Bab 16 Karma does Exist

898 Words
            Beberapa hari setelah malam menyebalkan dan mengejutkan itu, Natasya masih juga mendinginkan Arga. Sikapnya kembali seperti kutub. Tasya lebih suka mengalihkan kusutnya pikiran lewat latihan menyanyi. Dia harus tampil sebaik mungkin demi membawa nama baik sekolahnya. Dia harus tampil dengan total. Siang itu dia berlatih menyanyi lagu “Melati Suci” yang pernah dinyanyikan Tika Bisono.             Tampaknya Arga juga enggan mengganggu Tasya. Dia cuma takut Tasya malas karena terus menerima teleponnya. Bagaimana pula Arga sangat paham dengan dunia anak-anak Tasya. Bagaimana juga saat ini dirinya sedang menghadapi anak 17 tahun yang emosinya naik dan turun seperti roller coaster. Arga hanya bisa bersikap sabar dan menganggap itu adalah kelebihan kekasih mungilnya. “Sibuk latihan nih?” sindir sebuah suara milik Bia. Tasya yang sedang berlatih di ruang ekskul musik terlihat terganggu dengan mantan temannya itu. “Gak ada kerjaan ya karena gak ikut pekan ujian? Asyik dong kamu bisa jalan di mall dulu,” sindir Tasya tak mau kalah. Dia kembali memakai headsetnya cuek. Bia celingak-celinguk sebentar untuk memastikan tak ada yang melihat mereka. “Auw!” pekik Tasya karena Bia menarik kasar headset yang menempel di telinganya. “Aku udah nahan emosi sejak kemarin ya! Gak tahan aku lihat kesombonganmu! Capek aku berpura-pura baik dan tertindas.” Kata-kata Bia ditanggap biasa oleh Tasya. Dia sudah tahu sejak dulu kalau Bia sudah berubah. Iya, sejak Bia merebut Egi darinya. “Ada apa sih Non Bia? Harusnya aku yang kasar sama kamu.” Pandangan Tasya terlihat sinis. Bia tak mau kalah. Matanya yang berapi bagai disulut bensin oleh mata Tasya. “Kamu udah hancurkan hidupku, Tasya!” ujar Bia sambil menampar pipi Tasya keras, “ini balasan untuk tamparanmu di kelas dulu,” ujar Bia penuh emosi. “Cih! Cuma gitu aja pukulanmu?” ejek Tasya tak peduli pipi mulusnya sudah memerah. Ada darah di pipinya karena cakaran kuku Bia. “Bianca...” seloroh sebuah suara milik Fania. Bianca terperangah. Dia tak menyangka adegan itu terlihat oleh orang lain. “Kamu gak nyangka kan kalau aku gak sendiri,” ujar Tasya tertawa sinis. “Apa yang kamu lakukan Bia? Aku baru tahu kalau seorang Bia yang lembut, hangat, dan tertindas bisa bersikap sekasar ini. Tadinya aku mau bicara sama Tasya tentang kamu. Aku mau mendamaikan kalian. Aku juga mau menjadi temanmu dengan tulus. Aku belain kamu selama ini juga tulus, Bi. Ternyata...” kata Fania tak terlanjutkan. “Fan, aku bisa...aku bisa jelaskan.” Bianca berusaha memburu wajah Fania yang terlihat kecewa. “Jelaskan apa Bia? Kamu sendiri yang memilih jalan seperti ini, kan?” sindir Tasya sinis. Bianca hanya menatap penuh dendam sambil berlari mengejar Fania. “Fani, aku mohon maaf. Aku tak bermaksud mengecewakanmu,” ujar Bia cemas sambil menahan tubuh Fania. “Tadinya aku merasa bersalah karena membiarkanmu berjuang sendirian. Aku nyalahkan diriku sendiri. Harusnya aku temenin kamu, tapi ternyata kamu gak lebih baik dari Tasya. Bukan, bahkan kamu yang terburuk Bianca. Aku kecewa sama kamu,” urai Fania dingin yang berhasil membungkam mulut Bia.             Bia hanya menangis terduduk di tepi lapangan basket. Beberapa anak menyorakinya. Bahkan, ada yang melemparinya dengan botol kosong air mineral. Dirinya bagai seorang pendosa yang disiksa oleh masyarakat yang membencinya. Bia menangis karena karma begitu kejam menghukumnya. Bia heran mengapa setiap dia ingin menjatuhkan Tasya lagi dan lagi, malah dirinya sendiri yang tersiksa. Agaknya Tuhan tak sampai hati membiarkan Bia hidup dalam sandiwara yang dibuatnya sendiri. Maka Tuhan mengirimkan teguran untuk anak berusia 17 tahun itu. --- “Kamu terluka kenapa sih, Tasya? Aduh, mana acaranya nanti malam lagi. Kamu harus tampil cantik kan, Nak?” ujar Bu Andara cemas sambil mengoleskan obat merah pada pipi Tasya yang lecet. “Tidak apa-apa, Bu. Nanti bisa ditutup bedak kok,” ujar Tasya pelan sambil menahan perih. “Kayaknya ini bekas cakaran deh. Ada yang nyakitin kamu ya? Bully kamu lagi?” desak Bu Andara yang kini jauh lebih baik dan lembut pada Tasya. “Gak ada kok, Bu.” Tasya menjawab pendek. “Nanti setelah jam istirahat kamu langsung ke balai kota untuk gladi resik ya. Nanti kamu diantar Pak Heri.” Tasya mengangguk pendek. Lalu dia berpamitan untuk mencari minum. “Duh, Tasya angkat teleponmu dong, Dek.” Di tempat yang lain ada yang sedang mengeluh sembari menyebut nama indah Tasya. Dia hampir putus asa memencet nomor ponsel Tasya. “Ayolah! Come on!” ujar Arga mulai tak sabar. Ada yang aneh dengan sikap Tasya sejak malam itu. Dia semakin cuek dan judes pada Arga. “Arga, ayo kita berangkat!” ujar komandan Arga sambil menuntun tentara tinggi itu menuju mobil dinasnya. “Izin Komandan, saya boleh membawa kendaraan sendiri? Izin, saya ada keperluan di kota, petunjuk?” tanya Arga tegas. “Oke, monitor. Hati-hati bawa mobilnya ya. Hujannya deras sekali. Tetap di belakang mobil saya.” “Siap Komandan!” Arga langsung beranjak menuju Toyota Rush warna putihnya. Arga menjalankan mobil dan mengikut di belakang mobil komandannya yang berjalan cukup kencang. Sebenarnya, hari ini dia diajak oleh komandannya untuk menghadiri peringatan HUT Kota Bandung. Sebenarnya Arga tak enak hati dengan ajakan itu karena dari seluruh perwira di batalyon, hanya dirinya yang diajak. Seniornya yang iri padanya tentu saja langsung menyorotnya seperti laser. Mau dikata apa kalau danyon itu sangat menyukai Arga. “Angkat dong, Dek.” Arga masih saja mengeluh sambil menatap layar ponselnya. Dia hampir putus asa menekan nomor Natasya. Andai saja Tasya tahu kalau Arga akan segera menemuinya. ***   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD