Bab 17 Meet Your Ex

2007 Words
            Natasya hanya duduk terdiam di sebuah kursi di tenda di belakang panggung HUT Balai Kota Bandung. Dia bagai patung kendati orang-orang di sekitarnya sibuk berlalu lalang. Dia harus menghemat suara demi penampilannya malam ini. Walau hatinya sedang galau karena Arga, namun dia berusaha menutupi dengan sikap dinginnya. Dia hanya menatap dingin layar ponselnya yang berkelip-kelip nama Arga. Arga berulangkali meneleponnya, tapi tak ingin diangkat oleh jemari Natasya. “Dek Natasya, siap-siap ya? 5 menit lagi kamu tampil,” kata sebuah perempuan yang berbaju hitam-hitam. Dia adalah panitia acara itu. “Baiklah, mari kita sambut penampilan istimewa perwakilan dari SMA Negeri 1 Bandung yang pernah mendapat kesempatan untuk menyanyi di istana negara, Natasya Alleira.” Kata-kata pembawa acara disambut tepuk tangan yang meriah dari para hadirin. Tak terkecuali Arga yang menunggu penampilan Natasya.             Sebuah langkah kecil masuk ke atas panggung berwarna merah putih dan disambut oleh tepuk tangan riuh para hadirin. Natasya masuk dengan gaun selututnya yang berwarna putih dihiasi renda hitam. Semua terkesima dengan kecantikan gadis pemilik kulit putih bak pualam itu. Keimutan dan kepolosan wajah yang selama ini ditutupi oleh kedinginan sikapnya mendadak hilang. Dia menjelma menjadi sebuah es loli yang berwarna-warni dan manis. “Malam ini saya akan menyanyikan lagu berjudul ‘Melati Putih’ ciptaan Guruh Soekarno Putra,” ujar Natasya dengan senyuman samar dan suara merdunya. Dia memberi kode pada pengiring musik. Tak lama kemudian denting piano terdengar nyaring. “Putih putih melati. Mekar di taman sari. Semerbak wangi penjuru bumi. Seri seri melati. Bersemi anggun asri. Kucipta dalam gubahan hati. Tajuk bak permata. Siratan bintang kejora. ‘Kan kupersembahkan. Bagimu pahlawan bangsa. Putiknya pesona. Rama-rama ‘neka warna. ‘Kan kupersembahkan. Bagi pandu Indonesia…”             Suara Natasya mampu mendirikan bulu roma para hadirin. Ada beberapa yang menitikkan air mata. Lagu itu seolah menggambarkan perjuangan para pejuang bangsa demi kemerdekaan Indonesia, khususnya di kota Bandung. Natasya menyanyi seolah sedang menyambut pahlawan yang baru pulang berperang dan membawa kemenangan. Wali Kota dan istrinya manggut-manggut puas dengan penampilan gadis dingin berusia 17 tahun itu. keberhasilan Natasya semakin lengkap ketika beberapa hadirin tanpa sadar memberikan tepuk tangannya. Bahkan, setelah selesai menyanyi tepukan itu semakin keras.             Natasya meletakkan mikrofon di dadanya. Dia tersenyum samar sambil menundukkan kepalanya kepada para hadirin. Dia sangat sopan dalam bersikap, berbeda dengan biasanya yang seolah tak tahu hormat. Natasya bisa menjadi sosok yang lain ketika hatinya sedang merasa bahagia. Namun, senyumnya hilang tatkala melihat Arga menatapnya lekat dan lurus. Arga juga sedari tadi mengambil gambarnya dengan kamera ponsel. Lelaki berseragam PDH itu terlihat sangat bangga dengan penampilan kekasih mungilnya. --- “Kamu sangat hebat, Dek. Aku bener-bener bangga sama penampilanmu,” ujar Arga ketika mampu menahan Tasya yang sebenarnya ingin menghindarinya. “Makasih,” ujar Tasya pendek. Arga menangkap gelagat aneh dari anak itu. “Kamu kenapa gak angkat teleponku sih, Dek? Sikapmu juga aneh sedari kemarin. Kamu ada masalah?” tanya Arga perhatian. Tasya memalingkan wajahnya ke arah aspal dingin di pelataran Balai Kota. “Arga, kamu masih ingin tinggal di kota? Saya harus kembali ke asrama,” ujar suara komandan Arga yang langsung dibalas dengan hormat tegap dari badan tinggi Arga. “Siap Komandan. Malam ini saya akan tidur di rumah orang tua saja,” ujar Arga pelan. Tasya merasa heran, jadi Arga punya rumah di Bandung kota? Kenapa dia tak pernah cerita? Natasya sadar masih banyak hal yang tak dia ketahui dari kekasihnya itu. “Oke monitor. Loh, bukannya Adek ini yang tadi menyanyi? Suaramu sangat indah!” puji komandan Arga sembari menatap Tasya senang. Tasya tersenyum samar dan mengangguk memberi salam. “Siap! Izin Komandan, namanya Natasya. Izin, ini teman dekat saya, Komandan,” ujar Arga malu-malu. Natasya terkaget-kaget, dia tak menyangka Arga akan sejujur itu pada pimpinannya. “Oh iya? Kuliah semester berapa, Ga? Saya gak tahu kalau kamu sudah ganti calis,” ujar komandan Arga yang membuat wajah Natasya dingin. Jadi benar, dirinya bukan satu-satunya kekasih Arga. Bukannya ganti calis maksudnya ganti calon istri. Jadi, selama ini, Arga pernah mengenalkan wanita lain pada komandannya. Kata-kata Egi mulai benar, pikir Tasya. “Siap Komandan. Izin, kapan-kapan saya kenalkan,” ujar Arga kaku. Rupanya dirinya mulai merasa tak enak karena sang komandan menyinggung orang lain di depan wanita sesensitif Natasya. “Oke deh. Saya lanjut ya? Keburu malam,” pamit sang komandan merasa tak enak. Arga membalas dengan hormat tegap. “Aku baru tahu lho kalau Kak Arga punya rumah di Bandung,” ujar Tasya yang lebih mirip pada sindiran. Arga menatapnya ragu. Wajah Tasya sudah seperti kulkas yang terbuka. “Iya, rumah orang tuaku memang di Bandung. Dari rumahmu hanya 20 menit saja. Mungkin karena kamu gak pernah tanya, makanya aku belum jelasin,” kata Arga ragu. “Kan biasanya Kak Arga sendiri yang cerita,” balas Tasya judes. Arga menyentuh pundaknya dan mengajak Natasya duduk di kursi sebelah tenda. “Iya-iya, makanya kamu tanya juga dong. Masak selama kita teleponan setiap hari, aku terus yang disuruh ngoceh,” timpal Arga setengah menggoda. Natasya menatap Arga judes. Seolah ini semua adalah salah Arga. “Oke, Putri Es. Maaf ya Sayang?” ujar Arga sambil memberi hormat dengan tangan kanannya. Natasya kembali menoleh ke arah lain dan menunduk. “Arga!” sebuah suara manis memanggil Arga dan membuat kedua pasangan itu menoleh.             Natasya hanya terdiam dingin ketika melihat seorang perempuan tinggi langsing dengan wajah yang tak asing. Perempuan berbaju gaun sifon oranye dan cardigan putih itu berlari menuju Arga. Rambut panjang bergelombangnya tergerai rapi dan wangi. Iya, Tasya ingat siapa dia, Rafilla Epsilani. Gadis yang diajak foto Arga. Seketika Natasya ingin menghilang dari tempat itu. “Hai Arga! Kamu kok gak mau deketan sama aku dari tadi? Gila ya? Kita udah berapa bulan gak ketemu,” ujar Rafilla antusias yang hanya dibalas anggukan tak enak dari Arga. “Hanya sekitar 2 bulan? Atau 3 bulan? Aku tadi kan sama komandan, makanya aku gak enak,” jawab Arga pelan. Gadis itu terlihat memasang wajah kecewa manis. “Duh, Arga Arga. Bapak letnan yang satu ini. 4 bulan kita gak ketemu. Eh, ngomong-ngomong kok Adek ini didiemin aja.” Rafilla mulai menyadari ada Natasya yang sudah menatap mereka dingin. “Eh iya, kenalin nih, Natasya. Natasya, ini Rafilla, teman SMA-ku,” ujar Arga kaku. “Natasya,” ujar Tasya sedingin udara nitrogen. “Duh Arga nih, sukanya ngambang deh, kenalin Rafilla, pacar dan calisnya Arga,” ujar Rafilla santai yang berhasil mengaduk hati Tasya seketika. “Kamu nih Fil, bukan Dek. Filla ini mantanku kok,” ujar Arga jujur yang membuat Tasya tertegun. Dirinya tak habis pikir Arga bisa segamblang itu mengenalkan sang mantan pada dirinya. “Mantan tapi masih deket itu maksudnya ya, Ga?” desak Filla ceria. Arga hanya menahan napas gugupnya. Dia takut Tasya meledak bagai balon gas helium. Arga tak kuasa menatap wajah Tasya yang seperti hendak membekukan dirinya dan Filla. “Filla, aku mau bicara sama Tasya. Berdua saja, bisa gak?” tanya Arga tegas. “Wo, ada apa ini, Arga? Jangan bilang kalian lagi pacaran makanya gak mau kuganggu?” tebak Filla. “Iya, kami emang pacaran. Kenapa Mbak?” tanya Tasya judes. Filla hanya menatap Arga heran, lalu gadis mirip Raisa itu menatap wajah Tasya. Raisa seolah mencari jawaban dari keduanya. “Please, Filla. Leave us alone!” ujar Arga emosi. Rafilla terlihat kecewa dan memilih mundur. --- “Jadi apalagi yang gak kutahu dari Kak Arga?” tanya Tasya dingin tanpa menatap Arga. Keduanya berpindah ke taman di depan Balai Kota Bandung demi mencari ketenangan. Ditemani gemercik air mancur dan dingin menusuk tulang. “Iya, Rafilla memang mantanku.” Arga hanya bisa pasrah karena semua terlanjur menjadi runyam. “Banyak banget yang gak aku tahu dari Kak Arga. Selain, rumah orang tuamu yang ternyata gak jauh dari rumahku. Lalu kehidupan Kak Arga di dunia maya. Andai saja seseorang gak kasih tahu aku tentang foto Kak Arga dan Mbak Rafilla, mungkin selamanya aku terjebak dalam kebodohan,” ujar Tasya dengan mata bulat kosongnya. “Itu kan karena kita LDR selama ini, Tasya. Selama di telepon juga kamu gak pernah berusaha mengenalku. Aku yang selalu mendengarkan ceritamu. Kamu terlalu cuek dan dingin padaku sejauh ini,” ujar Arga sabar. “Jadi ketakutanku terjadi juga. Kak Arga sekarang tahu kan kalau aku ini gak menyenangkan sama sekali. Sama kayak Egi yang akhirnya ninggalin aku! Lama kelamaan Kakak pasti bosan sama aku. Aku bakalan ditinggal sama orang yang kupercayai lagi,” ujar Natasya mulai berkaca-kaca. “Natasya, ingat yang kukatakan tentang janjiku. Aku bukan Egi yang suka hianati janji, kan? Kamu itu yang gak bisa lepas dari masa lalumu. Kamu yang masih terbayang sama Egi dan dunianya. Kamu selalu cuek dan tak pernah mau berusaha mengenalku. Padahal aku selalu ada untuk membahagiakanmu. Sejak bertemu denganmu, aku tahu betapa susahnya melukis senyuman di wajah seseorang,” ucap Arga sambil menatap Tasya yang enggan melihatnya. “Sebenarnya masalah kita ini apa sih, Kak? Siapa yang salah sekarang? Kak Arga yang gak pernah cerita tentang Rafilla, lalu aku yang disalahkan karena tak pernah tanya? Aku salah?” tanya Tasya keras. Air matanya tak tertahan lagi. “Tasya, iya aku salah masalah Rafilla. Aku gak cerita sama kamu karena kupikir itu gak penting Tapi, kalau masalah sikapmu itu, aku ingin kamu lebih terbuka sama aku. Kalau ada masalah apapun atau sikapku yang gak kamu suka, tolong jangan dipendam sendiri. Kita sudah sepakat untuk saling terbuka, kan?” tanya Arga sabar sambil menghapus air mata Tasya. Tasya menampik tangan hangat Arga dengan dingin. “Natasya, berhentilah memikirkan sesuatu sendiri. Bagilah bebanmu denganku. Aku tahu berhubungan dengan orang dewasa seperti aku ini berat untukmu. Tapi, aku juga sedang berusaha jadi yang terbaik untukmu. Jujur, ini kali pertama untukku memiliki kekasih semuda kamu,” ujar Arga pelan. Dia mendekatkan wajah Tasya pada pelukannya. Natasya menolak upaya Arga. “Kamu jahat, Kak. Kenapa aku harus tahu dari orang lain? Harusnya kamu sendiri yang kasih tahu aku! Sekarang aku jadi gak percaya lagi sama kamu,” ujar Tasya yang masih menangis.             Arga tak mengajaknya bicara lagi. Perlahan dia mulai sadar dengan kemarahan gadis kecil itu. Anak itu hanya sedang takut bahwa Arga akan menghianatinya. Bagaimana pula Tasya sedang belajar percaya pada orang lain lagi setelah dihianati habis-habisan oleh kekasih dan sahabat, yang notabene orang terpercayanya. Tiba-tiba Arga ingin sekali menendang Egi habis-habisan. Rasanya keliling lapangan 100 kali dan push-up 200 kali tak semudah itu membalas sakit hati Tasya. Hanya saja, Arga tak mau mencari-cari kesalahan orang lain apalagi dengan memanfaatkan pangkatnya. “Aku akan memperbaiki semuanya, Tasya. Mulai sekarang, kita janji untuk saling terbuka. Gak ada yang perlu ditutupi. Sesakit apapun itu, jujur adalah pilihan kita. Kamu mau?” tanya “Aku anak bungsu dari 3 bersaudara. Kedua kakakku adalah perempuan. Mereka sudah menikah dan memiliki masing-masing 2 anak. Kakak pertama bernama Anita Zahra sudah menikah dengan seorang perwira Angkatan Udara. Kakak kedua bernama Anissa Zahra sudah menikah dengan seorang dokter kandungan. Orang tuaku masih lengkap. Ayah bekerja sebagai dokter spesialis bedah jantung sekaligus kepala rumah sakit bernama dr. Anggara Listiawan dan ibu bernama dr. Astuti Indah bekerja sebagai psikolog.” “Rafilla adalah pacarku waktu SMA hingga aku taruna Akmil tingkat 2. Kami putus karena kurang komunikasi. Dia masih saja mengajakku balikan tapi aku tak pernah mau. Memang benar, dia dijodohkan denganku oleh ayahnya yang merupakan Danrem dan didukung oleh komandanku. Makanya aku tak pernah mau menerimanya lagi karena aku tak mau dipenjara oleh politik balas budi. Aku hanya ingin hidup biasa sebagai prajurit bermartabat dan bebas menentukan jodohku sendiri,” jelas Arga gamblang tentang keluarganya. Dia memutuskan untuk tidak menutupi apapun dari Natasya.             Natasya yang sudah diam dari tangisnya hanya bisa menatap Arga lekat. Baru kali ini wajah Arga terlihat serius. Tak ada senyuman menggoda yang biasa tersungging di bibir seksinya. Tasya mulai membiasakan hatinya. Perlahan kemarahan itu meleleh dan menguap begitu saja. Seharusnya dia lebih bijak berkomunikasi denga Arga. “Aku anak broken home. Papaku kerja di perusahaan telekomunikasi. Punya masalah anti sosial. Pernah dihianati. Disakiti…” “Dan punya masa depan akan selalu dicintai oleh Arga,” potong Arga yang membuat Tasya mesem samar. Arga kembali membeli senyumnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD