Bab 9 Stay With Me

1168 Words
            Suasana hati Tasya mulai baikan semenjak ditelepon Arga semalam. Arga memang bisa menghibur putri es itu. Rupanya chemistry di antara mereka semakin erat. Walau hati mereka terus saja merapat, tapi Tasya dan Arga belum juga terikat dalam status apa-apa. Dikatakan pacaran, Tasya merasa Arga tak pernah ‘nembak’ seperti adegan remaja pada umumnya. Dikatakan berteman, hubungan dan pembicaraan mereka sudah lebih dari itu. Tasya hanya bisa menjalani hubungannya dengan Arga apa adanya. Dia tak berani untuk bertanya lebih jauh karena belum siap untuk berada dalam status apapun. Walau hatinya mencintai Arga, tapi Tasya trauma dengan masa lalunya.             Siang ini dia baru pulang dari sekolah. Hari sabtu yang seharusnya jadi hari menyenangkan bagi anak sekolah, tidak halnya dengan Tasya. Setiap hari menurutnya sama saja. Tak ada yang istimewa. Dia masih saja dikelilingi oleh manusia-manusia munafik di sekolahnya. Anak-anak dulu memusuhi dan mencibirnya sekarang malah sok baik mengajaknya berteman. Makanya Tasya tetaplah menjadi es batu di sekolah itu. Dirt! Dirt! Ponsel Tasya bergetar dari dalam saku rok sekolah ketika dia baru sampai di depan pagar rumahnya. Natasya mengeluarkan Samsung S7 Edge dan menatap nama ‘Kak Arga’ berkelip di sana. Dia mengubah pandangan malas dan lesunya untuk mengangkat telepon Arga. Arga tidak boleh tahu kalau dirinya sedang berwajah sendu. “Baru pulang sekolah ya?” tanya Arga pelan. “Iya kok Kak Arga tahu?” tanya balik Tasya. “Iya dong! Wajahmu kecapekan banget kayaknya sampai ngangkat teleponku sambil ketuk-ketuk sepatu ke tanah.” Jawaban Arga membuat Tasya terkesiap. Mendadak dia merasa sedang diamati seseorang. Dia celingak-celinguk mencari sosok Arga. “Kamu pasti cari aku kan? Arah jam 7! Rush putih mendekat untukmu,” jawab Arga pelan.             Tasya menoleh dan mendapati mobil Arga mendekat ke arahnya. Mobil itu berhenti tepat di depan rumah Tasya yang penuh dengan bunga mawar putih kesukaannya. Arga mematikan mesin mobil dan turun mendekati Tasya. Dia terlihat santai dengan celana pendek warna krem dan kaos berkerah warna hitam. Wajah Arga terlihat segar dan tampan seperti biasanya. Pemuda berwajah manis khas sunda itu menyapa Tasya yang melongo bagai melihat hantu. “Halo Tasya!” ujar Arga sambil mengibaskan tangan kekarnya di wajah mungil Tasya. “Eh, Kak Arga ini ya?” tanya Tasya polos. Arga terbahak. “Iya Putri Es! Masak kamu lupa sama aku? Perasaan aku udah sering kirim foto deh. Jangan bilang kalau kamu lebih ingat wajah Panglima Sudirman daripada aku!” seloroh Arga gemas. Tasya mesem geli. “Eh, kamu ketawa ya? Lagi dong! Lebih lebar kenapa sih? Bikin hatiku adem, Dek!” pinta Arga yang membuat senyum Tasya susut. “Yah, cemberut lagi.” Wajah Arga terlihat pias. “Kak Arga ada apa kok ke sini?” tanya Tasya polos yang lebih kepada nada judes. “Lah, aku mau nemui pacarku kok gak boleh. Jangan bilang kalau aku ini cuma sekedar Om tentara yang kamu kenal!”             Tasya meringis. Jadi Arga menganggap dirinya adalah kekasihnya. Ada kebingungan di sudut hati Tasya. Kalau pacaran kapan nembaknya. Tapi dikatakan tidak pacaran, Arga pernah menyatakan perasaannya. Mungkin pemikiran dua orang manusia itu beda karena usianya. --- “Maaf, Kak. Di rumahku cuma ada ini,” ujar Tasya pelan sambil meletakkan nampan yang berisi sirup jeruk, mie goreng instan, dan beberapa makanan ringan kesukaannya. Arga menatapnya geli. Ternyata Tasya menganggurkannya selama 20 menit hanya untuk menyiapkan makanan ini. “Gak usah repot-repot, Dek. Emangnya mamamu gak masak ya?” tanya Arga yang membuat Tasya menunduk. Wajahnya yang sempat bersinar kembali redup. “Aku gak punya mama lagi, Kak. Aku anak broken home. Mereka bercerai waktu aku kelas 1 SMA, bertepatan dengan putus sama Egi,” ujar Tasya lirih. Arga menatapnya lurus. Itu adalah sebuah kenyataan hidup Tasya yang mengejutkannya. “Hey, kok ngomong gitu. Kamu masih punya mama kok, kan beliau masih hidup. Beliau pasti sering memikirkanmu,” hibur Arga. “Ada tapi seperti gak ada. Punya tapi seperti gak punya. Buat apa, Kak?” ujar Tasya sarkasme. Arga menyentuh pundak Tasya yang duduk di sampingnya. “Kamu masih punya Papa kan?” tanya Arga lekat. Tasya mengangguk pelan. “Papaku sibuk bekerja. Berangkat pagi pulang malam. Setiap hari aku selalu hidup sendiri,” ujar Tasya datar.             Arga tak bertanya lebih jauh lagi. Ternyata bukan hanya penghianatan kekasih dan sahabatnya yang membuat Tasya sedingin itu. Gadis sekecil dia juga mengalami luka perceraian orang tuanya. Makin besar rasa dalam hati Arga. Rasa untuk selalu melindungi Tasya. Rasa untuk selalu ada dan mencintai Tasya. “Hem, enak sekali mie goreng buatanmu, Tasya. Tenang saja, habis ini kita makan enak kok. Kutraktir sesuka hatimu. Lagian apa tuh, jajanan kesukaanmu yang kemarin, data saja. Nanti kita beli satu persatu,” alih Arga. Tasya menyusut cemberutnya. “Itu cuma mie instan, Kak. Maaf ya Kak. Kejutan kak Arga kurusak dengan curhatan gak pentingku,” ujar Tasya sambil melirik Arga. Arga meletakkan piring mie goreng. Tangannya yang hangat menyentuh pipi Tasya. “Lihat aku, Dek. Selama kamu bersamaku, semua akan baik-baik saja. Pegang janjiku sebagai seorang lelaki dewasa, aku pasti akan membahagiakanmu. Ini janjiku.” Kata-kata Arga menyejukkan jiwa Tasya yang kering. Benarkah dia harus menjatuhkan hatinya pada Arga? --- “Em, enak banget!” gumam Tasya pelan sambil menekan nada di kata ‘enak’. Mulutnya tak henti bergoyang. Arga hanya menatapnya heran. Putri Es yang sanggup membekukan apapun itu bisa ceria seperti putri salju saat memakan batagor.             Hanya sekantong batagor saja bisa membuat Tasya seceria itu. Keduanya memang memutuskan untuk jalan-jalan menikmati kota Bandung di malam minggu. Bukan jalan kaki, melainkan hanya membeli makanan lalu dimakan berdua di dalam mobil. Arga menyuruh Tasya membeli apapun yang dia minta. Tasya sederhana. Dia hanya meminta jajanan kecil khas Bandung seperti batagor yang membuatnya tertawa girang itu. Tak sia-sia Arga datang jauh dari pinggiran Bandung demi menemui Tasya. Hatinya terasa sejuk karena bisa melukis senyum indah Tasya. “Kamu gak mau nambah lagi?” tanya Arga saat melihat Tasya sudah menghabiskan sekantong besar makanan itu. Tasya menggeleng. “Sebenarnya apa tujuan Kak Arga datang jauh-jauh untuk menemuiku? Padahal kak Arga lagi capek setelah turun piket,” ujar Tasya tanpa menatap Arga. “Kan aku udah bilang tadi, buat nemuin pacarku. Ya nemuin kamulah, Dek. Kenapa sih kok kayaknya gak nyaman sama kedatanganku? Kamu gak suka kejutanku ya?” tanya Arga heran. “Emang hubungan kita ini definisinya pacaran ya?” selidik Tasya. “Loh, bukannya perasaan kita sama?” “Emang Kak Arga pernah nembak aku?” “Emangnya kamu butuh itu? Bukannya kita udah saling mengungkapkan?” “Ya tapi aku butuh pengukuhan, Kak.” Keduanya terlibat perdebatan ringan.             Percakapan mereka terputus karena sebuah telepon yang masuk ke ponsel Arga. Arga memberi kode pada Tasya untuk diam sejenak. Rupanya itu telepon dari komandannya yang menyuruh Arga segera kembali ke kesatuan. Kehadiran Arga sangat dibutuhkan saat ini. Mau tak mau pertemuan mereka harus diakhiri seperti ini. “Nanti kutelepon ya, Dek. Maaf ya?” ujar Arga berat sambil menatap wajah dingin Tasya. Tasya hanya mengangguk lesu. Dia tak berani mengganggu Arga jika itu berhubungan dengan tugas ketentaraannya. Dia tahu diri. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD