Bab 18 Be a Chosen

1875 Words
“Kamu udah yakin siap dengan ideku?” tanya Arga ragu sambil menyetir mobilnya.                       Tasya hanya mengangguk yakin tanpa suara. Sepulang dinas, Arga meminta izin untuk pulang ke rumah orang tuanya. Dia ingin mengajak Tasya yang baru pulang sekolah dan mengenalkan gadis cantik itu pada keluarga Arga. Ide itu datang dari selorohan Arga yang ternyata malah disetujui Tasya. Tasya tak ragu untuk kenal dengan keluarga Arga kendati dirinya masih anak kelas 2 SMA. Di pikiran Tasya, apa salahnya toh dia hanya ingin kenal dengan keluarga kekasihnya. Padahal menurut Arga, perkenalan Tasya pada keluarganya adalah upaya selangkah lebih dekat dengan tujuan akhir mereka yakni menikah. Arga takut Tasya tak benar-benar siap menikah di usia muda. “Kamu tahu artinya pertemuan ini kan, Dek?” tanya Arga ragu sambil menatap Tasya yang asyik membaca buku kimianya. Di tengah perjalanan menuju rumah Arga dengan masih memakai seragam putih abu-abu dan memangku buku pelajaran. Sikap Tasya seolah sedang mengajak Arga bercanda. “Iya, kenalan sama orang tua kak Arga, kan?” sahut Tasya santai. “Lebih dari itu, Dek…” ujar Arga gemas. “Iya kenalan sama orang tua Kak Arga. Gimana juga sebelum nikah kan kita harus kenal dan dekat sama keluarga masing-masing,” jawab Tasya yang membuat Arga kaget. Terutama dengan kata ‘menikah’. “Emang kamu yakin mau nikah muda sama aku, Dek? Jangan marah dulu, maksudku apa kamu benar-benar siap?” tanya Arga meyakinkan Tasya, “nikah itu gak sama dengan main rumah-rumahan loh!” lanjut Arga pelan.             Natasya menutup bukunya. Dia menatap Arga lekat. Lalu tangan dan pandangannya yang dingin itu dihadapkan pada wajah tampan Arga. Arga terlihat kikuk karena dia baru tahu Natasya bisa menatapnya semesra itu. “Perasaan aku udah jelaskan deh. Aku siap dibawa ke mana aja sama Kak Arga. Aku cuma butuh nunggu lulus SMA saja. Kak Arga sudah tahu kan urutan rencana hidupku, lulus SMA, nikah, kuliah, baru kerja. Kak Arga gak suka ya sama aku?” tanya Tasya lekat yang membuat Arga gugup. “Emang kalau aku cuma mentok jadi ibu rumah tangga, gak boleh ya Kak? Emang IRT itu bukan pekerjaan mulia ya?” tanya Tasya dingin. Arga menggelengkan kepala keras. “Gak bukan itu maksudku, bukan! Aku cuma mau siapin mentalmu saja kok. Nikah kan bukan main-main, Dek. Itu aja!” “Aku gak main-main kok, Kak. Selama 17 tahun aku hidup, aku terbiasa berpikir kompleks. Banyak yang bilang pemikiranku 10 tahun lebih tua dari usiaku.” Jawaban Tasya membuat sedikit kelegaan di hati Arga. “Kalau nanti orang tuaku gak setuju sama hubungan kita, kamu siap?” tanya Arga yang tiba-tiba membuat Natasya terpukul. Seperti ada 1 hal yang dilupakannya. Bagaimanapun perbedaan usia 9 tahun itu adalah ganjalan utama bagi keluarga Arga.             Hal itu didiamkan Tasya sampai kedatangannya di rumah Arga yang besar. Rumah dua lantai itu memiliki halaman yang luas dengan bunga dan tanaman yang cantik. Dengan langkah kecil, Tasya mengikuti langkah Arga menuju ruang tamu rumahnya. ---             Natasya hanya cuek sambil memakan kue kastengel yang disajikan ibu Arga. Dia hanya asyik memperhatikan ke seluruh isi ruang tamu. Wajahnya yang dingin terlihat menikmati suasana rumah Arga. Dia tak sadar kalau ibu Arga sedari tadi menatapnya aneh. Tasya cuek walau ibu Arga melihat penampilannya dari atas ke bawah. Orang tua mana yang tak kaget karena mendapati anak tentaranya membawa pulang anak SMA, yang tergolong di bawah umur bagi ibu Arga. “Arga, tolong Ibu di belakang ya. tolong bantu Ibu nurunkan kotak di atas lemari,” pinta Ibu Arga sambil memberi kode khusus. Arga paham itu bukanlah permintaan yang sesungguhnya. Sang ibu sedang ingin mengajaknya bicara berdua. “Sebentar ya Dek Natasya, kak Arganya ke belakang dulu,” ujar Ibu Arga bak memperlakukan anak-anak. “Iya Bu,” sahut Tasya pendek dan sopan. Arga berbicara di udara, ‘sebentar ya, Dek?’. Tasya hanya mengangguk cuek. Dia lebih memilih memakan kue lezat itu. Tak bisa dipungkiri dalam sikapnya masih ada anak kecil. “Maksudmu apa sih, Ga? Bisa-bisanya kamu bawa anak kecil ke sini dan hendak dikenalkan pada kami. Kamu mau bikin kami mendadak hipertensi ya?” tanya si ibu dengan suara berbisik sambil celingak-celinguk. “Bu, walau dia masih anak SMA, tapi Arga serius sama dia,” ujar Arga pelan. “Arga, selisih usia kalian itu 9 tahun. Dia masih cocok jadi keponakanmu. Emangnya dia bisa dijadikan istri? Dia bakalan tahu sama tugas-tugasnya? Lalu Rafilla mau dikemanakan? Keluarga besar kita kan sudah tahu kalau calonmu itu Filla,” ujar ibu Arga yang ditanggapi serius oleh anak lelaki satu-satunya itu. “Bu, Arga tahu percintaan kami tak lazim bagi Bapak dan Ibu. Tapi, aku benar-benar mencintainya. Dia tak pernah keberatan diajak nikah muda,” ujar Arga meyakinkan ibunya. “Oke oke, terlepas dari itu. Lalu Filla gimana? Keluarga Filla gimana? Kira-kira Ayahmu setuju tidak sama Natasya? Kamu tahu kan kalau Ayahmu itu susah luluhnya. Kamu siap melawan Ayahmu?” selidik ibunya. “Emang Ibu sudah setuju dengan Natasya. Nanti aku akan coba luluhkan Ayah, Bu.” “Kalau Ibu sudah tak mau mengaturmu, Ga. Kamu sudah dewasa dan punya hidup sendiri. Yang penting kamu bahagia, itu saja. Yang penting, dia bisa melaksanakan tugasnya sebagai seorang istri walaupun dia masih muda,” jelas ibu Arga yang membuat Arga tersenyum. Arga memeluk ibunya lega. Namun, mereka kembali khawatir saat mendengar deru mobil ayahnya yang baru pulang.             Arga dan ibunya setengah berlari ke ruang tamu. Pandangan mereka terbelalak kaget tatkala melihat ayah Arga sudah terpaku menatap Natasya yang berdiri menunduk sambil membersihkan mulutnya. Wajah Pak Anggara terlihat mencari jawaban atas sejuta pertanyaan di benaknya. Siapa anak SMA ini? Mau apa dia di sini? Apa dia datang bersama Arga? Kalau iya, apa hubungan mereka? Jangan bilang kalau anak ini kekasih anaknya yang sudah berumur 26 tahun itu? Jangan bilang kalau Arga mengidap penyakit p*****l! “Apa kamu sudah tidak waras, Arga? Kamu p*****l?” tanya ayah Arga keras dari dalam ruang keluarga. Suara itu masuk jelas ke telinga Natasya kendati jarak ruangannya jauh. “Tidak, Yah. Saya masih normal dan baik-baik saja,” jawab Arga tegas. “Lalu kenapa kamu sampai mencintai anak bau kencur seperti itu. Dia pantasnya jadi apamu? Lantas bagaimana dengan perjodohanmu dengan Rafilla? Coba kamu bayangkan mau ditaruh di mana muka keluarga kita ini? Kamu tidak tahu berterima kasih pada keluarga Rafilla? Apa jadinya rumah sakit yang Ayah pimpin tanpa keluarga Rafilla?” berondong ayah Arga penuh emosi. Arga hanya menunduk lesu. Sang ayah memang sosok figur keras dan otoriter. Apalagi Arga adalah satu-satunya anak lelaki di keluarga itu. “Yah, cinta itu tidak mengenal usia. Setiap manusia berhak merasakan cinta yang sama. Saya akan bertanggungjawab penuh dengan pilihan dan keputusan saya. Sekalipun saya harus menghadap Danrem, saya siap, Yah.” Natasya menghela napasnya berat. Tiba-tiba dia ingin memuntahkan semua makanan yang tadi dilahapnya itu. Teringat semua tatapan judes ayah Arga, tatapan seperti melihat sosok aneh sedunia. “Arga Arga, 26 tahun Ayah mendidikmu untuk menjadi lelaki sukses, lelaki berpangkat. Ayah sekolahkan kamu di akademi selama 4 tahun. Ayah cari lobi sana-sini untuk menjadikanmu seorang pemimpin. Sekarang malah kamu kecewakan Ayahmu ini. Dengan santainya kamu bawa anak berseragam SMA dan kamu kenalkan sebagai calon istrimu. Sungguh menggelikan!” sindir tajam dokter itu. Arga tak tahan lagi. “Yah, sudahlah. Jangan berteriak-teriak. Tidak enak didengar tamu,” bujuk ibu Arga lembut. Namun, ayah Arga tetap tak bergeming. “Yah, saya ingin menghentikan semua ini karena saya tidak mau terjebak dalam politik balas budi ala ayah itu. Saya ingin disukai karena prestasi saya. Bukan karena hasil lobi sana-sini. Arga akan tetap memilih Natasya, Ayah. Saya merasa bahagia bersamanya,” ujar Arga yang dibalas tamparan sang ayah. “Ayah! Apa-apaan sih!” pekik sang ibu. Arga tak lagi mampu menatap ayahnya itu. Dari dulu pertengkaran seperti ini memang sering terjadi.             Natasya tersentak karena mendengar teriakan ibu Arga. Dugaannya pasti sesuatu terjadi pada Arga. Tasya sudah bisa membayangkan bahwa pertengkaran itu diakhiri dengan fisik. Tasya mulai tak enak diri. Keberadaannya di sini laksana kuman yang harus dimusnahkan. Ingin sekali mulutnya itu memanggil dan berpamitan pada Arga. “Kak, aku pulang,” pamit Tasya dingin saat Arga muncul di ruang tamu sambil menahan wajah merah padamnya. Di belakang Arga ada ibunya yang menangis sedih. Arga tak menjawab dan hanya menarik tangan Tasya. “Kak, tunggu dong! Bu, saya permisi.” Ucap Tasya buru-buru pada ibu Arga yang mengikuti langkah marah anak lelakinya itu. Sang ibu tak bisa menahan langkah cepat tentara itu             Arga berjalan cepat dan memasukkan Tasya ke dalam mobilnya. Lalu lelaki itu menyalakan mesin mobil dan memacu lajunya mencapai 80 km/jam menuju arah luar Kota Bandung. Pikirannya sangat kalut. Dia tak berpikir dengan jernih. Natasya hanya menatapnya dingin. Dalam benaknya sama sekali tak ada ketakutan dengan tindakan Arga. Tasya merasa kalaupun celaka, dia juga akan celaka bersama dengan kekasihnya. “Kakak mau mati sama aku ya?” tanya Tasya dingin. Arga tetap saja diam. “Lakukan saja, Kak. Aku pasrah kok,” ujarnya lagi. Arga langsung membelokkan mobilnya tepat di samping tebing jalanan pegunungan Bandung. Dia membanting wajahnya di setir mobil. Napasnya terlihat tersengal. “Maaf,” ujar Arga lesu. Natasya menyentuh punggung Arga kaku. “Aku tak pandai menghibur orang lain, Kak. Jadi, aku juga minta maaf kalau caraku tak benar,” ujar Tasya pelan. “Sudah lama aku tak tahan dengan ayahku. Sejak aku muda, dia selalu memaksakan kehendaknya padaku. Aku ingin jadi seorang pelukis, ayah menyuruhku jadi dokter. Aku beralih ingin jadi tentara, ayahku memaksaku untuk jadi pilot. Bebanku sebagai seorang anak bungsu lelaki tak lebih baik dari anak satu-satunya,” curah Arga dengan masih menyembunyikan wajahnya. Natasya menyentuh pipi Arga yang panas dengan tangannya yang seperti es batu. “Kamu pasti takut ya, Dek?” tanya Arga akhirnya mendongak dan menyentuh tangan Tasya. Gadis dingin itu menggeleng. “Aku sudah biasa menghadapi pertengkaran. Kenapa harus takut? Tanganku dingin karena aku kan memang es batu,” ujar Tasya polos. Arga menahan gelinya. Sedih yang baru dirasakannya seperti menguap. Padahal tangan Tasya dingin karena tegang baru saja diajak ngebut oleh Arga. “Apa yang ayah Kak Arga lakukan itu adalah tugas seorang ayah, Kak. Seorang ayah pasti memikirkan nasib anak lelakinya. Anak lelakinya itu harus kuat, hebat, dan bisa menjadi harapan keluarganya kelak. Benar kata mereka, aku gak pantas buat Kakak. Aku cuma anak bau kencur. Tampaknya tak ada ending yang sesuai untuk kita,” ujar Tasya tegar. Tak tampak kesedihan dalam wajah itu padahal hatinya sudah remuk redam tak berbentuk lagi. “Lantas apa aku pantas untukmu, Natasya? Aku yang mengaku mencintaimu lantas tak bisa membahagiakanmu. Aku juga tak pantas, Dek. Tapi, barusan, apakah seorang Natasya sedang menghibur orang lain? Seorang Natasya?” tegas Arga seolah tak percaya. Tasya langsung menyusut wajah hangatnya. Dia kembali memasang wajah jutek. “Ya udah kalau gitu, traktir aku makan sekarang. Aku lapar karena tegang,” ujar Tasya kaku.             Arga menyusut kesedihannya. Apalagi setelah melihat tingkah Natasya yang menggelikan itu. Anak itu sangat lucu dengan ekspresi dinginnya. Dia kembali menyalakan mobilnya untuk mencari makan malam. Bagaimana pula dia juga takkan pulang kembali ke rumah orang tuanya. Itu yang membuatnya malas untuk pulang ke rumah, beberapa bulan ini. “Jadi benar kamu memilihku?” tanya Tasya datar tanpa menatap Arga. Arga menyentuh punggung tangan Tasya. “Ya,” jawab Arga pendek. Keduanya terlarut dalam diam. ***   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD