri merasakan bahwa kapal itu terlalu lama bergoyang-goyang. Ombaknya sangat mengesalkan.
Fergus berdiri, ia mencari celah di balik beberapa tong penyimpanan anggur, mencari bagian yang benar-benar tersembunyi, tapi ia tetap bisa bernapas lega. Paling tidak Fergus harus bertahan.
Jika kemungkinan terburuk muncul, ia akan mengerahkan segalanya dalam kemampuan yang sudah dirinya asah bersama dengan Reid.
Pertahanan diri itu penting!
Sementara Fergus bersembunyi di balik beberapa tong, ia merasakan kejanggalan. Di luar memanglah berisik, Fergus tahu benar akan hal tersebut, tapi ia mendengar, atau lebih tepatnya, Fergus merasakan kehadiran orang lain di ruang penyimpanan itu.
Mungkin hanya perasaannya. Perasaan terasing di tempat baru memang menyebabkan pikiran kacau. Terkadang ketakutan terbesar seseorang hanyalah pada pikirannya sendiri. Apa yang ditakutkan sebenarnya bukan apa-apa, bahkan cenderung kekanakan. Namun, rasa mencekam dari otot yang bergetar hebat dan bulu kuduk yang berdiri memberikan tekanan yang hebat.
Tentu, ada cara untuk mengendalikan perasaan itu. Bagi Fergus, cara itu adalah memikirkan masa lalu.
Hal apa yang paling membuatnya bahagia di masa lalu mulai diputar dalam benak. Dengan cara itu, Fergus mampu memusatkan segala perhatian yang tidak perlu pada memorinya selagi menunggu badai reda dan kapal terkendali sempurna.
[Hal yang paling membuat bahagia, kah?]
[Itu.. ibu.]
Fergus tersenyum getir. Belum apa-apa ia sudah merindukan Sarah. Ia mencemaskan apa yang ibunya itu pikirkan saat ini. Akan tetapi, semua ini adalah pilihannya.
Fergus tak boleh berbalik, bahkan sekadar menyesal.
Semua harus dilalui. Jika ingin kembali, harus kembali dengan membawa hasil yang besar. Layaknya nelayan menangkap ikan, layaknya seseorang yang berbelanja. Harus ada sesuatu yang ia peroleh sebagai bukti bahwa keputusan dirinya bukanlah kesalahan.
"Ini demi semua orang. Ya, demi semua orang." Fergus bergumam lirih. Meskipun suaranya tak terdengar lantaran suara petir menyambar di luar sana, ia sudah cukup tenang.
Berikutnya, Fergus kembali melihat ke masa lalu. Masa dimana ia berlatih bersama Reid.
[Sepuluh tahun itu bukan waktu yang singkat. Perkembangan di dalam diriku ini adalah jawabannya.]
[Aku akan mengerahkan semua yang kupelajari dari Tuan Reid untuk melindungi mereka!]
[Raja Mero, kau merampas hak kami dari dunia, menutupinya dengan kebohongan, dan membuat kami terlupakan. Satu pesanku padamu.]
Fergus menajamkan mata. "Aku pasti, akan menurunkan dirimu dari singgasana itu."
"Dan membuatmu membayar waktu berat yang sudah kuterima selama ini!"
***
[Delapan tahun lalu, Kota Simia.]
Sebuah kabar terdengar. Kabar mengejutkan bahwa putra yang dibesarkan Sarah adalah seseorang yang amat penting. Seorang anak dengan garis keturunan kerajaan. Seorang anak dalam persembunyian.
Entah darimana asal kabar itu, Fergus hanya tahu bahwa dirinya tak pernah berani mengatakannya pada orang banyak. Mary, Rio, bahkan Tuan Reid, tak satupun orang yang dekat dengan Fergus ia beritahukan fakta itu setelah mendengarnya sendiri dari Sarah. Murni hanya mereka berdua. Hingga umurnya sudah menginjak sembilan tahun, semua rahasia itu aman. Namun baru sekarang, fakta terungkap bagi banyak orang.
Seseorang dalam bayangan telah mengetahui. Entah dia adalah pengintai atau hanya sebatas tetangga usil, yang jelas kini Fergus dituntut untuk siap jika banyak pasang mata telah mengincarnya.
"Pantas saja, cara anak itu berpikir tak wajar! Ia terlalu hebat! Tak ada anak biasa yang bisa memikirkan hal sehebat festival, lampu gantung, ataupun melakukan pembukaan dengan bahasa yang sangat halus! Kukira hanya aku saja yang merasakan keganjilan, tapi ternyata kalian juga?!"
"Benar. Kalau dipikirkan baik-baik, bahasa yang diajarkan Sarah pada anak itu sedikit lebih halus. Dia dari awal sama sekali tak mirip ibunya. Aku sudah menaruh curiga."
"Memangnya dia anak siapa?"
"Dia anak salah satu selir Kerajaan Lydei! Itu.. dia berhasil kabur dalam pertempuran. Kalian tahu kan.. yang 'itu'?"
"Ah.."
Orang-orang bergosip. Seiring waktu berjalan gosipnya semakin menjadi. Bahkan tak segan-segan mereka mencari Fergus dan menanyai langsung, terlepas Fergus adalah anak kecil atau bukan.
Kabar burung itu sampai di telinga Deus. Deus yang tidak menaruh lupa pada perbuatan Fergus saat mengadakan festival langsung datang menuju rumahnya. Hendak menyingkirkan anak itu.
Sarah sampai dihajar. Akan tetapi, Reid cepat bertindak. Adu mulut dan adu otot tiba-tiba saja membuat gaduh dan banyak orang berkumpul untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi di hadapan mereka.
Fergus berlari dari jauh. Saat itu ia lupa menaruh pedang kayu pemberian Reid. Banyak orang terkejut dan meminta keterangan.
Akhirnya Sarah berdiri di antara mereka, memohon perlindungan.
Ia mengatakan bahwa Fergus sungguhlah seperti yang mereka dengar.
"Fergus memanglah keturunan terakhir dari de Rasel. Pangeran Alastair de Rasel dan Nyonya Veronica de Rasel adalah tuan dan nyonya yang saya layani."
Sarah menoleh dengan sebuah senyuman pendek di wajah. Air mata menetes di pelipisnya. Wanita itu sedang membungkuk hormat, memohon ampunan dan perlindungan.
Fergus menangis. Ia melesat di depan Sarah laku menghadang banyak orang dengan pedang kayu. "Untuk apa kalian mendesak ibuku?! Ini semua salahku! Salahku! Jangan lakukan apapun pada ibu!"
"Dia bukan ibumu!"
Suara Deus Charles menggelegar.
Pria itu melangkah tepat di depan Fergus. Sebilah pedang besi terarah tepat di sisi leher Fergus. Dengan suara berat ia mengatakan, "Kau ancaman bagi Meronia."
"Deus, hentikan." Giliran Reid yang maju. Sekarang sebilah pedang mengarah pada leher Deus. "Aku tidak main-main."
"Pria yang mengatur sebuah kota hendak membunuh anak kecil tak berdosa? Apa serendah itu aku membesarkanmu selama ini? Setidaknya kita harus mendengarkan semua yang ada."
"Karena kita semua sama dengan anak ini."
Mereka menelan ludah mendengarkan Reid. Perkataan mantan pemimpin Kota Simia ada benarnya.
Setelah itu, Sarah bercerita panjang mengenai keberadaan dirinya dan bagaimana ia dan Fergus bisa sampai di Kota Simia. Semua orang terharu mendengarkan kisah itu.
Api baru keluar di dalam hati. Sebuah api membara yang belum melebar membakar, melahap semua di hadapan.
Pada akhirnya, Deus mempertimbangkan kembali sikapnya itu. Ia tak jadi menyingkirkan Fergus.
"Menyebalkan. Jika bukan karena orang-orang itu, aku sudah memenggalnya."
"Aku menyelamatkan harga dirimu, Fergus," tepuk Reid di belakang. "Kalau tidak, kau takkan dipilih untuk memimpin mereka. Tanpa sadar semua perbuatan itu justru bisa menikammu."
"Kita kaki tangan raja, apa yang harus kuharapkan? Menentang tuanku sendiri? Itu tindakan paling benar, Ayah."
"Tidak. Itu salah." Reid menghela napas
"Kalau bisa menggigit tuanmu yang saat ini, kau bisa lebih bebas lagi, Deus. Ah, tidak hanya kau, tapi semua orang di Kota Simia."
"Itu yang kau inginkan bukan? Kau sama saja seperti anak itu," bisik Reid, "naif, mengejar kebahagiaan. Pada akhirnya kau hanya mementingkan keselamatan dirimu sendiri. Dukung anak itu, biarkan dia hidup."
"Entah kejutan macam apa yang akan ia lakukan nanti."
Setelah kejadian itu selesai, Fergus pun bercerita pada Sarah perihal latihan rahasia dirinya dengan Reid. Mau sekeras apapun ia mencoba menutupi, itu akan sia-sia.
Sarah memaklumi sekali lagi semua keputusan Fergus dengan perkataan mendiang Veronica, ibu Fergus.
Dengan kekuatan itulah, Fergus tumbuh.
Seiring Fergus menguat, banyak orang mencari celah agar bisa bebas dari Simia. Nyatanya tak seorangpun bisa.
Kota itu penjara, dan kini semua orang terbakar. Protes terhadap kebijakan kapal yang tak pernah singgah adalah hal utama yang membuat mereka tak bisa keluar. Reid dan Deus sampai kewalahan menghadapi.
Fergus muncul, lalu anak itu kembali mengejutkan banyak orang.
Hari-hari di Kota Simia diisi dengan pembentukan pelajar. Fergus menawarkan pada Deus agar orang muda diberikan pendidikan kesatria untuk mengalihkan perhatian.
"Selebihnya, mereka akan berpikir bahwa dengan belajar, suatu saat nanti mereka bisa mengubah Simia."
Deus mendecih. "Idemu itu.. menyebalkan."
"Akan kuterima."
Fergus menjalani hari-hari yang gelap itu dengan terang yang cukup untuk menunjukkan tujuannya.
Perlahan wajah Meronia berubah dan ia menemukan beberapa orang yang mendukung dirinya.
Akan tetapi, Fergus berpikir untuk berjuang tanpa melibatkan mereka. Dia berusaha mencari cara agar orang-orang Simia yang malang hanya perlu menerima hasil yang ia perjuangkan.
Untuk itulah, ia merencanakan hal besar tanpa mengajak banyak orang Simia di dalam.
"Mereka hanya perlu menungguku."
"Akan kutunjukkan pada mereka bahwa dunia ini, dunia ini tidak meninggalkan kami sendirian di bawah raja yang egois."
***
Kini.. ia siap.
Badai telah mereda. Sekarang suara bising ombak mulai terkendali. Terdengar pula suara layar yang kembali dikembangkan.
Pancaran Sinar Matahari siang menuju petang perlahan masuk ke dalam ruangan. Tanda bahwa awan mendung telah sirna seutuhnya.
Kini tak butuh waktu lama bagi Fergus ketahuan, jika tak hati-hati memilih waktu yang tepat untuk keluar.
Kurang lebih satu jam lagi mereka akan sampai di pelabuhan Hacres, kota surga bagi nelayan kapal dan angkatan laut Meronia.
Kesatria Hacres terkenal dengan yang paling hebat. Untuk itulah setelah Meronia terbentuk, orang-orang Hacres banyak yang pekerja di pemerintahan. Mereka menjadi kesatria yang erat hubungannya dengan istana di Lydei, ibu kota bagi Meronia.
Di kota itu akan menjadi harapan besar bagi Fergus untuk mencari 'suara' yang mamou mengubah Meronia.
Untuk saat ini Fergus tak bisa memikirkan bagaimana ia akan melakukannya. Entah dengan pertandingan duel, atau bekerja, atau mungkin mengembara. Tidak tahu. Ia hanya membiarkan tekadnya mengambang di udara.
Rencana panjang yang rumit mendadak sebatas angan belaka bila Fergus kehilangan arah untuk mewujudkannya.
Tapi hati Fergus sudah yakin ia akan menemukan orang yang seperti itu. Karenanya, ia tidak terlalu khawatir.
Suara langkah kaki terdengar.
Salah satu awak kapal sedang memeriksa persediaan tong anggur.
[Gawat.]
"Baiklah, tak ada yang tumpah," gumam pria yang tengah mengecek persediaan. "Sia-sia aku berlari hingga terpeleset kemari."
"Kita perlu menghitung jumlahnya."
Seorang lagi datang.
"Hee.. kapten sungguh telaten. Padahal kalau tong menggelinding di laut selepas badai tadi kita langsung tahu dari suaranya."
"Lebih baik turuti saja. Perasaan kapten sedang tidak enak." Seorang yang lain memperingatkan.
"Memangnya kenapa?"
"Kapten merasakan ada orang asing di antara pekerja. Meskipun, kita tidak tahu siapa."
"Hahaha! Kapten ini! Dia sendirilah yang orang asing! Padahal tak bisa mengingat awak kapal baru ini, tapi ia sudah merasa ada penyusup! Memangnya untuk apa kita menyewa Gil dan Gal? Mereka penjaga yang cukup hebat untuk memperhatikan kapal."
"Apalagi," sambungnya, "kita tidak benar-benar berhenti di Pelabuhan Simia. Tak mungkin orang pendosa di sana mampu melompat ke kapal tanpa suara."
"Tidak," bantah pria satunya. "Kapal sempat berhenti dan mengikat tali di pelabuhan. Hanya sebentar karena kapten mengamati arah langit."
"Ey! Tapi tidak mungkin akan ada penyusup."
Tiba-tiba saja, Fergus menimbulkan suara.
Perutnya berbunyi. Suaranya begitu keras. Fergus tersenyum miris.
"Siapa di sana?!"
Tong anggur dipukul. Beberapa menggelinding karena awak kapal itu langsung menuju ke arah Fergus. Menemukan sumber suara.
[Ah, perutku menjerit.] Ia berkeringat dingin.
"Yah, ketahuan. Ketahuan," ujar Fergus bersenandung. "Maaf saja.. ini perjalanan laut terlamaku seumur hidup."
Dengan sekejap ia melawan dua awak kapal itu dengan pedangnya.
"Hanya ini yang bisa kulakukan sebagai salam pembuka."
Lalu Fergus pun pergi keluar, berpikir untuk menghabisi seisi awak kapal dan mengambil alih kemudi seorang diri.
Idenya itu, selalu gila. Apalagi ini langkah pertamanya untuk mewujudkan perubahan.
Melewati dua orang yang sudah ia pukul begitu keras dengan sarung pedang hingga pingsan, Fergus bersiap menyambut tantangan hidup.
***