Shaba memasuki rumah mewahnya. Sepi. Ia melangkah masuk menuju ruang keluarga yang juga kosong. Ke dapur, ia mendapati wanita yang bekerja di rumahnya selama 10 tahun terakhir terlihat sedang sibuk di depan kompor.
“ Ke mana semua orang Bi ?” yang di tanya tampak terkejut, lalu segera membalik tubuhnya.
“ Nyonya ada di taman belakang Pak. Kalau non Qila, non Sera, sama non Kaela memang belum pulang pak.” Shaba mengangguk. Ketiga anak perempuannya itu memang lebih suka menghabiskan waktu di luar rumah. Entar pergi ke salon, ke mall, atau ke rumah teman-teman mereka. Rumah besarnya lebih sering hanya berisi para pembantu yang bekerja untuk membersihkan rumah itu. Ia mendesah, lalu berbalik menuju lantai dua. Dia akan membersihkan diri sebelum menyusul istrinya di taman belakang rumah. Alin memang menyukai anggrek, dan di taman belakang rumah itulah ia merawat berbagai macam bunga anggrek. Hobi yang sudah ditekuninya sejak mereka tinggal bersama di rumah itu. Rumah yang dulu sempat ditinggali Shameeta.
***
“ Bagaimana kabarmu hari ini ?” Alin yang masih sibuk menyemprot tanaman itu berbalik. Senyum terpatri di bibirnya. Ia meletakkan peralatan di tangan, lalu beranjak memeluk sang suami.
“ Baik. Bagaimana kantor ?” Shaba mendesah. Alin mengusap wajah lelah sang suami yang sudah semakin banyak menampakkan kerutan. Bukan hanya karena usia, tapi juga tekanan pekerjaan yang membuat kerutan di wajah tampan suaminya semakin banyak.
“ Andai aku bisa membantumu. Maaf … aku benar-benar istri yang tidak berguna.” Shaba memegang tangan sang istri yang masih setia berada di pipinya.
“ Kamu sudah membantuku. Memberiku semangat tak henti-hentinya. Itu jauh lebih penting. Jadi jangan pernah meminta maaf.”
“ Apa yang akan terjadi ?” Alin menatap sendu kedua mata suaminya. Shaba menghela nafas panjang. Ia tahu sang istri sangat khawatir, tapi ia tidak ingin membebani pikiran wanita itu.
“ Apapun yang akan terjadi, kamu tidak perlu khawatir. Biar aku yang mengurusnya.”
“ Apa … apa kita akan berurusan dengan pengadilan ?” tanya Alin khawatir. Shaba tidak ingin berbohong. Ia mengangguk. Team pengacara yang ia sewa sudah memberitahu kemungkinan itu. Alin mendesah.
“ Apakah tidak ada jalan lain supaya kita tidak perlu berurusan dengan polisi, dan pengadilan ?”
“ Aku yang akan berurusan dengan mereka. Tidak ada hubungannya denganmu.” Shaba berharap jawabannya bisa membuat sang istri berhenti khawatir dan bertanya lebih lanjut. Tapi ternyata ia salah.
“ Aku tidak bisa membiarkanmu melewatinya sendiri. Aku juga ingin ikut menanggungnya bersamamu. Kita akan lalui ini bersama-sama.” Shaba membawa turun tangan Alin, kemudian bergerak mencium kening istrinya. Dia sangat mencintai wanita itu, dan dia tidak salah sudah memilih Alin untuk mendampingi hidupnya.
“ Jangan khawatir. Aku pasti akan baik-baik saja. Ada 8 orang pengacara yang akan memperjuangkanku. Jadi kamu tenanglah. Jangan banyak berpikir yang berat-berat. Jaga kesehatanmu. Aku tidak ingin kamu sakit.” Alin kembali memeluk suaminya.
“ Aku mencintaimu. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Kamu tahu itu kan ?” Ia mendongak, menatap sang suami.
“ Tentu saja aku tahu. Itu sebabnya aku memilihmu. Bukan wanita lain.” Ia tersenyum, kemudian mengeratkan pelukannya.
***
Surat panggilan dari kepolisian akhirnya sampai di meja kerja Shaba. Daniel, kepala team pengacara yang menerima langsung surat panggilan tersebut. Dia sudah duduk di depan Shaba, menjelaskan apa-apa yang tidak boleh Shaba ucapkan saat berada di depan penyidik. Dia juga memberitahu Shaba bahwa tidak hanya penyidik dari kepolisian yang harus ia hadapi, melainkan juga penyidik dari kantor K*K karena kasus yang dihadapinya berkaitan dengan kasus suap anggota dewan. Shaba mendesah mendengar penjelasan dari Daniel. Ini pertama kali selama hidupnya ia harus berurusan dengan pihak berwajib.
“ Apa ketiga orang anggota dewan yang tertangkap sudah mengaku semua ?” tanyanya pada pria 40 tahun yang ada di hadapannya.
“ Belum Pak. Mereka masih berusaha melindungi Bapak.” Shaba mengangguk.
“ Itu bagus. Aku memberi mereka tidak hanya sedikit. Mereka tidak perlu memikirkan uang bahkan ketika mereka ada di dalam bui.”
“ Tapi semua harta mereka sudah di sita Pak.” Balas Daniel. Shaba mengangguk mengerti. Sudah pasti harta mereka akan di sita saat sudah tertangkap basah menerima suap.
“ Aku tahu. Aku tidak tutup mata. Keluarga mereka masih kuurus sampai sekarang. Kecuali kalau mereka memutuskan buka mulut. Saat itulah aku akan menghancurkan keluarganya.” Daniel menatap lelaki di depannya. Lelaki yang tidak bisa diremehkan. Dia sudah cukup lama mengenal pria di depannya. Lelaki luar biasa dengan sepak terjangnya di dunia bisnis.
“ Kalau Bapak tidak ingin datang lusa, kita masih bisa menundanya.” Shaba menatap lurus Daniel.
“ Tidak perlu. Cepat atau lambat aku harus menghadapinya bukan ?” Daniel menganggukkan kepalanya.
“ Jadi … lebih cepat lebih baik. Aku ingin urusan ini segera selesai. Aku harus berkonsentrasi pada pembangunan lahan itu secepatnya. Kamu tahu dana yang kukeluarkan untuk pembangunan itu tidak sedikit. Jadi pastikan kamu dan team mu bekerja dengan baik. Seperti dengan yang lainnya, aku tidak akan menutup mataku jika kalian berhasil mengangkatku lepas dari kasus ini.” Shaba menghembuskan nafasnya.
“ Aku tidak ingin membuat istriku khawatir. Gula darahnya pasti langsung naik kalau dia banyak pikiran.” Daniel membetulkan letak kaca mata yang sebenarnya tidak melorot sedikitpun.
“ Baik Pak. Kalau begitu saya permisi dulu. Kita bertemu lagi lusa.” Shaba mengangguk, lalu mengedikkan kepalanya ke arah pintu. Daniel beranjak, dan berjalan keluar ruangan Shaba. Keluar dari ruangan Shaba, Daniel bertemu dengan putri kedua Shaba, Seira. Ia mengangguk kecil kemudian berjalan melewati gadis yang selalu terlihat glamor di manapun berada.
“ Papa .. “ Shaba yang baru saja menundukkan kepalanya untuk membaca surat penggilan dari kepolisian itu segera mendongak. Tangannya kembali melipat surat yang bahkan belum selesai ia baca lalu membuka laci dan memasukkannya. Ia tidak ingin sang putri tahu, dan ketakutan. Shaba tersenyum melihat Seira berjalan anggun mendekatinya. Seira adalah coppy-an Alin. Cantik, lemah lembut, dan menyukai semua yang glamor.
“ Sudah pulang ?” tanya Shaba setelah sang putri duduk di hadapannya. Seira memang baru berlibur di bali selama 1 minggu. Seira mengangguk, lalu tersenyum.
“ Cuma sehari di rumah. Besok Seira mau ke Hongkong.” Shaba membuka lebar matanya. Baru juga pulang, dan putrinya itu sudah akan pergi lagi. Ia tidak habis pikir.
“ Apa kamu tidak kangen sama Papa … sama Mama ?” Seira berdecak mendengar pertanyaan sang Papa.
“ Seira kan mau puasin jalan-jalan saat masih muda Pa. kalau nanti Seira sudah menikah, pasti sulit kalau mau jalan-jalan.” Shaba mendesah. Selalu saja itu alasan yang di kemukakan sang putri.
“ Kasihan Mama kamu kesepian di rumah sendiri. Kamu masih bisa jalan-jalan walaupun kelak sudah menikah. Malah, kamu bisa jalan-jalan bersama suami, dan anak-anak kamu. Itu akan lebih menyenangkan.” Wajah Seira langsung memberengut.
“ Papa nggak ngerti anak muda jaman sekarang. Having fun Pa … kami anak muda butuh bersenang-senang. Menikmati masa muda kami. “ Shaba menggelangkan kepalanya. Menyerah.
“ Lalu, apa yang kamu inginkan sekarang ? Papa yakin kamu datang ke kantor Papa bukan hanya untuk menyapa Papa.” Seira tersenyum. Beranjak dari tempat duduk, lalu berjalan mendekati sang Papa. Duduk dipangkuannya, kemudian mencium kedua pipi Shaba. Sang Papa selalu tahu apa yang ia inginkan.
“ Sheira mau ganti mobil. Sudah bosan sama mobil lama Seira.” Shaba menatap sang putri. Lagi-lagi uang yang diinginkan putrinya. Dalam hati ia mendesah, merasa kecewa dengan sang putri yang tidak pernah memikirkan betapa susahnya mencari uang. Yang putrinya lakukan hanya bersenang-senang, menghabiskan pundi-pundi yang susah payah ia kumpulkan dengan keringatnya. Apakah ini bagian dari karma yang harus ditanggungnya karena menyia-nyiakan mantan istri, dan juga bayinya ? ia mengingat pria gagah yang tak lain adalah keturunannya sendiri. Ia bisa melihat kecerdasan dibalik wajah tenang pria itu. Kecerdasan yang sayangnya tidak dimiliki sedikitpun oleh ketiga putrinya.
“ Ya Pa … Seira ganti mobil ya ?” Shaba kembali menghela nafas panjang, berusaha mengontrol emosi agar tidak meledak. Biar bagaimanapun juga, gadis yang sedang memeluknya adalah buah cintanya dengan Alin. Ia mengangguk membuat sang putri menjerit senang, lalu menciuminya bertubi-tubi.