Bab 19 Love is Sacrifice

2122 Words
            Cinta adalah pengorbanan. Itulah yang menjadi motto harian Arga saat ini. Semenjak pertengkaran dengan ayahnya malam itu, dia memutuskan untuk mengorbankan semuanya. Dia tak lagi ingin menjadi istimewa di kesatuannya. Dia tak lagi ingin diistimewakan karena idaman siapapun. Dia ingin menjadi prajurit yang memiliki pendirian sendiri. itu adalah cara terbaiknya untuk lepas dari politik balas budi dan hantaman tajam para senior yang iri padanya. Hari ini, dia memutuskan untuk menghadap Danrem di kediamannya. “Arga! Ya ampun, ada apa kok tiba-tiba datang ke sini?” tanya Rafilla antusias sambil menyambut Arga yang baru turun dari mobil. “Aku mau ketemu kamu dan Bapak. Ada?” tanyanya pelan pada Rafilla. “Tentu saja. Papaku sibuk, tapi selalu ada waktu kok buat prajurit kesayangannya,” ujar Filla senang sambil menggiring Arga masuk ke ruang tamunya.               Arga hanya menunduk diam dan mencoba menyusun kata-kata yang akan ditujukan pada Danrem hari ini. Apalagi kedatangannya ke sini tanpa diketahui oleh danyon yang notabene ‘pengasuh’ Arga di batalyon. Keputusannya hari ini hanya diketahui oleh Danki Ibrahim yang kaget bukan main. Sang senior hanya bisa diam tanpa berkomentar apa-apa saat melihat adik asuhnya itu merusak masa depannya sendiri demi seorang anak SMA.             Wajah Danrem terlihat merah padam saat Arga mengutarakan isi hatinya. Isi hati Arga tercurah dengan lancar seperti aliran sungai. Namun, tak sebanding dengan reaksi Sang Danrem. Wajah lelaki berwibawa itu terlihat kecewa dengan meminum air tehnya berulangkali. Rafilla yang sedari tadi menguping pembicaraan mereka hanya bisa menahan air mata ketika Arga memutuskan untuk membatalkan perjodohan mereka. “Saya hanya bisa bilang kalau saya kecewa padamu, Ga,” ujar sang Danrem sambil menahan napas. “Siap Komandan,” jawab Arga pendek. Lelaki itu tak berani asal bicara. “Saya tidak sepenuhnya menyalahkanmu. Mungkin ini terjadi karena keserakahan saya yang terlalu ingin memilikimu sebagai menantu. Saya sudah menaruh harapan yang terlalu besar padamu. Asal kamu tahu, saya sangat kagum dengan semangat mudamu. Kamu berulangkali membawa nama harum satuanmu dalam perlombaan militer. Kepandaianmu sudah diakui oleh komandanmu langsung.” “Saya sangat ingin memilikimu sebagai bakal penerus saya kelak. Makanya saya sangat ingin menjodohkan Rafilla denganmu. Bukannya kamu baik-baik saja selama ini?” tanya sang Danrem heran. Arga mengubah posisi duduknya menjadi lebih tegap. “Siap Komandan, saya tidak bisa menikahi Rafilla karena saya tidak punya perasaan lebih dari sekedar teman,” ujar Arga tegas. Dari balik sekat kayu, Filla makin menangis. Demi siapa Arga berbuat seperti itu? “Bukankah kalian pernah pacaran?” “Siap Komandan, hubungan itu sudah lama berlalu,” jawab Arga sembari melipat kedua tangkup tangannya. “Bukankah masih ada sedikit perasaanmu padanya walau hanya teman? Tidak bisakah kamu hidup dengan itu?” tanya Sang Danrem makin mendesak Arga. “Izin Komandan, saya tidak berani berbuat seperti itu kepada Rafilla. Saya menghargai Filla sebagai teman baik. Saya tidak berani merusak hati dan kehidupan Filla karena hidup dengan orang yang tidak mencintainya. Izin, saya berbuat semua ini demi kebaikan Rafilla, Komandan.” Penjelasan Arga masih saja mengganjal bagi hati komandannya itu. “Kamu tahu kan selama ini saya mengistimewakanmu di batalyon? Saya bedakan kamu dari para perwira yang lain karena saya menyayangimu. Selama ini, bukannya kamu selalu menerima beberapa pengecualian sama seperti di akademi dulu?” tanya Danrem seolah ingin menyadarkan Arga. Arga tersenyum bijak. “Izin Komandan, sebenarnya saya ingin sekali lepas dari kata istimewa dan dikecualikan. Saya ingin menjadi prajurit yang terkenal karena prestasi dan jasa saya untuk negara ini. Bukan terkenal karena pengaruh seseorang. Izin, saya tidak pantas diperlakukan seistimewa itu mengingat jasa saya yang belum banyak untuk negara ini, Komandan.” Perkataan Arga merendah jangan sampai menyakiti perasaan orang yang dihormatinya itu. “Apa sebenarnya, Ga? Apa kamu punya pilihan yang lain?” desak sang Danrem tanpa menghiraukan penjelasan Arga. “Siap, saya sudah memiliki kekasih, Komandan.” Raut wajah sang danrem terlihat kaget. Begitu pula dengan Filla yang masih menguping dari balik sekat kayu. “Rafilla! Keluar kamu!” panggil sang danrem yang ternyata tahu kalau anak perempuannya itu tersedu sambil menguping.             Tak lama kemudian, Filla melangkah lesu ke ruang tamu sambil menutup mulutnya. Arga tak tega melihat kawan SMA yang pernah jadi kekasihnya itu menangis. Dia tahu keputusannya ini adalah yang terbaik. Arga tak ingin Filla berharap lagi kepadanya. “Kamu lihat dia, Arga? Betapa sedihnya anak saya! Apa yang kurang darinya? Dia kurang cantik? Pandai? Populer? Atau jangan-jangan kekasihmu itu anaknya pejabat militer yang lain? Siapa dia? Kasih tahu saya!” ujar sang danrem sambil menatap tajam Arga. “Siap, izin Komandan, saya tidak mencintai Filla bukan karena semua itu. Tapi, karena hati saya sendiri. Saya sudah memiliki pilihan yang sesuai dengan hati saya. Jika mau membandingkan, kekasih saya bukanlah siapa-siapa dibanding Rafilla. Filla bisa mendapatkan lelaki manapun yang lebih dari saya,” ujar Arga merendah. “Tapi aku maunya sama kamu, Arga!” ujar Filla keras. Sang danrem hanya memperhatikan anaknya yang menangis dan salah satu prajurit kesayangannya itu dengan wajah merah padam. “Filla, masuk!” perintah sang danrem tegas. Rafilla menyerah. Dia hanya ingin bicara berdua dengan Arga. “Baik kalau itu maumu. Mulai sekarang, kamu bisa bebas dari pengaruh saya. Kamu juga bisa lepas dari embel-embel kesayangan A, B, atau C. Silahkan tunjukkan dirimu sendiri tanpa beking siapapun. 2 minggu lagi, akan ada sebuah penugasan ke pedalaman Papua. Lain-lain akan dijelaskan oleh Letkol Harun. Perintah ini hanya permulaan Arga. Mulanya bukan kamu yang saya kirim, tapi kamu yang memintanya, bukan?” kata sang danrem diikuti oleh sindiran halusnya. “Siap, Komandan! Saya akan melaksanakan perintah!” ujar Arga sambil menegakkan badan dan diikuti oleh pemberian hormat dari tangannya. Sang danrem tak lagi mampu berkata apapun. Terselip rasa kagum yang ditutupi kemarahan. --- “Izin Danton, minum dulu,” ujar Pratu Ujang sembari menyodori air mineral dingin pada Arga. Arga hanya melirik cuek sembari meneruskan lari siangnya. Lari ini bukan sekedar lari biasa, tetapi adalah sebuah hukuman. Benar, keistimewaan itu dihilangkan oleh atasan ‘kesayangannya’. Siang ini dia menerima perintah untuk lari keliling lapangan dengan membawa ransel seberat 6 kg dan senjata laras panjang SS1 seberat 4 kg. Belum lagi dengan helm tempur dan rompi anti peluru. Lari seperti itu lazimnya dilakukan oleh prajurit yang mendapat hukuman.             Pemandangan itu tentunya menjadi hal yang mengejutkan bagi para prajurit. Biasanya danton berparas tampan itu selalu mendapatkan ‘kasih sayang terselubung’ dari danyonnya. Ada gerangan apa tiba-tiba Arga diperintah seperti ini? Keheranan itu tak dirasakan oleh Danki Ibrahim yang sudah tahu lebih dulu dari mulut Arga. Senior berpangkat kapten itu menyayangkan sikap yang diambil Arga. Bagaimana bisa dia mencoreng kariernya hanya demi anak SMA? Bagaimana dia bisa tak suka pada pengistimewaan yang diterimanya selama ini? “Danton…” panggil Pratu Ujang mulai putus asa karena Arga menolak air mineral itu. Pratu Ujang merasa tak tega melihat wajah merah kepanasan dan keringat bak jagung rebus di wajah atasannya itu. Dia berbuat seperti ini juga karena perintah Danki Ibrahim yang tak tega melihat Arga. “Jang, tentara itu gak boleh manja. Masak lari baru 20 putaran saja sudah dipaksa minum. Saya ini tentara bukan anak manja. Minggir saja daripada kamu ikut dihukum,” ujar Arga tegas. “Siap Danton. Tapi, nanti danton bisa kelelahan,” bujuk Ujang yang memang sangat menyayangi Arga seperti keluarganya sendiri. “Jang, saya gak terima perhatian dari laki-laki ya. Kalau kamu gak mau ikut lari sama saya, minggir! Ganggu aja kamu!” ujar Arga tegas sambil meninggalkan Ujang yang melongo. Pratu Ujang hanya menatap Arga dari kejauhan. Dia tak lagi mau mengganggu Arga yang tampaknya hanya ingin sendiri saja.             Arga berlari tanpa ekspresi. Tanpa ada beban seberat ranselnya. Tanpa ada kemarahan apa-apa pada siapapun juga. Arga rela menerima setiap perintah yang diberikan atasannya jika memang itu untuk negaranya. Walau dia harus berkorban banyak hal demi cinta, demi Natasya. Dia tak ragu mengambil semua keputusan ini. Baginya ragu lebih baik kembali. “Kenapa kamu tega, Ga?” Suara kemarahan Rafilla kemarin malam masih terngiang jelas di benak Arga. Selepas bicara dengan sang ayah, Rafilla menahan langkah Arga dengan tangisan sakit hati. “Fil, kamu tahu kan perasaanku gimana ke kamu. Aku cuma anggap kamu teman baik,” ujar Arga berusaha sabar. “Arga, siapa wanita itu, Ga? Siapa yang menggantikanku di hatimu? Siapa Arga? Apa dia jauh lebih cantik dari aku? Pangkat bapaknya jauh di atas Papa?” tanya Filla emosi. “Tidak Filla, semua bukan karena pangkat atau dia anak siapa. Bukan juga karena lebih cantik siapa. Tapi, aku benar-benar jatuh cinta padanya, Filla.” Kata-kata Arga seolah terpental di telinga Filla. “Aku gak terima ini sampai kapanpun Arga. Pergi saja ke pedalaman Papua itu untuk memikirkanku. Menyesallah di sana, Arga! Sepulang dari sana nanti, kutunggu jawabanmu,” kata Filla emosi sambil meninggalkan Arga. “Ga? Arga! Woy!” Suara Danki Ibrahim mengagetkan lamunan Arga. Ternyata Arga sudah berhenti di depan tribun tempat Danki Ibrahim mengawasinya sedari tadi. “Eh, Siap Bang. Mau ikutan lari juga?” goda Arga tegar. “Emang kamu pikir aku sebodoh kamu apa? kamu tuh Ga, Ga! Apa yang kubilang,” sesal Danki Ibrahim. “Siap Bang, sudahlah Bang. Jangan merendahkan moril saya terus. Saya butuh doa dan dukungan dari Abang,” kata Arga tenang. “Kamu nih Ga, gak bersyukur banget. Sudah disayang danyon dan mau dijadikan mantu danrem. Eh, malah dibuang demi seorang anak berumur 17 tahun,” ujar Danki Ibrahim masih terus saja menyesali sikap Arga. Arga tertawa untuk menenangkan seniornya itu. “Izin Bang, pasti Abang juga akan melakukan hal yang sama dengan saya kalau sudah bertemu dengan gadis itu,” ujar Arga berbalik semangat. Seniornya itu keheranan dan penasaran seperti apa sosok gadis 17 tahun yang dibela Arga mati-matian itu. “Ah, kamu ini Ga. Susah ya ngomong sama orang lagi jatuh cinta. Malah bikin darah tinggi aja. Suka-suka kamulah. Aku cuma pesan, alam Papua pedalaman itu ganas. Prajurit artis macam kamu nih kuat tidak?” “Siap Bang!” sahut Arga lantang sambil tersenyum tenang. Abang seniornya itu tak berkutik lagi dengan jawaban Arga. “Izin Danton? Danki?” panggil Pratu Ujang ragu-ragu. “Ada apa lagi Ujang? Kamu nih caper terus sama saya!” seloroh Arga gemas. “Izin Danton, ada tamu untuk Danton. Sedang menunggu di provost.” Perkataan Ujang dibalas terima kasih oleh Arga. Lelaki yang wajahnya masih kepanasan itu kembali berlari menuju pos penjagaan atau provost di dekat gerbang kesatuan. Hatinya bertanya-tanya tentang siapa yang iseng mencarinya di siang sepanas ini? Mengapa tidak langsung menelepon saja. Arga baru ingat kalau ponselnya ditinggal di barak. “Natasya?” panggil Arga kaget yang membuat wajah dingin Tasya menoleh. Arga tak menyangka Tasya datang ke kesatuannya dengan masih memakai seragam sekolah. “Sama siapa kamu ke sini, Dek? Kenapa tidak bilang dulu?” panggil dan tanya Arga yang membuat Tasya menoleh. Mata Tasya terbelalak melihat Arga berpakaian PDL doreng lengkap dengan ranselnya. “Kak Arga mau pergi perang?” ceplosnya dengan nada khawatir. Ceplosan Tasya disambut cekikikan beberapa tentara di pos tersebut. Arga menarik tangan Tasya untuk menjauh dengan menahan geli. --- “Aku dihukum, Dek” ujar Arga pendek. “Karena apa? Apa karena Kak Arga melanggar peraturan? Kak Arga dimarahi komandan ya?” berondong Tasya yang tampak khawatir. “Apa Natasyaku sedang khawatir sekarang? Tumben…” “Jangan bercanda, Kak. Jawab!” ujar Tasya judes. “Duh, iya-iya. Ya kurang lebihnya gitu deh,” ujar Arga tak mau membuat Tasya makin sebal. “Pasti karena aku kan?” Jawaban Tasya seolah membaca pikiran Arga. “Kak Arga dihukum karena aku. Bahkan, sekarang Kakak disuruh pergi perang,” ujar Tasya lagi mendadak sedih. “Duh, pacar Kakak. Karena kamu juga akhirnya tentara seperti aku ini merasakan lari siang yang sebenarnya. Udahlah gak apa-apa,” ujar Arga semangat yang masih ditanggapi lesu oleh Tasya. “Aku mau berangkat ke Papua 2 minggu lagi, Dek.” Suara batin Arga yang tak sanggup tersampaikan. “Kak? Kok diem? Kakak capek ya habis dihukum karena aku?” berondong Tasya. “Seorang Natasya bisa khawatir juga ya?” tanya Arga setengah menggoda. Tasya memasang wajah judesnya. “Iyalah Kak, aku khawatir. Aku kan sayang sama Kakak,” batin Tasya yang tak sanggup tersampaikan. “Tuh kamu yang gantian diam, kamu lagi mikirin Kakak ya?” goda Arga menutupi kekalutan hatinya. “Iyalah!” ceplos Tasya yang mendadak membuat pipinya bersemu merah. Arga tertawa kegirangan. Baru kali ini Tasya bersikap semanis itu. “Aku kan sayang sama Kakak,” ujar Tasya sangat lirih nyaris tak terdengar. “Apa? Kamu bicara apa?” tanya Arga penasaran. Tasya membuang mukanya kesal. “Gak ada! Aku diem aja kok,” elak Tasya. Arga hanya mencibir dengan bibir tipisnya. Mereka terdiam sejenak. “Aku juga sayang kamu,” ujar Arga tanpa menatap Tasya yang tersentuh hatinya. Sebenarnya dia mendengar kata sakti yang diucapkan Tasya tadi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD