Untuk sesaat, Fergus memang merasakan hidup. Ia menghidupkan kota itu menjadi lebih bisa dikenang, lebih bahagia, dan lebih banyak tawa.
Hanya sesaat.
Sampai seseorang menjatuhkannya. Melempar Fergus kembali ke dasar Bumi.
"Ketahuilah posisimu!"
Hatinya menjerit ketika Deus berusaha untuk memukul kepalanya. Orang-orang berlarian, mereka sudah mulai membereskan segala hal. Festival usai pada pukul tujuh malam, tak sesuai perkiraan Fergus yang akan sampai larut.
Fergus terjebak. Meskipun ia ingin membantu mereka juga untuk membereskan festival, ia tak bisa. Ia harus menghadap bersama Deus, putra dari Reid.
Reid Charles sudah berusaha menjauhkan Fergus. Setidaknya, Fergus takkan dipukul secara tiba-tiba lagi. Apalagi Sarah sudah berlari menuju tempat anak itu berada.
Mereka bertiga dalam ketegangan yang tinggi.
"Deus," panggil Reid datar, "yang kau lakukan adalah kesalahan."
Deus menatap dengan tajam. "Ayah, jika yang kulakukan adalah kesalahan, maka akan disebut apa semua ini? Ayah sudah berjanji padaku untuk menyerahkan segala hal mengenai Simia dalam namaku. Tapi apa? Aku tak mendapatkan apapun bahkan untuk sekadar dihargai. Sebaliknya justru ayah berusaha mengambil kekuasaan lagi dari tanganku. Itu akan menimbulkan perpecahan di kota ini!"
Reid sudah mengirim surat untuk disampaikan pada Deus. Ia seratus persen yakin telah mengirimkannya. Sebelum Deus tiba, Reid sudah mengutus seorang pelayan pula untuk menjelaskan pada Deus apa yang sedang terjadi di Kota Simia.
Ada kejanggalan.
Sekarang Reid mengeri mengapa anaknya itu dengan dirinya selalu tak pernah sepemikiran.
Seseorang dengan rencana keji berusaha menjauhkan mereka berdua.
"Deus, ini tidak seperti yang kau kira," jelas Reid berusaha menenangkan. Ia percaya Deus bukan anak yang tak mau mendengarkan. Reid terus mendesak Deus agar mau mengerti. "Anak ini hanya mencoba untuk mengumpulkan orang-orang di kota ini dan menikmati makanan dengan api unggun. Ini menyelaraskan kebahagiaan."
"Kita tidak berusaha berontak atau apa, jangan menyamakan orang-orang Simia seperti orang-orang yang ada di Hacres," pinta Reid dengan lembut. Tangannya berusaha menepuk pundak putranya, tapi Deus langsung menepis.
"Anak ini.." gertak Deus marah, "siapa ibunya?"
"Saya, Tuan."
Sarah berjalan dengan langkah yang penuh keberanian. Ia sudah siap kapanpun hari ini akan terjadi.
"Didik anakmu dengan benar!" bentak Deus menggelegar. Fergus sampai gemetaran bersembunyi di belakang punggung Reid. Reid mengetahui itu dan menjaganya.
Itu tidak benar bagi Fergus. Membentak perempuan bukanlah hal yang dilakukan seorang pria.
Fergus menelan ludah. Ia maju ke depan.
"Sa-saya.. saya tidak mau ibu disalahkan..."
"Hah?!" Deus melototi Fergus. "Kalau tak mau ibumu disalahkan jangan pernah macam-macam di kotaku!"
"Saya hanya ingin semuanya tersenyum.." gumam lirih Fergus. Ia bahkan hampir menangis.
"Tolong ampuni dia." Sarah justru semakin memberanikan diri. Suaranya terdengar tegar. "Saya yang akan menanggung kelancangan perbuatan Fergus."
"Ibu!"
"Oh, jadi kau bersedia menanggung perbuatannya?" tekan Deus sekali lagi.
"Deus, ini keterlaluan! Anak ini mendapatkan izinku! Seharusnya limpahkan semua tanggung jawab itu padaku!" Reid terus berusaha melindungi Fergus. Semua orang melihat hal itu. Mereka takut untuk membela Fergus.
Hanya di awal.
Setelah itu, beberapa orang mendekat.
"Tanpa dia, kami takkan mendapat pemasukan tambahan!" Seorang ibu berani berdiri di sisi Fergus. "Kami senang dengan keberaniannya membuat festival!"
"Ya!" seru beberapa pria tua. "Tanpa anak itu, aku takkan pernah menikmati anggur dengan api unggun dan iringan musik!"
"Tanpa Fergus kota ini gelap gulita!"
"Ya itu benar!"
"Anak itu menyelamatkan hari-hari tua kami!"
"Kami bisa mendapatkan banyak rangkaian kerang baru ketika menghiasi pasar raya!"
"Kau lihat penerangan itu?? Tanpa Fergus takkan ada yang sudi melakukannya!"
Deus mendapatkan banyak kritikan.
Emosi, ia mencabut pedang dari sarungnya. "Katakan sekali lagi lalu leher kalian akan menemui pedangku!"
"Pemimpin macam apa itu.."
"Mau menunjukkan tirani? Boleh saja! Aku juga bisa berpedang! Leher Anda atau leherku!"
"Ia menentang ayahnya sendiri, anak yang durhaka.."
"Kenapa Kota Simia yang terasing ini harus dipimpin olehnya?"
"Kami punya hak untuk bersenang-senang. Toh kami membayar pajak bahkan ketika sudah tahu semua pajak itu untuk memperbesar rumah pribadimu, Tuan Deus.."
Perkataan mereka adalah satu hal yang tak pernah Deus sangka akan ia dengar seumur hidupnya.
Ia semakin geram.
Diikuti amarah yang hebat, Ia menarik Fergus keluar dari balik punggung Reid dengan paksa.
"Lihat apa yang kau perbuat! Mereka menjadi berani menantang karena perbuatan bodohmu! Kota ini akan hancur karena kau memberikan mereka kesenangan! Tidak akan ada lagi yang mau mengikuti aturan penguasa!!"
Fergus meringis. Sarah dan Reid berusaha kembali menarik lengan Deus, tapi Deus berhasil menghindar.
Karena terdesak, Fergus memusatkan seluruh keberaniannya dengan cara lain.
Ia menggigit tangan Deus hingga pria itu mengaduh kesakitan.
"Saya punya hak untuk menciptakan apapun yang ada di sini! Jika pemimpin seperti tuan tak ada, bukan berarti saya sudah venar meminta izin pada Tuan Reid?? Kenapa memarahi saya? Saya, ibu saya, dan seluruh orang di kota ini tidak bersalah!"
"Kenapa kami harus merasa bersalah ketika menikmati rasa bahagia?!"
Fergus berteriak lantang. Sangat lantang hingga deru ombak malam berhasil ia kalahkan. Sangat lantang hingga tak ada lagi orang dewasa yang mampu menghentikannya. Suara itu, suara dari lubuk hati Fergus. Ia menjerit keras dan berlari meninggalkan semua di belakang. Tak peduli, ia tidak ingin sebenarnya, tapi seluruh dunia seolah menyalahkan dirinya ketika ia sendiri hanya menuntut untuk sebuah kebahagiaan bersama banyak orang.
'Api' mulai menyala. Semburatnya masih kebiruan.
Jika sebuah angin kuat datang meniup, 'api' itu akan membesar.
Tak butuh waktu lama untuk membakar semua yang ada.
***
"Fergus.."
Sarah yang sudah pulang ke rumah langsung mencari keberadaan anak itu. Terakhir ia melihatnya, Fergus berlari sambil menahan tangisan.
Tak ada di kamar.
Sarah melesat menuju dapur. Dapur juga kosong. Panik, Sarah segera membuka ointu seluruh ruangan yang ada.
Fergus tak ada di kamar mandi.
Fergus juga tak ada di halaman belakang.
Apalagi kamar pribadi Sarah, Fergus jelas tak mungkin di sana—
"Fergus!"
Sarah berlari menghampiri anak itu yang saat ini duduk di atas ranjangnya. Selimut yang biasa Sarah kenakan menutup sempurna seluruh tubuh Fergus yang sedang bersedekap. Isak tangis terdengar kecil.
"Ibu..." panggil Fergus lirih. Matanya bengkak.
"Festivalnya..? Rio, Mary, Tuan Reid?"
Fergus di saat sedih pun masih berusaha memikirkan orang lain. Hal itu justru membuat Sarah semakin iba.
"Semua baik-baik saja," jawab Sarah, "mereka justru khawatir padamu.."
"Lalu.. Tuan Deus?" tanya Fergus lagi.
Sarah menggeleng cepat. "Tuan Reid berjanji akan mengurusnya. Setelah kau berlari pulang, ia sempat melampiaskan kemarahan pada api unggun dan mengacaukan ikan yang dibakar Paman Hyke. Paman Hyke ikut marah bahkan mereka hampir bertengkar. Setelah itu, Tuan Reid memukul leher anaknya dengan ujung tumpul pedang."
"Itu menarik karena perhatiannya teralihkan darimu, Fergus," kata Sarah tertawa pendek. "Jadi jangan memikirkannya terus-menerus."
"Apa Paman Hyke tidak apa-apa..?" Sekarang kekhawatiran yang merayap di hati Fergus justru bertambah berat. "Ini salahku.. seharusnya aku, ah tidak, aku sudah melakukan yang benar!"
Sarah kemudian memeluk Fergus. "Benar. Jangan salahkan dirimu. Yang kau lakukan sudah tepat, Fergus. Semua orang mendukung idemu."
"Tapi, Ibu," panggil anak itu, "aku masih tak mengerti kenapa Tuan Deus sangat marah. Bukankah Tuan Reid sudah menjelaskan? Tapi kenapa.. sampai menentang ayahnya sendiri.."
"Tidak tahu, itu masalah penguasa," Sarah melepas pelukannya. "Sebisa mungkin kita harus menjauh dari orang-orang sepeeti Tuan Reid maupun Tuan Deus."
"Bahkan Tuan Reid..?" Fergus kebingungan. Ia sudah menganggap Reid Charles sebagai orang yang baik.
"Benar," gumam ibunya. Pandangan Sarah sangat serius. "Mereka berbahaya. Berhubungan dengan raja adalah hal yang menakutkan."
Fergus berkedip dua kali. Ia menegakkan punggung, tanda bahwa tertarik dengan hal yang baru saja disinggung ibunya.
"Ra-ja..?" Fergus menatap penuh tanya. "Ibu! Raja itu siapa? Apa dia orang hebat? Apa dia lebih tua dari Tuan Reid?"
Suatu kesalahan menyinggung raja di hadapan Fergus. Anak yang tak tahu apa-apa itu kembali menanyakan segalanya.
Sarah meringis. Ia sedang menimbang sesuatu.
Apakah ini saat yang tepat untuk membuka semua di hadapan Fergus?
Atau ia perlu menunggu lebih lama lagi?
"Fergus, apa kau sangat penasaran dengan raja?"
"Iya!"
"Benar-benar penasaran?" Sekali Sarah Sarah menekankan.
Fergus yang tidak tahu tentu tetap mengangguk. "Aku ingin tahu! Apa.. tidak boleh?"
Maka sudah diputuskan.
"Ketika itu menyinggung raja.."
Jeda sesaat, Sarah membuka laci di samping ranjang. Ia mengambil sebuah buku saku tua yang nampak tak pernah ia buka.
Sarah membuka ikatan tali buku itu. Ia kembali melanjutkan ucapannya.
"Maka itu.. berkaitan juga dengan ayah dan ibumu, Fergus," Sarah kemudian menggeleng. "Tidak. Saat ini, kau adalah Tuan muda untukku ."
Fergus jelas tak tahu menahu. "Ibu! A-apa itu kisah yang mengerikan?"
"Ibu! Jawab aku!"
"Tuan muda, saya bukan ibu Anda."
Kata-kata halus Sarah menusuk tepat di hati Fergus. Ini perubahan pertama setelah sekian lama ia hidup bersama Sarah.
"Tidak! Ibu! Tak perlu bercerita!" Fergus merengek agar Sarah mau berhenti. Akan tetapi, ketika Sarah sudah membuka halaman pertama buku saku itu, detik itu juga semua harus diungkapkan."
Ibunya tetap menceritakan.
Sekarang semuanya akan terungkap.
***