"Tuan muda adalah keturunan terakhir Keluarga de Fergus, keluarga garis keturunan raja dari Lydei."
"Dulu sebelum terbentuk Ibukota Lydei, berdiri Kerajaan Lydei. Sama seperti Lydei, kota lain di Meronia adalah kerajaan juga."
Cerita pun mengalir. Sarah menceritakan bagaimana kerajaan-kerajaan kecil terbentuk hingga saat dimana Meronia mulai menampakkan nama sebagai kesatuan dari semuanya.
Fergus yang semula tak ingin mendengarkan, semakin lama Sarah bercerita, semakin ia tidak puas mendengarnya. Ia sangat, sangat penasaran. Semua tentang kerajaan, lalu siapa dirinya.
"Lalu, mengenai ayahmu, adalah pangeran ketiga dari Kerajaan Lydei, Alastair de Rasel." Sarah memegangi kedua pundak Fergus. "Tuanku yang sebelumnya, keturunan selir Raja sebelum Tarius de Rasel. Raja Tarius, saudara tiri tertua ayahmu, adalah awal dari semua kekacauan ini."
"Tuan muda Fergus de Rasel, Tuan muda yang dititipkan mereka padaku. Satu-satunya dari de Rasel yang selamat."
De Rasel.
Sekarang Fergus mengerti apa nama keluarganya.
"Ibu," panggil Fergus pelan, "ja-jangan memanggilku tuan muda! Aku, tidak nyaman.."
Sarah tersenyum getir, "tapi itu kewajiban. Ibumu yang sebenarnya, Veronica de Rasel, menitipkanmu padaku agar kau, Tuan mudaku, terus dihormati terlepas keadaan yang telah terjadi. Ketika tiba saatnya keingintahuanmu menguat, aku.. harus melakukan ini, Tuan muda Fergus."
"Tidak!!" seru Fergus menolak. "Jangan! Aku tidak mau diperlakukan seperti orang asing! Kau ibuku! Sampai kapanpun kau ibuku! Bukan pelayan, tapi orang yang membesarkan aku!"
"Jika itu perintah dari Tuan muda, akan dilaksanakan."
"Ini bukan perintah!! Ini permintaan!!" Fergus kembali memekik. Air mata mengalir di pelipis anak laki-laki itu. "Kumohon.. ibu.."
Sarah spontan memeluk Fergus lagi. "Aku juga tak ingin.. Fergus. Tapi, Fergus tetaplah Tuan mudaku, walaupun aku membesarkanmu seperti anakku sendiri."
"Kalau begitu aku tidak perlu tahu!" Fergus melempar buku saku itu ke sudut ruangan. "Aku tidak ingin tahu!! Biarkan saja! Aku akan bersama ibu sampai akhir!!"
"Meskipun ibumu yang sebenarnya mempertaruhkan nyawa agar kau bisa hidup?"
Pertanyaan Sarah membuat hati Fergus terbebani. Tenggorokannya tercekat, ia tidak bisa menolak fakta bahwa ia sangat ingin tahu apa yang terjadi di masa lalu. Bagaimana keluarganya bisa berkaitan dengan raja. Lalu, mengenai Sarah, dan tempat ini, semua, semua adalah pertanyaan terbesarnya.
Sarah berdiri. Ia meraih buku saku yang dilempar Fergus beberapa saat lalu. Sarah merapikan kertas yang mencuat berjatuhan berkat lemparan Fergus. Di antara kertas itu, terdapat tulisan tangan yang sangat indah. Sarah memisahkan kertas itu dari yang lain. Ia pun kembali ke ranjang dan memberikan kertas itu pada Fergus.
"Ini seharusnya diberikan padamu saat sudah lebih dewasa dari sekarang," guman Sarah mengulum senyum. "Tapi karena Fergus sangat pintar, kurasa.. ini saat yang tepat untukmu membacanya."
"Kalau kau masih menganggapku ibumu, ini akan mengubah bagaimana kau melihatku, Fergus."
"Tidak! Walau k****a sekalipun ibu tetaplah ibu! Akan tetap seperti itu sampai akhir! Ibu bukan pelayanku! Ibu orang yang merawatku!"
Fergus membuka lipatan kertas yang sudah mulai kekuningan itu.
Dan inilah, isi dari surat Veronica de Rasel, ibu sah Fergus, pada anaknya, Fergus de Rasel.
***
Kerajaan Lydei kala itu mendapatkan kunjungan dari seorang penyihir ternama yang telah menuntaskan pengembaraannya. Raja Tarius de Rasel sudah lama menantikan kehadiran penyihir itu.
Kehadirannya disambut dengan luar biasa lantaran tradisi Lydei yang menghargai penyihir lebih dari kerajaan manapun. Ketika penyihir hadir di istana, ia akan memulai pembacaan takdir raja dan ratu beserta seluruh bangsawan dan seisi negeri. Nasib baik dan buruk semua tergantung dari pembacaan sang penyihir.
Penyihir itu disebut sebagai Emel. Sebenarnya, ia memiliki banyak nama, namun nama yang paling melekat dengan dirinya adalah Emel, yang berarti 'hasrat' dan 'kekuatan'. Namanya sudah menjadi kehebatan tersendiri bagi Lydei. Ialah kebanggaan dari kerajaan itu.
Emel terbilang awet muda. Kenyataannya tak ada yang tahu berapa umur Emel, tapi ia sudah melayani raja dari tiga generasi yang berbeda.
Benar bahwa Lydei selalu mengganti kepemimpinan dengan nama rakyat dan keadilan. Akan tetapi, raja bijak di Lydei sudah tergaris sempurna di keluarga de Rasel. Tak ada yang keberatan karena raja keturunan de Rasel selalu melakukan yang terbaik.
Emel berjalan melintasi mereka. Lantai marmer hingga karpet merah yang menuju kursi dimana raja berada menjadi tujuan Emel. Dengan rambut hitam sepanjang punggung dan satu pasang mata semerah delima, banyak orang yang tak bisa melepaskan pandangan dari Emel. Tak mudah untuk melakukan itu baik pria maupun wanita. Wajahnya yang rupawan kemudian kerap kali dibicarakan oleh para wanita, baik dari kalangan kelas atas maupun jelata. Meskipun begitu, Emel tak tertarik. Ia hanya menjalankan tugas sesuai perintah dan keinginan raja.
"Jadi, apa yang ingin Yang Mulia lihat hari ini?"
Pertanyaan yang dilontarkan Emel kala itu adalah akar dari semua kejadian. Ketika hasrat telah berbicara, maka segala kekuatan akan digerakkan untuk memenuhinya.
Raja Tarius melihat pada saudaranya yang lain. Mereka berdiri di sisi kiri dan kanan raja. Dari sisi kiri terdapat saudara perempuan, para putri berdiri di sana. Sementara itu di sisi kanan ada dua pangeran. Keduanya adalah saudara tiri Tarius.
Yang paling bungsu bernama Alastair de Rasel. Ia merupakan pangeran ketiga yang lahir dari rahim seorang selir tanpa nama. Keberadaannya bagaikan bayangan. Ia sama sekali tak mendapat perhatian maupun sorotan. Semua mata hanya tertuju pada saudara-saudara lain yang adalah keturunan ratu pertama dan ratu kedua.
Meskipun begitu, raja sebelumnya sangat menyayangi Alastair de Rasel karena pangeran bungsu itu sungguh berwibawa, bahkan memberikan pasangan yang cukup berpengaruh bagi Lydei. Membuat Tarius iri.
"Katakan padaku, Emel, akan jadi sebesar apa negeri ini di dalam namaku?"
Hasrat yang pertama.
Emel membungkuk hormat. Tangannya kemudian mengetukkan sebuah tongkat ke lantai marmer istana. Cahaya kehijauan menguat dari tongkat itu sebagai sumbernya. Ketika Emel merapalkan sebuah mantra yang hanya ia ketahui seorang diri, cahaya pendar kehijauan itu berubah bentuk menjadi lingkaran besar dengan simbol pentagram di tengah. Berikutnya simbol pentagram berubah menjadi simbol bintang yang garisnya saling berhubungan satu sama lain.
Emel tersenyum puas. Ia sudah melihat apa yang raja ingin lihat.
"Lydei dalam kekuasaan Yang Mulia akan menjadi besar di tanah ini."
"Akan tetapi, semua itu tidak dengan nama Lydei, melainkan nama seorang gadis dari Kerajaan Hacres, Meronia."
Tarius tercengang mendengar Emel. Ia tidak berkata-kata lagi.
Berikutnya ia turun menyamar. Tujuannya adalah menuju Kerajaan Hacres. Tarius menyamar sebagai pengembara sederhana.
Apa yang terjadi setelah itu memasukkan seseorang lagi yang memiliki andil besar bagi Kerajaan Lydei. Yaitu Mero, nama dari raja Meronia yang saat ini memegang tahta.
Semua kacau setelah Mero mengkhianati Tarius dan membunuh semua anggota keluarga kerajaan di Lydei.
Dan sebagian fakta kisah kelam itu diputar balikkan.
***
Sarah menghela napas. Ia telah selesai mengatakan semua pada Fergus. Sekarang tinggal menunggu bagaimana Fergus bereaksi.
Ia tahu, tidak tepat baginya untuk berharap agar Fergus bisa terus bersamanya. Itu adalah permintaan egois.
Terlepas dari semua kasih sayang yang ia curahkan, Fergus adalah anak yang selalu mengharapkan keadilan. Ia tak sadar itu, tapi dari semua perkataan dan perbuatannya, Sarah tahu. Ia sangat tahu.
Karena Fergus mewarisi darah Pangeran Alastair dan Nona Veronica, nyonya besar bagi Sarah.
Fergus bergetar hebat. Ia membutuhkan waktu agar bisa menerima kenyataan. Semua informasi itu diterima begitu cepat dalam pikirannya yang sederhana, Fergus tak bisa mencerna begitu saja.
"Butuh air?" tawar Sarah mengulurkan segelas air di depan wajah Fergus. Anak itu menerimanya dan langsung menenggak hingga gelas tersebut kosong seketika.
"Memang tak bisa dipercaya dan mengejutkan. Tapi itulah hubungan keluarga de Rasel dengan Raja Mero I yang saat ini memerintah."
"Tapi kenapa.." gumam Fergus dengan suara terisak.
"Semua kebenaran disembunyikan," kata Sarah. "Tak ada yang tersisa. Meskipun begitu, perang terlanjur terjadi."
"Ia mengubah fakta bahwa Raja Tarius terbunuh dalam pertempuran bersama seluruh keluarganya," Sarah memelankan suara. "Tapi kenyataannya ialah yang membunuh mereka semua."
"Termasuk... Nyonya Veronica."
Fergus meremas surat mendiang ibunya. Ia sudah membaca keseluruhan isi dari surat itu meskipun ia masih tak bisa menerima fakta dengan cepat.
"Jadi.. ibu ingin aku jauh dari Lydei? Untuk itu kau membesarkanku di Simia yang ternyata adalah kota pembuangan 'penjahat' perang supaya Raja Mero I tidak mencurigai keberadaanku? Kota yang kosong dan paling jauh dari Lydei ini?"
Sarah menundukkan kepalanya. Ia mengangguk kecil. "Memang itu yang terjadi."
"Orang-orang Simia asli dan orang-orang pendatang sisa perang tidak pernah mau mengungkapkan cerita ini karena mata Raja Mero I ada dimana-mana. Kami bersumpah membesarkan keturunan dengan sedikit kebahagiaan kecil. Itulah kenapa tak banyak orang mau membuat kehebohan seperti Tuan Deus. Lalu tak ada anak yang mengetahui Simia adalah 'penjara'. Tuan Reid sebelumnya menjanjikan agar hak-hak kita tetap terjamin asalkan menutup mulut dan itulah yang dilakukan hingga saat ini. Tak ada tuntutan. Bisa makan saja sudah cukup."
Sarah menatap menatap Fergus mata ke mata. "Jadi, apa yang Tuan muda ingin lakukan?"
Fergus mencengkeram selimut. Surat ibunya sudah ia lempar lagi ke sudut ruangan.
"Aku.. akan ke Lydei."
"Aku harus."
"Tidak boleh," tegas Sarah. "Itu sama dengan membuat revolusi di Meronia."
"Ini alasanku hidup!" Fergus meninggikan suara. Ia mengeluarkan sebuah benda yang sejak tadi menarik perhatiannya di buku saku. Benda itu memiliki simbol yang sangat khas. Simbol yang terbilang sebagai simbol kerajaan. Itu simbol keluarganya. Sebuah bros yang terbuat dari emas dan perak, berhiaskan berlian dan batuan mulia.
"Aku akan memperjuangkan simbol ini! Akan kukatakan pada dunia bahwa de Rasel belum mati! Satu Meronia berhak tahu bahwa raja saat ini tak pantas memerintah!"
Fergus memang anak baik. Dia selalu ingin perubahan di atas ketidakadilan.
"Sudah kuduga, kau akan mengatakan itu setelah mengetahui semua." Sarah tersenyum getir. Lagi-lagi hatinya sakit.
"Ibumu, Nyonya Veronica berpesan satu hal telat ketika menyuruhku pergi untuk menyelamatkanmu."
Sarah mendekat pada telinga Fergus. Anak itu berkaca-kaca, namun tekadnya sudah bulat.
Apapun yang Fergus dengar, takkan lagi mengubah dirinya untuk yang kedua kali. Ia sudah cukup membuat Sarah menderita dengan semua fakta itu, maka ini saatnya untuk Fergus pergi demi harapan banyak orang.
Pasti, ada orang di luar sana yang sama seperti dirinya. Mengetahui kebenaran dan berusaha pergi untuk mengambil yang sepantasnya diambil dan merebut yang sepantasnya direbut.
"Fergus," bisik Sarah perlahan.
"Hiduplah.. untuk memperjuangkan keinginanmu."
Tangis Fergus pecah.
"Aku.. ingin semua orang bahagia."
"Karena itu, aku akan mengubah Meronia!"
Kota Simia akan menjadi titik api bagi tekad Fergus.
***