Shameeta yang sudah berganti identitas menjadi Kartini tidak pernah menyangka hidupnya akan seperti kapal yang menghantam karang. Hancur. Ia kehilangan hidupnya, jati dirinya. Namun ia tidak menyesal karena mendapatkan Janu dalam kehidupannya. Baginya, Janu adalah segala-galanya. Anak itu adalah cinta, semangat, juga hidupnya. Kalau ia ingin marah, ia ingin marah pada mantan suaminya. Laki-laki yang dia pikir akan memberinya hidup bahagia setelah menikah, nyatanya justru menghancurkannya. Laki-laki berhati keji. Kartini mendengus. Ia mengangkat kedua tangannya, memperhatikan telapak tangannya yang kini terasa sangat kasar. Pekerjaannya sebagai pembantu rumah tangga di dua tempat membuat tangan itu tak henti bergerak dari pagi hingga petang. Lelah. Tubuhnya terasa lelah, namun senyum akan selalu terpatri kala menatap sang putra. Janu sudah bersekolah. Anak itu sangat pandai hingga para guru menyukainya. Ia tidak perlu susah payah membayar uang sekolah untuk anaknya yang sudah menginjak kelas 5 SD, karena seorang guru berhati baik dengan senang hati menawarkan bantuan untuk membayar SPP sekolah anaknya. Ia tidak ingin sombong dengan menolak bantuan dari orang lain. Maka dengan senang hati ia menerimanya. Tanpa harus merasa berkecil hati. Putranya juga mempunyai rasa percaya diri yang tinggi. Meskipun ia hidup susah, namun semangat belajarnya tidak pernah surut. Kartini selalu mengajarkan tentang kesetaraan umat manusia. Bahwa kita semua punya status yang sama di hadapan tuhan. Hanya amal ibadah yang membedakan kita dengan yang lainnya. Tentu saja Janu selalu mengingat kata-kata ibunya karena bagi dia, ibunya adalah pahlawannya. Dia tahu dia tidak punya ayah. Meskipun kadang dia ingin tahu di mana ayah kandungnya, tapi melihat ibunya yang selalu tampak murung saat menatap selembar kertas yang tidak ia tahu isinya itu, mengurungkan niatnya untuk bertanya. Di depannya sang ibu selalu tersenyum, namun saat wanita itu sendirian, Janu tahu ibunya sering kali menangis.
“ Janu … ayo cepat bangun. Sudah pagi.” Janu membuka matanya. Mata itu mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya beranjak dari tempat tidur. Ibunya sudah sibuk di dapur memasak untuk sarapan mereka.
“ Sarapan apa kita hari ini Bu ?” tanya Janu sambil mendekati ibunya yang sedang duduk di kursi kecil di depan perapian. Tangannya masih sibuk diatas wajan.
“ Ibu bikin nasi goreng.” Nasi goreng yang dimaksud ibunya adalah benar-benar nasi yang digoreng. Hanya diberi bumbu bawang merah, bawang putih, cabai dan garam. Tidak ada tambahan lainnya. Tidak kecap sekalipun. Meskipun begitu, bagi Janu masakan Ibunya selalu terasa nikmat. Janu tersenyum lalu melonggokkan kepalanya untuk melihat nasi yang sedang digoreng sang Ibu.
“ Janu mandi dulu, sebentar lagi sarapannya siap.” Perintah kartini kepada sang putra. Janu melangkah meninggalkan sang Ibu menuju ke belakang rumah. Tempat yang mereka gunakan untuk mandi.
Semenjak Janu mulai sekolah, anak itu otomatis tidak lagi ikut Kartini bekerja. Sepulang sekolah kadang anak itu menyusul sang Ibu ke rumah besar tempat Kartini bekerja. Dia bisa membantu sang Ibu menyapu rumah itu. Di rumah besar itu dia juga punya teman. Seorang anak perempuan yang seusia dengannya. Biasanya anak itu mengajak Janu bermain sambil menunggu Ibunya selesai bekerja. Di rumah itu pula pertama kalinya Janu melihat layar dengan gambar yang bergerak. Televisi. Barang yang tidak ada di rumahnya.
“ Nanti sepulang sekolah tidak usah menyusul Ibu di rumah Bu Retno. Di sana sedang ada acara. Banyak tamu. Janu tunggu Ibu di rumah saja. Nanti siang Ibu akan pulang untuk mengantar makan siang buat Janu.” Janu yang sedang menyendok nasi goreng mendongak. Memberi anggukan pada sang Ibu sebelum melanjutkan suapannya. Apapun titah Ibunya, Janu tidak akan melawan.
“ Ibu pulang malam ?”
“ Mungkin. Ibu harus tunggu sampai acaranya selesai. Setelah membersihkan semuanya baru bisa pulang. Janu berani kan di rumah sendiri ?”
“ Janu sudah besar Ibu. Tidak takut lagi di rumah sendiri.” Jawab Janu sembari kembali menyuap sesendok nasi goreng. Kartini mengusap kepala Janu.
“ Ibu bangga sama Janu.” Puji Kartini.
“ Janu juga bangga sama Ibu.” Kartini tergelak. Janu meraih gelas berisi air putih lalu meneguknya. Piringnya sudah bersih. Tidak tersisa satupun butir nasi. Seperti kata Ibunya, dia harus menghargai makanan yang tersaji. Tidak boleh membuangnya karena di luar sana masih banyak orang yang tidak bisa makan. Ia beranjak, lalu memakai tas punggungnya. Kartini berdiri, merapikan penampilan anaknya sekali lagi sebelum dia berangkat sekolah. Anaknya tergolong tampan, juga tinggi dibanding teman-teman seumurannya. Kulitnya bersih meskipun tidak terlalu putih.
“ Hati-hati di jalan. Belajar yang baik di sekolah.” Janu mengangguk, mengacung ibu jari kearah sang Ibu. Kartini menunduk untuk mencium kedua pipi sang putra. Janu mendekap sang Ibu sesaat
“ Janu sayang Ibu.”
“ Ibu lebih sayang sama Janu.” Mereka tertawa. Janu sudah melangkahkan kakinya keluar pintu rumah bersama dengan Kartini, sebelum berhenti lalu berbalik.
“ Janu lupa.” Tangan kecilnya menepuk dahi.
“ Ibu dapat salam dari Pak Bambang.” Janu meringis, menampilkan deret giginya yang rapi, dan putih bersih. Kartini menganga, lalu sesaat kemudian kepalanya menggelang. Ada-ada saja guru olah raga anaknya itu. Bisa-bisanya dia menggunakan putranya.
“ Bilang sama Pak Bambang … waalaikum salam.” Dahi kecil itu mengernyit bingung.
“ Salam kan berarti ‘ assalamualaikum’, jadi Ibu menjawabnya ‘waalaikum salam’ “ Jelas Kartini melihat kebingungan sang putra. Kepala anak itu mengangguk. Ia membenarkan kata-kata sang Ibu. Memang salam yang kita ucapkan itu ‘ assalamualaikum’ meskipun Pak Bambang tidak mengucapkan salam itu secara langsung.
“ Janu berangkat sekolah dulu Bu. Assalamualaikum.” Janu meraih tangan kanan sang Ibu lalu menciumnya.
“ Waalaikum salam.” Kartini menatap punggung kecil sang putra hingga tak terlihat sebelum masuk kembali kedalam rumah untuk bersiap mengais rejeki.
***
Kartini bergerak cepat membersihkan ruangan tempat diadakannya acara keluarga yang sudah berakhir 10 menit lalu. Rumah Bu Retno sudah kembali sepi setelah keluarga besarnya kembali pulang ke rumah masing-masing. Jam di dinding rumah itu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Hatinya tidak tenang memikirkan sang anak yang berada di rumah sendirian.
“ Biar aku bantu Tin.” Kartini menoleh. Sosok Pujo sudah berdiri di sampingnya. Menatapnya dengan senyum.
“ Sini sapunya, biar akang yang bersihkan. Kamu cuci piring saja biar bisa cepat pulang.” Kartini mengerjap. Sapu ditangannya sudah berpindah.
“ Oh … ya. Terima kasih kang.” Kartini menunduk kecil sebelum berlalu meninggalkan Pujo menuju dapur. Pujo adalah tukang kebun yang sudah lebih lama bekerja di rumah gedong milik Bu Retno. Jauh sebelum kedatangan Kartini. Pria yang hanya lulusan SMP itu diam-diam menaruh hati pada sosok Kartini yang 4 tahun lebih tua darinya. Namun dia merasa tidak keberatan, baik dengan usia maupun konsisi Kartini yang sudah memiliki seorang anak. Di matanya, Kartini wanita yang luar biasa. Ia cantik, namun tidak menyombongkan kecantikannya. Dia tahu salah seorang keponakan Bu Retno juga menaruh hati pada perempuan sederhana itu, namun Kartini jelas-jelas tidak menanggapi pria kaya itu. Wanita itu juga terlihat pintar dalam segala hal. Dia pernah melihat Kartini memainkan piano saat keluarga Bu Retno pergi piknik. Tentu saja dia hanya mengintip dari kejauhan. Bukankah aneh, seorang yang pandai bermain piano malah memilih menjadi pembantu rumah tangga ? mengerjakan pekerjaan kasar. Akan tetapi, dia memilih menyimpan sendiri pertanyaan itu dalam hati. Tidak sekalipun ia mengungkit Kartini yang mahir bermain piano. Ada kalanya dia juga melihat kesedihan di wajah cantik itu. Kartini adalah warga baru di desa tempat kelahirannya. Orang tidak ada yang tahu banyak tentang wanita itu. Yang orang-orang tahu hanyalah, Kartini yang hidup dengan anak tanpa seorang suami. Banyak yang mengatakan Kartini bukan wanita baik-baik, dia wanita yang bisa dibayar. Namun semua tidak terbukti. Kalau memang kartini bukan wanita baik-baik, dia tidak akan memilih menjadi pembantu. Pemikiran sederhana seseorang yang hanya lulusan SMP.